Bagaimana rasanya dikucilkan dan bahkan tidak dianggap sama sekali oleh orang yang kita cintai. Apakah kita akan rela melepaskan semua yang sudah kita dapatkan, hanya untuk diterima kembali oleh mereka? Atau kita akan tetap bertahan dengan ketidakadilan yang kita terima?
____________
Seusai kepulangan dari Bandung, Mia benar-benar mengurung dirinya didalam kamar, Vio berkali-kali menegurnya tapi hanya sedikit sahutan dari Mia.
Vio ingin menanyakan sesuatu kepada Mia, perihal dirinya yang begitu penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya kepada Mia, hingga menyebabkan Mia seperti itu.
Satu jam yang lalu, Vio telah mengunjungi rumah Ibu Hafinah selaku istri Pak Kyai, dia menceritakan kemurungan yang dilakukan oleh Mia semenjak kepulangannya dari Bandung. Karena Ibu Hafinah sedang sibuk memasak sesuatu untuk Pak Kyai, jadi beliau mengurungkan niatnya untuk langsung menemui Mia.
Vio mendekati Mia kembali. “Mia, kamu kenapa? Berceritalah apa yang terjadi sebenarnya? Janganlah kamu tutup semuanya sendiri, kamu berhak berbagi keluh kesahmu kepada saya, apalah gunanya saya sebagai sahabatmu jika kamu sendiri tidak bisa terbuka dengan saya. Maaf, telah lancang berbicara seperti ini kepadamu. Hanya saja saya perlu tau, agar saya bisa mengasih sedikit masukan untukmu, jangan kamu bebani diri kamu sendiri, maka berbagilah, saya selalu siap untuk membantumu,” tandas Vio.
Mia berhamburan memeluk Vio, berbagi kesedihan yang didera kepada sahabatnya, Vio.
Kini mata Mia bengkak akibat tangisnya yang tidak bisa diberhentikan olehnya. Vio mengusap lembut pundak Mia, menyalurkan ketenangan untuk Mia.
Rasa sakit yang didera oleh Mia begitu kuat, hingga dia sendiri sudah tidak bisa lagi membentengi dirinya dengan sendiri. Tangisan itu tumpah-ruah begitu saja didalam pelukan Vio, sahabatnya.
“Vi,” panggil Mia. “Ayah saya ... hiks, Ayah saya tidak merestui saya menikah, hiks ... lantas saya harus bagaimana?” tanya Mia dengan tangisannya.
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, kenapa begitu? Bukankah menikah itu suatu hal yang mulia, yang sangat disenangi oleh Allah SWT. Mengapa Ayahmu sampai tidak mengijinkannya, pasti ada alasan lain hingga membuat Ayahmu seperti itu. Apa yang telah terjadi sebelumnya Mia?” Vio berbalik bertanya kepada Mia.
Mia mengusap air matanya kembali, “Sebenarnya, semenjak saya memutuskan untuk berhijrah tiga tahun yang lalu, saya diusir dan tidak dianggap sebagai anaknya lagi oleh Ayah saya sendiri. Sejak saat itu hubungan kami jadi renggang dan Ayah sudah tidak menginginkan kehadiran saya kembali ....” Cerita demi cerita mengalir begitu saja dari mulut Mia dengan diselingi tangisannya yang semakin membuncah.
Vio yang mendengarkan secara seksama begitu merasa empati kepada Mia. Ternyata orang yang selalu terlihat tegar, nyatanya begitu banyak menyimpan sesuatu yang berat dalam hidupnya.
Ternyata bukan hanya Vio saja yang mendapatkan tuduhan-tuduhan terorisme atau kelompok radikal lainnya. Tapi juga Mia, dia juga mendapatkan tuduhan seperti itu, sebab pakaiannya yang selalu tertutup dan bercadar.
Apakah mungkin juga, tuduhan-tuduhan itu berlaku bagi semua kalangan wanita yang telah berhijrah dengan pakaian syar'i-nya serta bercadar yang dianggap sebagai terorisme, penganut kelompok radikal? Lantas jika itu memang adanya, apakah kita boleh menganggap wanita dengan pakaian seksinya sebagai p*****r? Wallahu alam, hanya Allah yang maha tau mana yang baik dan benar.
Mia hanya manusia biasa, seberapa besar usaha untuk menutupi kisah dirinya dari siapapun tentang masa lalunya, namun tetap saja ... suatu saat Mia akan butuh teman untuk dia jadikan tempat bersandar dan berkeluh kesahnya. Dan saat ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk dia berbagi semuanya kepada Vio, sahabatnya sendiri.
°°°°°
Siapapun boleh mengabarkan tentang keadaan yang sedang dialaminya, namun dengan engkau memuji Allah dan jangan sampai engkau berpaling darinya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Qs. Az Zumar: 10)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 156-158)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
لا يصيب المسلم هم ولا غم ولا نصب ولا وصب( وهو المرض) ولا أذى حتى الشوكة إلا كفر الله بها من خطاياه
“Seorang Muslim tertimpa kesedihan, kesusahan, penyakit, gangguan walau sekedar tertusuk duri, pasti Allah akan menjadikannya penghapus dosa-dosa yang ia miliki.” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5318, Muslim bab Al Birr Was Shilah Wal Adab no.2573, At Tirmidzi bab Al Jana’iz no.966, Ahmad 3/19)
Juga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bersabda.
من يرد الله به خيرا يصب منه
“Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seseorang, Allah akan memberinya cobaan.” (HR. Al Bukhari bab Al Mardhi no.5321, Ahmad 2/237, Malik dalam Al Muwatha, 1752)
°°°°°
Suara ketukan pintu sedikit menghentikan tangisan diantara keduanya. Vio juga ikut menangis saat cerita masa lalu Mia dijabarkan lengkap oleh Mia sendiri. Vio ikut terhanyut dalam kisah perjalanan hijrah Mia yang dilalui.
Vio mengusap sisa-sisa air matanya. “Biar saya saja yang akan membuka pintunya,” ucap Vio.
Pintu itu dibuka dan mendapati sosok wanita paruh baya, sosok itu ialah Ibu Hafinah.
“Assalamualaikum,” ucap ibu Hafinah.
“Ibu, Waalaikumusalam,” Vio menyalami tangan Ibu Hafinah. “silahkan masuk bu,” lanjut Vio mempersilahkan Ibu Hafinah masuk lebih dulu.
“Terima kasih, nak Vio.”
Mia melihat Ibu Hafinah yang tiba-tiba mengunjungi dirinya, lantas Mia langsung berhamburan memeluk Ibu pemilik yayasan tersebut. Menyalurkan rasa kesedihan yang dirasakannya saat ini. Tangis Mia semakin pecah didalam pelukan sang Ibu Hafinah.
“Hiks ... Ibu ... hiks, Mia-Bu, Mia udah nggak sanggup lagu Bu, apa yang harus Mia lakukan Bu? Ayah tidak mau merestui Mia dan tidak mau menjadi wali Mia Bu ... hiks ....”
“Mia istigfar kamu nak, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuan hambanya,” jelas Ibu Hafinah.
Mia hanya bisa menangis dalam pelukan Ibu Hafinah.
“Mia kamu harus tenang, semuanya tidak bisa diselesaikan hanya dengan menangis. Lihat! Kamu punya Allah tempat kamu berkeluh-kesah dan tempat kamu meminta petunjuk, sepatutnya kamu bersyukur kepada-Nya bukan sebaliknya kamu berpaling dari - Nya, karena itu hanya akan menjerumuskanmu kedalam lubang yang dibenci -NYA.” Ibu Hafinah menghentikan sejenak ucapannya.
“Bukankah selama ini kamu kuat karena-Nya, maka jadikan ujian sebagai untuk meningkatkan derajat kamu dihadapan-NYA. Kamu harus tau selain kamu punya Allah, kamu juga punya Ibu, punya Vio sahabat kamu, punya Pak Kyai dan teman-teman kamu semua yang ada di Pesantren ini. Kami akan selalu ada untuk menguatkanmu. Jadi kamu tidak perlu risau, karena punya banyak orang-orang yang akan selalu menyayangimu dan mendukungmu dalam hal kebaikan,” lanjut Ibu Hafinah.
Ibu Hafinah sudah mengetahui semua kisah Mia dari sosok Winda, sahabat Mia yang sudah meninggal sekaligus anak angkat dari Ibu Hafinah tersebut.
Setiap Winda mengunjungi Pesantren maka dengan sangat antusiasnya, Winda akan berbicara mengenai perihal perkembangan Mia dalam proses hijrahnya yang didampingi oleh Winda sendiri.
“Sudah ya sayang, kamu tidak perlu terlarut dalam tangisanmu, cukup kamu sholat dan meminta petunjuk kepada-Nya. Ibu sendiri akan meminta bantuan kepada Pak Kyai, perihal kamu untuk mendapatkan restu dari orang tuamu,” ungkap Ibu Hafinah.
“Iya Bu, terima kasih sudah menyadarkan Mia, andai jikalau tidak ada Ibu, mungkin ....” Mia menggantungkan kalimatnya.
“Mia berhenti untuk berandai, semua yang terjadi sudah jalan dari kehendak - Nya. Kamu tidak boleh menyalahkan kehendak,” terang Ibu Hafinah.
°°°°°
Terkadang seseorang mengucapkan kata-kata yang dia kira itu hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele padahal perkataan tersebut merupakan sesuatu yang bisa mendatangkan murka Allah ta’ala. Sehingga, bisa jadi seseorang dilemparkan ke dalam api neraka karena ia tidak mau berhati-hati dengan perkataannya. Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ إِنَّ العَبْدَ لَيَتكلَّمُ بالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لا يُلْقي لَهَا بالاً يَهوى بها فى جَهَنَّمَ
“Sungguh seseorang mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karenanya dia dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR. Bukhari no. 6478 dalam Kitabur Riqaq, Bab “Menjaga Lisan”)
Perkataan ‘seandainya’
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”. (HR. Muslim no. 2664)
Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya, perkataan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan adalah karena di dalam kata-kata seandainya menunjukkan adanya kesedihan yang mendalam dan mencela terhadap takdir Allah ta’ala ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Sedangkan sikap yang demikian ini meniadakan sikap sabar dan ridha terhadap takdir Allh ta’ala.
Padahal, sebagaimana yang sudah diketahui bahwa sabar hukumnya wajib. Dan begitu juga dengan iman kepada takdir Allah, hal ini juga merupakan kewajiban bagi setiap orang.
Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْهَا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا ءَا تَكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَا لٍ فَخُوْرٍ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan untukmu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid: 22-23)
Amiirul mukminin Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Sabar adalah sebagian dari iman, sebagaimana kedudukannya kepala terhadap badannya.” (Derajat Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3627), An-Nasaa’i dalam Al-Kubra (1462) dan Ahmad (6/24))
Oleh karena itulah, jika kita tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak kita harapkan, maka sepantasnya bagi kita adalah bersabar dan menerima terhadap apa yang telah menjadi ketentuan Allah ta’ala dan tidak perlu mengatakan, “Seandainya tadi aku tidak melakukan hal ini, tentulah kejadiannya akan berbeda” atau kata-kata yang semisalnya.
Karena meskipun kita mengatakan “Seandainya begini atau begitu, maka tidaklah akan hal ini”, ucapan ini tidak akan menyebabkan apa yang telah hilang dari kita bisa kembali lagi. Dan perlu diketahui bahwa perkataan yang seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan hal ini justru bisa menambah kesusahan dalam jiwa.