Minta Restu

1701 Words
Ikhlasku hanya mengharap ridho-Nya, berbahagia atau tidak itu tergantung aku menyikapinya. Allah tidak akan pernah menguji hambanya diluar batas kemampuannya. Dia maha tau sekuat apa kita dalam menghadapinya, hanya saja Dia ingin mengetahui apakah seorang hamba bisa tetap bertahan di jalan-Nya atau berpaling dari jalan yang seharusnya. ______________ Perjalanan Bogor-Bandung memakan waktu kurang lebih 3 jam. Pagi-pagi sekali Mia meminta ijin kepada sahabatnya, Vio. Tak lupa juga Mia meminta ijin kepada Pak Kyai dan Bu Kyai. Mia berpamitan kepada mereka untuk mengunjungi orang tuanya yang berada di Bandung. Mia berencana akan meminta restu kepada orang tuanya secara langsung, dan berharap kedua orang tuanya dapat hadir diacara bahagianya. Kembali datang setelah sebelumnya tidak dianggap dan bahkan diusir oleh kedua orang tuanya sendiri. kini Mia menguatkan hatinya, untuk menemui mereka kembali. Dengan berbekal doa, dia berharap setidaknya kedua orang tua mau menatap dirinya lagi. Rasa khawatir terus melingkupi dirinya, pikiran-pikiran negatif terus bermunculan dalam benaknya. Dua puluh menit yang lalu, Mia sudah menginjakan kakinya di samping pagar rumah kedua orang tuanya. Mia menatap rumah kedua orang tuanya tersebut dengan mata yang sedikit redup, dia takut jika kedua orang tuanya tidak mau menemuinya lagi. Semenjak kemarin Mia sudah menghubungi sang Ayah, tapi tidak diangkat sama sekali olehnya. Mia tau mungkin beliau, masih belum bisa menerima dirinya yang telah berubah. Rumah itu terlihat tenang dan nyaman, tempat dimana Mia dapat merasa kehangatan yang selalu terjalin disana. Dan itu semua hanya berlaku, sebelum dia memutuskan untuk berhijrah. Dulu kepulangan Mia selalu dinantikan oleh kedua orang tuanya, tapi kini hanya sekedar ingin menanyakan kabar lewat sambungan teleponpun begitu amat sulit untuk Mia dapatkan. Seorang wanita berumur 30 tahun, keluar dari rumah sederhana tersebut, tante Sinta. Sosok wanita yang  terus-menerus menghasut kedua orang tuanya untuk membenci Mia. Tante Sinta memprovokasi kedua orang tuanya, dengan mengatakan bahwa Mia, mengikuti aliran terorisme atau biasa disebut dengan kelompok radikal. Karena sebab, pakaian Mia yang berubah menjadi tertutup secara sempurna dan yang terlihat hanya matanya saja. Dari dulu tante Sinta memang sudah tidak menyukai keberadaan Mia, tante Sinta adalah adik terakhir dari sang Ayah. Tante Sinta sangat menggilai harta, dia selalu berusaha memanfaatkan kekayaan saudaranya, hanya untuk memuaskan batinnya. Seberusaha besar Mia untuk menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh tante Sinta, tapi tetap saja dengan matanya yang lincah tante Sinta dapat menemui keberadaan Mia dengan begitu mudah. Tante Sinta berjalan mendekati Mia, begitupun dengan Mia yang keluar dari persembuyiannya setelah dia menyadari bahwa tante Sinta sudah mengetahui keberadaannya. “Mia ... kamu ngapain kesini?” tanya tante Sinta. “Assalamualaikum tan,” Mia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan sosok yang kini tengah berhadapan dengannya, uluran tangan Mia diterima olehnya. “Waalaikumusalam,” jawabnya dengan ketus. “kamu ngapain kesini, nggak kapok kamu diusir oleh orang tuamu sendiri?!” tukas tante Sinta. “Tidak tan, saya percaya mereka sebenarnya tidak mau mengusir saya, hanya saja mata hati mereka sedang ditutup oleh seseorang yang licik, yang tidak pernah ingin melihat keluarga saya harmonis dan bahagia.” Tante Sinta merasa tersinggung oleh ucapan Mia. “Maksud kamu apa ngomong kaya gitu? Jelas saja mereka mengusir kamu dengan keadaan diri mereka yang sadar! Jangan mengada-ngada kamu,” tukas tante Sinta. “Tidak tan, mereka melakukan itu semua, sebab ada orang yang terus memprovokasinya untuk membenci saya dan saya percaya itu. Saya berharap dengan datangnya saya kesini, dapat membuka hati mereka kembali. Permisi tan, saya mau masuk dulu, Assalamualaikum.” Mia beranjak dari tempatnya tapi tangannya dicekal oleh tante Sinta. “Tidak Mia! Mereka sedang sibuk. Kamu tidak boleh mengganggunya.”  