Pelukis Senyum

1048 Words
Naira melajukan kendaraannya dengan kecepatan penuh. Dia ingin segera membagi kabar gembira tentang perkembangan hubungannya dengan Darian. Setidaknya sekarang dia sudah memiliki akses untuk bisa menjalankan misi dan mulai menggunakan barang-barang pemberian Darian. Gadis itu menatap spion, memandangi sekilas senyum yang masih bertengger di wajahnya. Sejak Ardan menolongnya dalam tragedi pot, sejak itu senyuman manis terus menghiasi bibirnya. Kebahagiaan itu adalah yang dia nantikan selama beberapa tahun ini. Rasanya hanya dengan begitu saja, Naira sudah merasa hatinya berbunga-bunga. Harinya menjadi lebih indah dari sekedar pelangi yang muncul setelah gerimis datang. ketika memasuki area halaman rumahnya, Naira segera memarkirkan motornya di garasi yang dibiarkan terbuka. Naira melihat ke arah pos. Pak Budi, satpam di rumah Naira itu tengah tertidur pulas. Melihat pemandangan itu, Naira hanya bisa menggelengkan kepala. Gadis itu segera masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera menemui Darian. Saat masuk ke dalam kamarnya, Darian seperti biasa, meringkuk tidur dalam wujud kucing di atas selimutnya. Naira segera mengunci pintunya dan mengendap-endap ke arah Darian. Kucing itu tidur dengan sangat pulas. Kedua kaki depannya digunakan untuk menekan telinganya agar menempel di kepala. Mungkin itulah sebabnya Darian tidak menyadari kehadiran Naira. Gadis itu berjongkok di sisi ranjang, memperhatikan wajah Darian. Dalam bentuk kucing pun dia tetap menawan. Ayuna mengulurkan tangannya, berusaha menyentuh kumis Darian yang panjang. Kucing itu hanya menggeliat lalu tidur lagi. Karena gemas, Naira memutuskan untuk mencium puncak kepala kucing itu. Sesuatu terjadi, Darian mendadak berubah menjadi manusia. Posisi Naira masih mengecup puncak kepalanya. Gadis itu terkejut dan mundur dua langkah menjauh. "Maaf, aku lupa kalau kamu...," Naira tidak melanjutkan kata-katanya. Darian memandangnya dan tersenyum. "Nggak apa, kamu kan majikanku. Bukankah itu wajar?" Darian bangkit dari tidurnya, lelaki itu meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. "Hahaha, seharusnya normal, tetapi itu nggak akan menjadi normal karena kamu bukan kucing biasa, Darian." Naira melangkah maju, kembali mendekat ke Darian dan duduk di sisi lelaki itu. "Jangan anggap aku tidak normal kalau itu membuatmu tidak nyaman, Naira. Aku ingin kamu nyaman di sisiku, bukankah kita partner?" Tatapan mereka tanpa sengaja bertemu. Darian mengukirkan senyuman di bibirnya. Seharusnya bisa seperti itu. Tapi kenyataan yang terjadi membuat Naira tidak bisa menganggap Darian sama seperti kucing pada umumnya. Meskipun dia tidak berubah menjadi manusia, ukurannya yang dua kali lipat lebih besar dari kucing pada umumnya membuat Darian tetap spesial di mata Naira. "Aku akan berusaha untuk bisa nyaman. Oh ya, hari ini ada perkembangan tentang hubunganku dan Ardan. Hari ini dia menyelamatkanku dari pot yang jatuh dari lantai dua. Bukankah itu artinya aku ada alasan untuk mendekatinya?" Mata Naira berbinar. Dia sangat bersemangat saat membahas Ardan. "Benar. Itu kesempatan buat kamu bisa memulai perjuangan mendapatkan hati Ardan. Kamu bisa memulai dengan memasak sesuatu sebagai tanda terima kasih. Jangan lupa serbuk cintanya." Darian memberikan saran pada Naira, apa yang harus dilakukan olehnya. Memang apa yang dikatakan oleh Darian memang ada benarnya. Dia mulai memikirkan masakan apa yang harus dibuat untuk Ardan. Sementara selama ini gadis itu tidak pernah masak apapun. Seandainya memasak,Naira juga tidak yakin rasanya akan enak. "Tapi, aku nggak bisa masak." keluh Naira. Darian tersenyum, memandang Naira dengan tatapan lembut. Lelaki itu merangkul Naira, gadis itu memandangi tangan Darian yang bertengger di bahunya. Ada perasaan aneh yang membuat tubuhnya berdesir. Bukan perasaan tidak nyaman, tetapi justru menenangkan. Biasanya yang memberikan dukungan seperti sekarang adalah kakaknya. Naira merasakan kehadiran kakaknya dengan Darian berada di sisinya. "Aku akan mengajarkanmu memasak." ucap lelaki itu pasti. Naira melongo. Tentu saja dia tidak percaya kalau Darian bisa memasak. Dia seorang Pangeran di dunianya. Bagaimana mungkin seorang pangeran akan menghabiskan waktunya di dapur? Pertanyaan itu menggema di pikiran Naira. "Kamu pasti tidak percaya, kan? tapi pada kenyataannya aku memang suka memasak. Aku sering datang ke dapur istana untuk memasak makananku sendiri. Hanya saja, mungkin rasa masakanku akan aneh jika dirasakan olehmu. Karena mungkin secara rempah-rempah akan beda." Darian turun dari ranjang. Lelaki itu melangkah ke arah jendela. Darian mengintip keluar, sejak datang ke rumah Naira, dia belum pernah keluar rumah sekalipun Naira tidak berada di rumah. "Bagaimana caranya kamu bisa mengajarimu memasak? Kan ada bi Inah." Naira menyusul Darian dan berdiri di sisi lelaki itu. "Itu bisa di atur nanti, Nay." sahut Darian santai. Matanya tetap fokus ke arah luar, membuat Naira ikut-ikutan mengamati tempat yang dilihat Darian. "Kamu ingin keluar? Jalan-jalan?" Naira berinisiatif menawarkan diri untuk membawa Darian pergi keluar. Naira sadar, selama ini dia tidak pernah membawa Darian sekedar jalan-jalan. "Aku mau!" Darian tampak sangat bersemangat. Naira berniat mengelus puncak kepala Darian, tetapi sayangnya tinggi badan lelaki itu di atas rata-rata. Membuat Naira mengurungkan niatnya. Darian yang menyadari keinginan Naira segera merunduk dan menaruh salah satu tangan wanita itu di puncak kepalanya. Nira kemudian mengelus puncak kepala Darian, menikmati kelembutan rambut lelaki itu. "Aku suka sentuhanmu Naira. Mulai sekarang, kamu mau kan setiap hari memberikanku satu elusan?Darian menatap Naira dengan tatapan puppy eyes. Kalau sudah seperti ini, bagaimana bisa Naira menolak? "Oke, baiklah. Aku akan melakukan setiap hari padamu mulai sekarang. Kamu tahu Darian ... Aku tidak menyangka kamu akan hadir di duniaku, aku pikir setelah Beta meninggal, tidak akan ada lagi kucing yang akan aku pelihara. Sebenarnya aku trauma, aku takut kalau memelihara kucing lagi, dia akan senasib dengan Beta." Naira menerawang jauh, mengingat setiap kenangan yang pernah dia lalui bersama Beta. "Beta itu nama kucingmu?" Naira mengangguk. "Kamu tidak perlu sampai trauma seperti itu, karena pada dasarnya kematian adalah takdir. Bukan karena dia dipelihara olehmu. Kamu harus melepaskan pemikiran buruk seperti itu. Mulailah mencoba memelihara kucing, seiring waktu kamu pasti bisa melupakan kenangan burukmu bersama kucing sebelumnya." Entah hanya perasaan Naira atau memang benar adanya, Darian selalu berhasil membuatnya merasa lebih tenang. "Kalau begitu, selama kamu belum menemukan kalung permata merah itu, bolehkah aku menganggapmu sebagai peliharaanku untuk menghilangkan rasa trauma?" Naira memegang lengan Darian, saat itu mereka sudah sama-sama melihat keluar lagi. "Bukannya dari awal aku sudah bilang begitu? Tetapi kamu yang masih sungkan. Aku kan sudah bilang, jangan bawa statusku, di sini aku bukan siapa-siapa. Jadi mulai sekarang, jadikan aku peliharaanmu Naira." Darian memegang kedua pundak Naira. Dia ingin gadis itu benar-benar menerima kehadirannya dengan baik. Sebagai kucing pada umumnya, bukan sebagai Darian. "Baiklah. Karena kamu sudah bersedia, aku akan membawamu pergi keluar untuk jalan-jalan. Sebentar, aku ganti baju dulu." Naira pergi meninggalkan Darian. Lelaki itu memandanginya pergi dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD