Layaknya sebuah perjalanan menuju tempat yang indah, jalannya selalu terjal dan tak mudah. Namun pada akhirnya kamu akan mendapatkan sebuah kebahagiaan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Begitu pula dengan hijrah.
___________
Sebuah ruangan yang berukuran sekitar 3,75 x 5,5 m. Ruangan tersebut dapat menampung antara 6 sampai 10 orang yang terdiri dari 5 kursi dan diantaranya hanya ada satu meja.
Disana sudah ada Mia dan Pak Kyai Narudin beserta istrinya. Mereka terlihat sedang membicarakan hal serius mengenai niat mulia Mia yang akan menyegerakan dirinya untuk menikah, lewat taaruf yang diajukannya, dan Mia mempercayakan semuanya kepada Pak Kyai dan Ibu Kyai.
Mia sendiri sudah mantap mengambil tindakannya tersebut, dia sudah meminta petunjuk dari sepertiga malam yang tak pernah dia lewatkan.
“Nak Mia,” panggil Pak Kyai Narudin.
“Iya Pak,” balas Mia.
“Dua hari yang lalu, ada pasangan suami-istri yang menitipkan proposal taaruf kepada saya untuk anaknya. Bagaimana denganmu, apakah kamu mau melihat proposalnya?” tanya Pak Kyai Narudin.
“Bismillah ... iya Pak, izinkan saya melihatnya.” Mia menyakinkan dirinya.
“Nak Mia, jika kamu tak menyukai orang tersebut, kamu boleh menolaknya.” Ibu Hafinah Istri Kyai angkat bicara.
“Iya Bu, In Syaa Allah saya akan ikhlas menerimanya. Ibu jangan khawatir, Allah maha tau apa yang terbaik untuk setiap hambanya. Bukankah Ibu pernah bilang, jika memang berjodoh maka semua akan dipermudahkan oleh-Nya,” tegas Mia.
Ibu Hafinah tersenyum mendengar ketegasan dari Mia, salah satu anak didik yang dekat dengannya. “Lantas jika itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu hanya bisa berdoa, semoga kamu selalu bahagia diatas keridhoan-Nya,” ungkap Ibu Hafinah. Keduanya tersenyum satu sama lain.
“Nak Mia, bagaimana dengan orang tua-mu yang berada di Bandung? Apakah kamu sudah menghubunginya?” tanya Pak Kyai.
“Saya sudah berusaha menghubunginya, tapi ... dari mereka tidak ada yang merespon.” Wajah Mia berubah menjadi lesu dan murung.
“Kamu yang sabar ya, mungkin mereka sedang sibuk ...,” Pak Kyai mencoba menenangkan Mia. “... Saya mau ngasih kabar baik untukmu, dua hari lagi mereka akan datang lagi kesini, mereka ingin segera menemuimu,” ujar Pak Kyai.
“Eee ... apakah tidak terlalu cepat, Pak?” tanya Mia tersentak.
“Kenapa ... nak Mia belum siapkah? Jika belum, kita bisa atur lagi pertemuanannya,” tukas Pak Kya.
“Bu-bu ... bu-kan begitu Pak. In Syaa Allah saya siap,” Mia mencoba menetralkan kegugupannya yang tiba-tiba menyerangnya.
“Alhamdulillah jika sudah siap.”
Keduanya tersenyum bahagia begitupun dengan Mia, hanya saja dia berusaha tersenyum dalam kegugupan yang kini telah menyerangnyanya.
Ibu Hafinah menepuk pundak Mia. “Nak, lebih baik kamu hubungi lagi orang tuamu,” ujar Ibu Kyai.
“Ya bu, saya akan menghubunginya.” Mia sendiri sebenarnya tidak yakin jika orang tuanya akan merespon kembali dirinya.
Karena semenjak Mia memilih berhenti dari perusahaannya, dimana tempat dia bekerja dulu, dan memutuskan dirinya untuk berhijrah dengan pakaian yang serba gelap, dan hingga kini dia telah bercadar. Sejak saat itu orang tuanya menantang keras Mia, untuk menghubunginya lagi.
Orang tua Mia tidak suka dengan perubahan Mia yang menurutnya berlebihan. Orang tuanya menganggap Mia yang pada hakikatnya adalah anak sendiri, sebagai komplotan dari teroris. Dan bahkan orang tuanya hampir tidak mau menganggapnya sebagai anak dari kandungnya.
Mulai dari situ hubungan Mia dan orang tuanya menjadi renggang. Mia akan selalu dikucilkan ketika berkunjung ke rumah orang tuanya yang berada di Bandung.
Perubahan tidak selamanya diterima baik oleh orang yang terdekat, bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnyapun mungkin akan ditolak, karena mereka hanya mengira kita berubah dengan cara yang berlebihan.
Sosok orang terdekat Mia ialah Winda, sosok pengganti orang tuanya untuk selalu mensuport dirinya, tapi Winda tidak begitu lama untuk selalu berada didekatnya sebab Allah lebih menyayanginya. Harapan Mia untuk Winda, semoga Winda khusnul khotimah.
Winda terlalu baik untuk Mia, Mia banyak belajar tentang agama dari Winda, disaat Mia kehilangan Winda, Mia benar-benar terpuruk, dia merasa bahwa dirinya tidak punya tempat lagi untuk dia berkeluh kesah.
°°°°°
Mia menghela napasnya dengan beristigfar mengingat masalalu yang kadang tiba-tiba terlintas diingatannya. Setelah mengunjungi Pak Kyai dan Bu Kyai di rumahnya, Mia langsung bergegas pulang ke gedung khusus santriwati berada.
Di kamar, Mia kini telah berada disana. Dia harus berbagi kamar dengan Vio salah satu teman santriwatinya. Saat ini Vio sedang keluar, menyisakan Mia sendiri. Mia membuka tas pribadinya dan mengambil sebuah bingkai foto antara dirinya dan Winda.
Dalam foto tersebut tergambarkan dengan jelas bahwa mereka sedang tersenyum bahagia dengan saling berpelukan. Meskipun Winda memakai cadar, tapi senyumnya terlihat ketara sekali, lewat matanya yang menyipit. Difoto tersebut Mia belum mengenakan cadar, hanya baru memakai pakaian syar'i-nya saja.
Mia mengusap bingkai foto itu dengan sangat lembut, menyalurkan segala kerinduan yang tiap kali menyapanya. Tanpa sadar, bulir air mata itu mengalir indah dipipinya, Mia langsung mengusapnya.
Suara ketukan pintu terdengar dari arah luar, hingga muncul Vio teman sekamarnya. “Assalamualaikum ....”
“Waalaikumusalam warahmatullah,” jawab Mia, dengan menghapus sisa-sisa air matanya.
“Mia, kamu menangis?”
Mia tersenyum, “Tidak!” jawab Mia, dia berusaha menutupinya.
Sedekat apapun Vio dengannya, selama kurang lebih satu tahun ini, tapi Mia belum bisa percaya sepenuhnya kepada Vio. Mia sendiri masih belum yakin untuk menceritakan apapun kepada Vio mengenai kehidupan dimasa lalunya. Mia hanya takut jika Vio tidak dapat menerima masa lalu Mia di masa-masa jahiliyahnya.
Selain dari itu juga, Mia sendiri takut jika dia termasuk kedalam golongan kaum Al-Muhajirin yang mengartikan 'orang-orang yang menunjukkan bahwa dia telah berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla'.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bersabda :
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa yang menunjukkan dalam islam sebuah jalan keburukan (menjadi contoh buruk) maka baginya dosa perbuatannya tersebut dan dosa orang-orang yang mengikuti perbuatannya setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun”[4].
Vio berjalan mendekati Mia, dan duduk bersebelahan dengannya “Bagaimana dengan taarufnya, apakah sudah ada kemajuan?”
“Alhamdulillah, dua hari lagi mereka akan datang menemuiku,” ujar Mia dengan senyum lebarnya. Terkhusus untuk didalam kamarnya yang hanya akan berdua dengan Vio, maka Mia akan melepas cadarnya begitupun dengan Vio.
Vio kini sedang melepas cadarnya. Hampir 60 persen santriwati yang ada di Pesantren Watiynu Waliyya mengenakan cadar untuk menutupi sebagian wajahnya.
Vio menganggukan kepalanya, “Syukurlah, bukannya lebih cepat lebih baikkan?”
“Kamu kapan nyusul Vi?” tanya Mia dengan senyuman khasnya. Senyum manis yang dapat memabukan siapapun yang melihatnya. Dulu, Mia selalu mengandalkan senyumannya untuk mengikat para laki-laki. Dia sering menebarkan pesona lewat senyumannya.
“Mmhhh ... entah aku sendiri belum yakin, aku masih takut untuk membuka hati lagi.”
Vio tipikal wanita yang sulit membuka hati lagi, setelah sakit hati yang pernah dialaminya dimasa lalu, masa dimana dia juga pernah mengalami masa jahiliyah. Saat itu Vio hanya diperalat karena kecantikannya, pacarnya yang dulu menjual Vio untuk dijadikan sebagai penghibur malam.
Vio tulus mencintaimu sang mantan kekasihnya, tapi mantannya berkhianat dan berbuat hal keji kepadanya. Vio diselamatkan oleh ustadz pengajar dipesantren itu, namanya ustadz Rey. Saat itu Vio dikejar oleh om-om yang telah menyerangnya lalu diselamatkan oleh ustad Rey.
Ustadz Rey tersebut membawa Vio ke Pesantren Matiynu waliyya, dikarenakan Vio sendiri hanya hidup sebatangkara. Orang tuanya telah meninggal, dan saudaranya tidak ada yang peduli lagi.
“Vi, bukannya kamu punya perasaan kepada ustaz Rey?” tukas Mia.
“Tidak Mia! Aku hanya menganggap dia hanya sebagai abangku saja, tidak lebih!”
“Tapi kalau ustadz Rey melamar kamu, pasti kamu menerimakan hehee ....” sindir Mia.
“In Syaa Allah, jodoh nggak boleh ditolak jugakan hehee ....” Keduanya tertawa bersama.
Vio selalu terbuka kepada Mia, dia akan selalu menceritakan apapun kepada Mia. Mia sendiri selalu membantu sebisanya.
°°°°°
Sahabat yang saleh akan selalu membenarkan dan menasehati kita apabila salah. Inilah sahabat yang sesungguhnya, bukan hanya sahabat saat bersenang-senang saja atau sahabat yang memuji karena basa-basi saja. Sebuah ungkapan arab berbunyi:
ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ
“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkan.”
Dari semua keutamaan memiliki sahabat yang saleh, ada keutamaan yang juga merupakan kenikmatan besar, yaitu persahabatan orang saleh yang akan berlanjut sampai ke surga dan akan kekal selamanya. Tentu ini kenikmatan yang sangat besar, karena antara sahabat dekat pasti tidak ingin berpisah dengan sahabat lainnya. Persahabatan sementara di dunia kemudian dipisahkan dengan kematian begitu saja, tentu bukan akhir yang indah.
Salah satu dalil bahwa akan ada persahabatan di hari kiamat, bahwa orang yang saling mencintai (termasuk para sahabat) akan dikumpulkan bersama di hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Setiap orang akan dikumpulkan bersama dengan orang yang ia cintai.” (HR. Bukhari, no. 6170; Muslim, no. 2640.)
Untuk memfasilitasi hal ini, Allah Ta’ala memberikan keutaamaan kepada seseorang untuk memberikan syafaat kepada sahabatnya yang lain, agar mereka bisa bersama-sama masuk surga dan diperkumpulkan kembali di sana.
Hasan Al- Bashri berkata,
استكثروا من الأصدقاء المؤمنين فإن لهم شفاعة يوم القيامة
”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari klamat.” (Ma’alimut Tanzil 4/268)
Diriwayatkan bahwa apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, lalu mereka tidak menemukan sabahat-sahabat yang selalu bersama mereka dahulu di dunia, maka bertanyalah mereka tentang sahabat-sahabat itu kepada Allah SWT.
“Ya Rabb, kami tidak melihat sahabat-sahabat kami yang sewaktu di dunia sholat bersama dengan kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami.” Maka Allah berfirman, “Pergilah ke neraka, lalu keluarkan sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman walaupun hanya sebesar zarah.” (HR Ibnul Mubarak, dalam kitab Az Zuhd).
Sementara Imam Syafi'i berkata, “Jika engkau punya teman yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan. Karena mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali.”
Sekalipun Mia tidak akan pernah melepas Vio, teman seperjuangannya kisah dimasalalunya tidak jauh berbeda dengannya, dan mereka berhak untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Allah maha pengampun untuk mereka yang benar-benar ingin bertaubat.
°°°°°