Tante Sinta berusaha menghalangi Mia untuk masuk kedalam untuk menemui orang tuanya. “Tan, sesibuk apapun mereka. Jika ada tamu pasti mereka akan menemuinya, meskipun tamunya adalah orang yang dibenci sekalipun. Tolong jangan halangi saya.” “Mia kamu harus pahami itu, kalau mereka memang sedang sibuk.” “Sibuk apa? Ini semua hanya akal-akalan tantekan? Untuk menghalangi saya menemui mereka. Tolong lepaskan saya!” Mia melepaskan cekalan tante Sinta secara paksa. Membuat tante Sinta hampir terjerembab. Mia mengabaikan teriakan-teriakan tante Sinta kepadanya. Mia terus berjalan memasuki pelataran rumah orang tuanya. Sampai di teras rumah, Mia mengetuk pintu tersebut. Mia menetralkan detak jantungnya, dengan merafalkan beberapa bacaan doa agar dia bisa rileks. Pintu itu terbuka, menampilkan sosok Ayah yang sangat dirindukan oleh Mia. “Ayah ...  assalamualaikum,” ucap Mia. “Waalaikumusalam,” balas Ayah spontan. “Ayah, boleh Mia peluk Ayah ... Mia merindukanmu Ayah.” Mia berhamburan lari kepelukan sang Ayah. Mia mengeratkan pelukannya meskipun, pelukan itu tidak dibalas sama sekali sang Ayah. “Lebih baik kita masuk, tidak enak dilihat tetangga.” Sang Ayah melepaskan pelukan Mia kepada dirinya dan langsung menutup pintu rumah tersebut. Sang Ayah berlalu lebih dulu masuk kedalam rumahnya, Mia mengekorinya dari belakang. Ruang keluarga, tempat biasa Mia bersama dengan kedua orang tuanya bersantai sambil bercanda dengan bernonton televisi. Mia adalah anak satu-satunya dari keluarga tersebut, jadi wajar jika kepulangannya selalu dinantikan oleh kedua orang tuanya tersebut. Tapi dipertegas kembali! Itu semua hanya berlaku sebelum Mia memutuskan berhijrah. Terlihat sang Bunda sedang melihat salah satu acara di televisi. “Bunda ....” panggil Mia. Sang Bunda menengok kearah kebelakang dan menemui sosok anak yang sangat dirindukannya. Sudah 3 tahun lebih, sang anak tidak pernah pulang kerumahnya sama sekali. Biasanya Mia akan pulang dua minggu sekali, tapi semenjak pengusiran itu terjadi, Mia sekalipun tak pernah pulang kembali. “Mia ....” Sang  Bunda berlari memeluk anaknya dengan tangisnya yang pecah. Sebenci apapun seorang Ibu kepada anaknya, tapi hati tidak akan pernah bisa membohongi. Sang Bunda menyesal atas tindakan yang pernah dilakukannya dulu. Dia menyesal karena telah menghalangi niat baik sang anak, yang mengakibatkan dirinya kehilangan anak tersayangannya tersebut. “Miaa ... hiks ... hiks ...  maafkan Bunda - maafkan Bunda sayang,” pinta sang Bunda. “Tidak bunda, bunda tidak salah. Mungkin dulu Bunda belum mengerti kenapa Mia berubah seperti ini, hiks ...,” Mia merenggangkan pelukannya dan mengelus pelan pundak sang Bunda. “... Perlahan Mia akan jelasin semuanya kepada Bunda, agar Bunda tau bahwa Mia bukan golongan dari aliran yang Ayah dan Bunda tuduh. Mia juga minta maaf, karena telah meninggalkan Bunda dengan begitu lama.” Mia berusaha tersenyum dalam tangisnya. “Tidak usah drama!” Sang Ayah menarik istrinya secara paksa dari pelukan Mia. “Apa yang akan kamu lakukan disini! Kamu ingin mengajak kami untuk mengikuti aliranmu, jangan harap! Lebih baik kamu pergi dari rumah ini!” bentak Sang Ayah. “Ayah ... tolong berhenti menganggap Mia seperti itu Ayah. Kenapa Ayah beranggapan bahwa Mia mengikuti aliran seperti itu? Apakah hanya dengan pakaian Mia yang seperti ini, jadi Ayah menganggap bahwa Mia adalah kelompok dari mereka. Tidak Ayah, itu tidak benar,” jelas Mia dalam tangisnya. “Benar! Ucapanmu memang benar. Ayah mengkhawatirkan itu, kamu harus tau dua bulan yang lalu, tepat disebuah gereja dekat rumah kita, terjadi ledakan bom dan itu dikarenakan oleh seorang wanita yang berpakaian seperti kamu. Saat ini mungkin kamu belum melakukannya tapi nanti? Kamu pasti akan melakukannya. Dan setelah itu saya dan bundamu yang akan menjadi korban. Kenapa dulu saya mengusir kamu, karena kamu hanya akan membuat saya malu. Saya dan bundamu akan dihukum dan terasingkan atau mungkin akan dibunuh hidup-hidup oleh masyarakat yang ada disini, karena anaknya sudah menewaskan banyak korban akibat bom yang diledakannya. Dan sebelum itu terjadi, lebih baik saya usir kamu lebih dulu. Jadi, kamu sudah pahamkan, kenapa saya dulu mengusir kamu!” terang sang Ayah. “Astagfirullahaladzim Ayah! Kenapa Ayah sampai berpikiran sejauh itu! Ayah ... itu semua tidak benar! Pakaian Mia yang sangat ini Mia kenakan hanya sebatas ketaatan Mia terhadap Allah. Mia merasa aman dan terlindungi akibat pakaian ini. Ayah ... dulu Mia hampir dilecehkan oleh laki-laki karena pakaian Mia yang terbuka. Ayah tau itu, betapa tergilanya mereka terhadap Mia ...  hiks ... hiks ....” Mia terisak kembali. “Wajar, kalau mereka menggilaimu karena kamu cantik! Tapi bukan berarti kamu merubah total diri kamu sendiri seperti ini, kamu hanya cukup mengenakan hijab yang biasa pada umumnya. Sudahlah lebih baik kamu pergi, sebelum kepala desa datang kesini dan mengintrogasi kami.” “Ayah, mereka menggilai karena wajah Mia yang cantik, jadi Mia akan lebih nyaman jika menutupinya. Bukan berarti Mia tak bersyukur atas wajah cantik yang Allah berikan untuk Mia. Hanya saja dari wajah ini mungkin Mia akan terselamatkan dari panasnya neraka, karena semasa hidup Mia sudah membantu para laki-laki untuk menundukkan pandangannya dengan cara menutup sebagian wajah ini. “Terus saja kamu membicarakan akhirat, akhirat, dan akhirat. Kamu memang menginginkan orang tuamu cepat berada diakhiratkan?!” Ayah semakin disulut emosi. “Ayah cukup! Berhenti untuk menyalahkan Mia, dia nggak salah. Dia berhak berubah menjadi lebih baik, kita sebagai orang tua harus bersyukur, karena anaknya telah lebih dekat dengan Rabb nya ...,” sang Bunda ikut angkat bicara. “... Mia kemarilah nak,” pinta sang Bunda dengan melebarkan tangannya agar Mia dapat memeluknya. Tapi pelukan itu terhalang kembali oleh sang Ayah. “Keluar sekarang atau saya seret!” tegas Ayah. “Tidak perlu Ayah, saya bisa keluar sendiri,” Mia menghela napasnya. “Ayah, sebenarnya Mia datang kesini bukan untuk berdebat dengan Ayah. Mia hanya ingin meminta restu Ayah dan Bunda untuk mengijinkan Mia menikah,” ucap Mia disela tangisnya. “Menikah dengan teroris? Menikah saja sana! Jangan harap saya akan datang, apalagi untuk menjadi walimu! Saya tidak akan sudi!” balas sang Ayah dengan namanya yang semakin tinggi. Bagai tersambar petir di siang bolong, kalimat yang dilontarkan oleh sang Ayah begitu monohok hatinya, sakit tapi tak berdarah. “Ayah ... Mia mohon datanglah, Mia akan bersujud di kaki Ayah,” Mia benar-benar melakukan sujud dengan  mencium kaki sang Ayah. “Restu Ayah sangat Mia harapkan. Kedatangan Ayah sebagai wali sangat Mia nantikan. Jadi Mia mohon hadirlah walau hanya sebentar.” Sang Ayah menarik tangan Mia secara paksa dan menyeretnya hingga keluar. “Pergi kamu! Jangan harap saya akan hadir di acara pernikahanmu.” “Miaaa ... hiksss ...  hiksss ... Mia jangan pergi! Bunda mohon jangan pergi sayang. Bunda merestuimu menikah sayang, tapi tolong ... jangan tinggalkan bunda lagi.” Isakkan demi isakkan dari Bunda dan anaknya terus mendominasi rumah tersebut. “Apasih Bun, udah masuk, biarkan dia pergi. Dia sudah bukan anak kita lagi!” Sang Ayah menutup pintu rumahnya dengan keras. Mia kini sudah berada diluar dengan tangisannya yang semakin pecah dan tidak bisa dihentikan lagi. Seorang wanita datang menghampiri Mia. “Sudah saya bilang, nggak ada gunanya kamu menemui mereka. Karena kamu sudah tidak dianggap anaknya lagi, kehadiran kamu sudah tidak diinginkan lagi disini. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini!” ujar tante Sinta. Mia tidak bisa lagi membalas ucapan dari sang tante. Dia hanya bisa menangis dan menangis. Tante Sinta pergi meninggalkan Mia seorang diri. Di depan pintu rumah itu, Mia meratapi takdirnya dengan isak tangis yang terus membuncah. Hanya satu restu yang dia dapatkan, dan dia bersyukur karena Bundanya telah membuka hatinya untuk menerima dirinya  kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD