Menyusun Siasat

1095 Words
"Gue pikir lo bakalan telat. Udah tau kan kalo pak Dimas itu nggak semanis namanya? Jangan sampe lo telat di mata kuliah dia. Bahaya." oceh Dita. Sahabat terbaik yang pernah Naira miliki. Ketika seisi kampus seakan menghujatnya, Dita tetap berada di sisinya dengan siap siaga. Naira merasa dirinya sangat beruntung memiliki sahabat sebaik Dita. "Ehm! Saya bisa dengar dengan jelas, Dita." Suara khas itu terdengar jelas dari arah belakang Dita. Pantas saja Naira sudah memberinya kode melalui tatapan mata. Sayangnya Dita tidak menyadari itu. "Ma-maaf, Pak." Dita meringis dan menunduk takut. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya kalau sampai Dimas marah karena perkataannya. Sementara Naira, gadis itu menahan tawa karena Dita yang terciduk oleh Dosen yang terkenal killer di kampus mereka. "Sudahlah! Kalian berdua cepat masuk ke dalam kelas sebelum saya berubah pikiran." perintah Dimas dengan suara lantang. "Ba-baik, Pak." sahut Naira dan Dita hampir bersamaan. Naira dan Dita segera mengambil langkah seribu dari hadapan Dimas. Mereka tidak ingin membangunkan macan tidur. Membuat Dimas kesal berarti mereka siap menerima hukuman. "Jahat lo, Nay! Lo nggak bilang kalau di belakang gue ada pak Dimas. Hampir copot jantung gue, astaga." ujar Dita saat mereka berhenti dari pelarian. Keduanya tampak mengatur napas yang tidak beraturan. Baik Naira ataupun Dita, keduanya sama-sama tersengal-sengal. "Gue udah kodein lo, tapi lo cuek aja, nyerocos ngomongin pak Dimas. Enak aja lo nyalahin gue!" balas Naira dengan sedikit kesal. Gadis itu mencebikkan bibirnya sebagai ekspresi tidak senang. "Gue pikir lo kelilipan, jadi gue nggak nangkep kode dari lo." Dita justru cekikikan. Membuat Naira mengerling ke arahnya. "Lo sendiri yang kagak peka, masih nyalahin gue." omel Naira lagi. "Kalian bisa minggir?" Suara seorang cowok dengan nada dingin sontak membuat Naira dan Dita menoleh ke belakang. Ardan dan empat teman yang selalu berada di sisinya layaknya bodyguard berdiri di sana. Tanpa berani menjawab, Naira dan Dita segera menepi dan membiarkan beberapa lelaki itu berlalu. Sementara Naira menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Dia terus mengamati lelaki itu sampai punggungnya tidak terlihat lagi. "Astaga, astaga, astaga! tolong kipasin gue, Dit. Mimpi apa gue, sampai bisa dengerin suara kak Ardan yang super seksi." Naira heboh sendiri setelah Ardan tidak terlihat. Dita geleng-geleng melihat kelakuan sahabatnya. "Lebay banget lo nay! Eh,saran gue lo harusnya nunjukin perasaan lo ke Ardan, minimal kodein, kek. Biar dia ngerti kalau lo itu suka sama dia, fans dia garis depan." usul Dita. Dia sangat paham,bagaimana perasaan Naira pada Ardan. Dita mulai melangkah, diikuti oleh Naira. Mereka harus segera sampai di kelas, mengingat mata kuliah jam pertama akan di isi oleh Dimas. "Melihatnya saja sudah membuat hati gue bergetar, apalagi kalau harus bilang atau kodein dia, gue yakin bakalan pingsan." gadis itu tersenyum dan menunduk malu. Membicarakan Ardan saja sudah sukses membuat pipinya memerah. Naira pesimis. Dia tidak percaya diri untuk mengambil langkah lebih. Terutama takut di tolak oleh Ardan. Seisi kampus tahu, siapa Ardan, cowok paling populer. "Terus, mau sampai kapan lo jadi pengagum rahasia? Lo tahu nggak, kalau nggak ngasih tahu sekarang, kapan lagi? Ardan kuliah tahun terakhir dan lo nggak manfaatin kesempatan itu?" Naira mendengar dengan baik apa yang dikatakan sahabatnya. Memikirkan dan mulai cemas. Kesempatan untuk dia mendekati Ardan memang tinggal sedikit lagi. "Terus gue harus gimana, Dit?" Naira memelas. Dia sedang butuh penasihat cinta sekarang. "Lo harus mulai kode sama dia. Ngasih minum atau coba ngobrol sama dia, itu ide yang lumayan bagus." Dita manggut-manggut sambil menerawang dengan jari menggenggam dagu seolah seperti profesor berpengalaman. "Kasih minum? Dalam rangka apa? Ngobrolin apa sama dia? Gue bakalan pipis di celana kalau berhadapan dengan dia, gimana caranya ngobrol." keluh Naira. Gadis itu memang selalu mati kutu saat berada di hadapan Ardan. Lelaki itu melemahkan jiwanya. Naira seperti tidak memiliki kekuatan apapun saat berada di hadapan Ardan. "Lo nggak ada pilihan, Nay. Harus berjuang atau kesempatan lo, fuih! Hilang ketiup angin." Dita membentuk jarinya seolah pistol dan meniup ujungnya. Naira semakin galau. Dia memang harus memperjuangkan perasaannya, tetapi dia tidak tahu harus memulainya darimana. "Oke, gue akan pikirkan gimana caranya supaya gue bisa dapet perhatian Ardan." putus Naira dengan memaksakan keyakinan. Gadis itu bahkan belum memiliki gambaran bagaimana dia bisa mendekati Ardan. Saat memikirkan itu, pikiran Naira seketika seperti benang kusut. Sepanjang pelajaran berlangsung, Naira terus memikirkan Ardan. Dia tidak dapat fokus pada pelajaran. Bayangan wajah seniornya itu terus membayang di mata. Sepulang dari kampus, Naira berjalan gontai menuju ke kamarnya. Gadis itu masih memikirkan cara yang tepat untuk memulai interaksi dengan Ardan. Setidaknya dia memiliki alasan yang tepat untuk itu. Naira meletakkan tasnya di atas meja belajar. Matanya melirik ke arah kucing jelmaan Darian yang masih mendengkur di balik selimut tebal yang biasa dia pakai. "Dasar kucing! Bisanya hanya tidur." Naira duduk di samping ranjang, mendadak Darian yang sudah berubah menjadi manusia menggeliat dan membuat ranjang milik Naira itu bergetar. "Kamu sudah pulang? Lama sekali, aku bosan menunggumu pulang." Darian mengerjapkan matanya berulang-ulang. Naira terkejut saat menengok ke arah Darian, lelaki itu bertelanjang d**a seperti tadi pagi. Membuat Naira tidak berani menatap bagian bawah tubuh Darian. "Berapa kali aku harus mengingatkan, pakai baju dan celana saat aku berada di sisimu." sungut Naira. "Maaf, Nay. Tadi aku merasa tidak nyaman saat mencoba memakai baju, lagipula kamu tidak di rumah. Jadi aku rasa lebih enak tidur tanpa baju." Darian menggaruk kepalanya. Dia merasa sedikit salah tingkah. "Sudahlah, cepat pakai bajumu. Aku ingin menceritakan sesuatu. Sebenarnya aku tidak yakin padamu, karena kita baru saja bertemu. Tapi aku butuh seseorang yang bisa membantuku." kata Naira pelan. Darian segera bangkit dari tidurnya dan mulai mengenakan pakaian yang telah disediakan oleh Naira lalu pria itu duduk tepat di sisi Naira, bahkan hampir menempel. "Ada masalah apa? Cerita saja padaku, siapa tahu aku bisa membantumu. Aku memang orang baru, tetapi setidaknya aku bisa menjaga rahasiamu." Naira menatap Darian, dia melihat ketulusan dari kedua mata kucing pria itu. Naira akhirnya menceritakan masalah yang tengah menimpanya sekarang. Sebagai sosok jelmaan, Darian tentu memiliki banyak cara untuk membantu Naira keluar dari permasalahannya. "Aku akan membantumu asal kamu juga mau membantuku." Darian mengajukan penawaran. dia tentu menginginkan hubungan yang saling menguntungkan. Naira tampak berpikir beberapa saat. Kemudian dia memutuskan untuk menerima tawaran Darian. Lagipula, dia tidak memiliki cukup waktu untuk mencari cara lain selain bergantung pada bantuan Darian. "Sebutkan, apa yang harus aku lakukan untuk membayar bantuanmu itu." Naira ingin mendengar permintaan Darian. Dia harus memastikan kalau apa yang mereka lakukan benar-benar saling menguntungkan. "Bantu aku menemukan batu permata merah seperti yang ada di kalungku ini. Dengan begitu aku akan membantumu dengan kekuatan magis yang aku miliki." Darian tampak begitu serius. Tanpa berpikir lagi, Naira setuju dengan usulan Pangeran Kucing itu. "Oke, setuju."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD