Penyelamat

1001 Words
"Darian, aku harus pergi ke kampus sekarang. Aku akan memakai benda-benda pemberianmu setelah ada kesempatan. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu. Kamu bisa mandi di kamar mandi. Ini makanan untukmu juga sudah aku siapkan. Jangan pergi kemana-mana, lukamu masih belum sembuh." cerocos Naira sebelum pergi meninggalkan Darian. Lelaki jelmaan kucing itu terus menatap Naira saat gadis itu banyak bicara. Bahkan saat Naira menyadarinya, Darian masih tetap memandanginya. "Kenapa kamu terus memandangiku? Apakah ada yang aneh denganku?" tanya Naira. "Kamu sangat perhatian denganku. Mengingatkanku dengan sosok ibu. Ibuku meninggal dengan cara yang tidak wajar. Terima kasih." ungkap Darian lembut. Seketika Naira merasa tidak enak pada Darian. Dia tidak bermaksud membuat Darian teringat sosok ibunya. Gadis itu juga bingung, mengapa dia sangat peduli pada Darian. Mungkin karena mereka teman satu kamar sekarang. "Maafkan aku, Darian. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Apa aku perlu merubah sikapku?" Naira berusaha mengerti Darian.Dia ingin lelaki itu nyaman dengan sikapnya. "Tidak perlu, Naira. Aku sudah sangat nyaman dengan sikapmu yang sekarang. Aku tidak mau kamu berubah. Sekarang kamu boleh pergi. Jangan sampai terlambat karena aku. Aku akan menunggumu pulang. Bagaimanapun, kamu adalah majikanku, kan?"Darian bersikap lembut pada Naira. Naira mulai membayangkan sosok Ardan, seandainya lelaki itu sedikit manis, mungkin akan lebih mudah bagi Naira untuk mendekatinya. "Bagaimana aku bisa menjadi majikan, sementara kamu adalah seorang Pangeran?" ledek Naira. Darian tertawa kecil lalu merebahkan dirinya ke atas ranjang. "Di negeriku, aku memang Pangeran, tetapi di sini aku bukan siapa-siapa. Sudah cepat berangkat, nanti kamu terlambat." Darian mengingatkan Naira lagi. "Siap Tuan Kucing. Aku akan melaksakan perintahmu. Kalau begitu, aku berangkat. Dah!" Naira meninggalkan Darian dengan senyuman yang tidak lepas dari bibirnya. Saat Naira melangkah melalui ruang tamu, Bi Inah yang sedang menyapu menghampirinya. "Non, tadi sayup-sayup bibi dengar Non bicara dengan seseorang. Itu siapa? Bibi bisa mendengar suara Non, tapi suara lawan bicara Non tidak terdengar. Hanya suara kucing. Maaf kalau bibi lancang." Bi Inah bicara dengan hati-hati. Dia takut menyinggung hati anak majikannya. Naira mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak mengontrol volume suara saat berbicara dengan Darian. "Oh, itu tadi teman kampus telpon, kebetulan aku lagi mandiin Dar, eh maksudku kucing itu." Naira segera membuang pandangannya ke arah lain. Hampir saja dia menyebut nama Darian di hadapan asisten rumah tangganya. "Oh, begitu. Ya sudah. Bibi hanya penasaran saja. Non mau bawa bekal?" tawar Bi Inah. "Nggak usah, Bi. Aku makan di kantin kampus saja. Kalau begitu aku pergi ke kampus dulu ya, Bi. Bye!" Naira segera melesat keluar dari rumahnya. Menuju garasi, memanaskan mesin motornya sebentar lalu pergi. Sepanjang perjalanan Naira memikirkan tentang bagaimana cara dia mengawali pendekatan dengan Darian. Dia ingin proses pendekatannya dengan pria itu terlihat alami. Sebenarnya, Naira memang sadar, kalau dirinya terlambat bergerak. Selama beberapa tahun berada di satu kampus, dia justru baru bertindak di tahun terakhir. Dalam waktu yang tidak banyak, bagaimana dia bisa mendapatkan perhatian Ardan? Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam pikiran Naira. Dia berencana membicarakan hal ini dengan Dita lagi. Gadis centil sahabatnya itu paling ahli dalam menemukan ide. Naira ke kampus seminggu lima kali. Sebenarnya, orang tua Naira tidak menyetujui pilihan gadis itu masuk jurusan sastra. Mereka berdua ingin Naira masuk ke dunia kedokteran. Tentu saja Naira menolak. Setelah kakaknya meninggal, kedua orang tua Naira tidak lagi mengekang. Karena yang mereka miliki sekarang hanya Naira. Satu-satunya anak mereka yang tersisa. Harusnya Naira merasa menang, tetapi tidak. Kehilangan sosok kakak tempatnya bermanja membuat hidup Naira hampa. Biasanya, saat kedua orang tua mereka perjalanan dinas, dia di rumah bersama kakaknya. Waktu lama berlalu, tetapi setiap melihat pakaian kakaknya, Naira kerap kali menangis. Naira memasuki area parkiran kampus. Dia segera turun dari motor dan memasang standar. Melepas helm putih dengan corak merah muda dengan gambar kucing sebagai hiasan dari atas kepalanya. Meletakkan ke jok lalu merapikan rambutnya dengan melihat kaca spion. Setelah gadis itu merasa dirinya rapi, barulah dia dengan percaya diri melenggang masuk ke dalam koridor kampus. Kalian ingin tahu, apa alasan Naira masuk mengambil jurusan sastra? Gadis itu sangat suka seni tulis. Naira suka menulis kata-kata bijak, puisi, bahkan dia diam-diam menulis n****+ online. Naira ingin menguasai apa yang menjadi hobinya. Suasana kampus sudah ramai. Beberapa menit lagi sudah waktunya memulai pelajaran. Naira teringat ada tugas di jam pertama yang belum dia pastikan kebenarannya. Gadis itu berusaha mengeluarkan buku tugas dari dalam tasnya. Dia tidak melihat dari lantai dua ada sebuah pot yang jatuh tersenggol oleh seseorang tepat di atas kepala Naira. "Minggir!"Seseorang merangkul tubuh Naira hingga tubuh mereka terlempar, bertepatan dengan itu pot bunga yang jatuh hancur berantakan tidak jauh dari keduanya. "Terima kasih, Kak." Naira membersihkan dirinya. Mendadak gadis itu membeku saat melihat siapa yang menolongnya. Ardan Fernanda. Lelaki itu sedang berusaha bangkit setelah tertimpa tubuh Naira. Sikunya sedikit terluka. Sementara Naira tetap tidak tahu harus berkata apa. Seketika tubuhnya menggigil karena grogi. "Lain kali, kalau lagi jalan, nggak usah fokus ke yang lain. Untung pas gue lewat, kalau nggak, bocor kepala lo." ujar Ardan dingin. Bagi Naira, itu adalah perhatian. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Naira bisa bicara sedekat ini dengan Darian. Gadis itu berusaha menahan gugup supaya bisa bicara di hadapan orang yang dicintainya. "Maaf, Kak. Terima kasih sudah mengingatkan. Itu tangan kakak luka, biar aku obati sebentar." Naira menawarkan diri agar bisa merawat Ardan. "Nggak usah. Gue lagi buru-buru. Lagipula cuma luka kecil. Gue duluan!" Ardan meninggalkan Naira. Gadis itu menatap pecahan pot yang ada di hadapannya. Seandainya Ardan tidak menyelamatkannya, mungkin sekarang dia terbaring di rumah sakit. "Aku akan balas kebaikan kakak. Mungkin ini kesempatanku untuk mendapatkan perhatian kamu, Kak." gumam Naira, masih memandangi punggung Ardan. Setelah itu Naira kembali melangkahkan kakinya menuju ke kelas. Saat bertemu Dita, Naira langsung menceritakan kejadian yang baru saja terjadi antara dirinya dan Ardan. "Hah, serius? Ardan nyelamatin lo? Wah, bagus. Ini kesempatan buat lo bisa deketin dia. Coba tadi gue ada di lokasi, gue pasti abadiin momen romantis kalian berdua." Dita heboh, sementara Naira menghadiahkan jeweran di telinga gadis itu. "Lo tega ya, gue lagi kena musibah malah lo abadiin. Sahabat macam apa lo." omel Naira, Dita terkekeh mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD