"Kak, ini aku bawain nasi goreng buatan aku sendiri buat kakak. Sebagai ucapan terima kasih karena Kak Ardan udah mau nyelametin aku waktu ada pot yang jatuh kemarin." Naira menyerahkan sebuah kotak nasi berwarna biru muda pada Ardan. Sementara beberapa teman pemuda itu menatap Naira dengan tatapan aneh.
"Makasih. Gue kemarin gak sengaja lewat aja. Kebetulan gue liat itu pot mau jatuh, jadi gue berinisiatif buat bantuin Lo. Seharusnya Lo nggak perlu repot-repot buat bales." Ardan menerima kotak itu sambil tersenyum.
Mendapatkan senyuman dari Ardan langsung membuat jantung Naira tidak menentu. Dia harus segera kabur sebelum pingsan di hadapan chrus-nya.
"Aku nggak repot sama sekali, Kak. Kalau gitu aku pergi dulu." Naira langsung berlari meninggalkan Ardan.
Pemuda itu kemudian mengamati kotak makanan yang diberikan oleh Naira beberapa saat yang lalu. Terlihat sekali kalau Ardan tidak terlalu tertarik dengan itu.
"Kalian ada yang belum sarapan? Makan ini. Sayang kalo gue buang gitu aja," ucap Ardan sambil menyodorkan kotak nasi itu pada ketiga temannya.
Salah satu dari mereka mau menerima dan langsung membuka kotak berisi nasi goreng kecap dengan toping suwiran ayam tersebut.
"Wih, mantep nih kayaknya nasi goreng. Lo serius nggak mau, Dan? Kasian juga tu cewek, cantik-cantik ditolak sama si Ardan," komentar cowok bernama Jaya itu.
"Dia terlalu biasa, Jay. Gue cari pacar atau gebetan yang paling nggak ... nggak malu-maluin gue pas di ajak jalan."
"Dia cantik loh, Dan." Teman lainnya ikut membela.
"Wajahnya emang cantik, tapi lihat penampilannya. Biasa banget. Gue ke kelas dulu, ya. Udah janjian sama Prita."
"Oke, Bro. Makasih nasi gorengnya."
Di sebuah sudut, Naira terlihat kecewa. Ya, dia tahu kalau Ardan memberikan nasi goreng yang dia buat sendiri pada salah satu temannya. Dengan begitu, serbuk ajaib dari Darian tidak bisa berfungsi. Beruntung dia tidak bisa mendengar apa yang Ardan katakan karena jarak mereka yang lumayan jauh.
Naira kembali ke kelasnya membawa bongkahan rasa kecewa di d**a. Masih ada dua harapan lagi, gadis itu tidak berputus asa. Dia juga sadar diri tentang siapa dirinya yang jelas-jelas tidak sepadan dengan Ardan.
Sepulang dari kampus, Naira langsung tiduran telentang di atas ranjangnya. Mata gadis itu menatap langit-langit kamar. Ingatan tentang kotak nasi goreng yang diberikan Ardan pada orang lain kembali mengisi ruang sempit di otak Naira. Dia sampai tidak menyadari, Darian sudah berubah menjadi manusia dan menatapnya penuh rasa penasaran.
"Ada apa? Mau cerita?" Bola mata keemasan milik lelaki itu terus saja mengamati Naira yang sekarang mengalihkan perhatiannya pada Ardan.
Naira tidak langsung menjawab. Gadis itu memiringkan tubuhnya agar bisa melihat Darian dengan benar. Jauh di lubuk hatinya bertanya-tanya, mengapa dia tidak menemukan Ardan sebagai sosok yang pengertian seperti Darian?
"Aku bisa membaca pikiranmu, Naira. Kamu tidak bisa menginginkan sosok orang lain pada sosok orang yang lainnya. Kenapa dengan Ardan? Dia membuatmu kecewa?" Darian berusaha menelisik.
Dia bisa membaca pikiran Naira di saat mereka saling pandang, tetapi dia tidak bisa tahu apapun tentang gadis itu saat mereka jauh. Dia ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Naira hingga membuat gadis itu terlihat frustrasi.
"Kak Ardan menolakku secara tidak langsung. Dia memberikan kotak nasi yang aku kasih ke orang lain. Rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Apa aku memang nggak pantas buat dia? Segitu nggak pantasnya?" Naira bertanya dengan nada putus asa.
Tangan Darian terulur dan mendarat di puncak kepala Naira dan mengelusnya pelan.
"Masih ada kesempatan. Jangan patah semangat dulu, Naira. Kalau memang kalian ditakdirkan bersama, kamu dan dia pasti akan bersatu. Percaya padaku." Darian berusaha menenangkan Naira. Dia ikut merasa sedih saat melihat keadaan Naira sekarang.
"Apa di duniamu juga ada cinta? Maksudku, kalian bangsa kucing juga merasakan jatuh cinta dan patah hati?" Naira iseng menanyakan tentang itu.
Darian menggeleng.
"Tidak. Di dunia kami hanya ada kecocokan. Kami bisa berganti pasangan kapan saja tanpa saling menuntut satu sama lain. Kehidupan kami sebebas itu, Naira."
Benar saja. Darian bukan manusia. Dia setengah hewan. Naira bisa membayangkan bagaimana mudahnya kehidupan di dunia Darian. Mungkin setiap hari tidak ada rasa sedih. Selalu tersenyum dan tersenyum tanpa merasakan sakitnya patah hati.
"Menyenangkan. Pasti kalian semua hidup dengan damai. Aku jadi sedikit iri," ucap Naira asal.
"Percayalah, hidup di dunia kami tidak menyenangkan seperti yang terlihat. Hanya yang terkuat yang mampu bertahan hidup. Sering terjadi peperangan dan pertumpahan darah. Bukan dengan orang lain, lebih sering dengan keluarga dan kerabat. Hidup di dunia kami jauh lebih kejam, Naira."
"Aku jadi teringat ceritamu soal si sepupumu yang pangeran rubah itu. Padahal dia sepupumu, tetapi dia tega ingin menguasai kerajaan milik orang tuamu."
"Itu hanya salah satu, tetapi yang paling besar. Dia sangat berbahaya, Naira. Makanya aku berharap segera bisa menemukan permata itu untuk menghancurkan dia. Dengan begitu keluargaku akan hidup dengan damai."
"Kamu tenang saja, Darian. Aku akan membantumu sekuat tenaga untuk mendapatkan batu permata itu. Berhasil atau tidaknya aku mendapatkan hati Ardan, aku akan tetap membantumu menemukan benda yang bisa menyelamatkan keluargamu."
"Terima kasih banyak, Naira. Beruntung sekali aku terlempar langsung ke depan rumahmu. Entah bagaimana jadinya kalau aku bertemu dengan manusia lain yang kejam. Mungkin aku hanya akan berakhir mati."
"Ahaha, sudah jangan diungkit lagi, Darian. Nyatanya kamu memang ditakdirkan untuk menjadi peliharaanku walau hanya sementara. Aku pasti akan sedih nanti saat kamu kembali ke duniamu. Kembali kesepian, apalagi kamu kucing yang spesial."
Darian ikut-ikutan merebahkan diri di atas ranjang Naira. Diam-diam siluman kucing itu membayangkan apa yang baru saja majikannya ucapkan. Bagaimana dengan dirinya? Apakah setelah kembali ke negeri kucing dia akan lupa pada sosok Naira?
"Jangan pikirkan apapun, Naira. Kita masih memiliki banyak waktu untuk bersama. Sebelum aku pergi, aku akan menemanimu mencari kucing baru. Dengan begitu, kamu tidak akan merasa terlalu sedih saat kita berpisah nanti."
"Non! Ini makanannya sudah siap. Mau dibawa masuk ke kamar?" Suara Bi Inah membuat perhatian Darian dan Naira teralihkan.
"Nggak usah, Mbok. Biar aku aja yang keluar. Aku mau sekalian kasih makan kucingku!" sahut Naira, sengaja sedikit meninggikan nada suaranya supaya Bi Inah dapat mendengarkan apa yang dia katakan.
"Baik, Non. Bibi siapin di meja semuanya. Kalau perlu apa-apa panggil saja di ruang atas, Non. Bibi mau nyetrika."
"Iya, Bi. Makasih, Ya."
"Sama-sama, Non."