MO || BAB 4

2775 Words
Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia sekitar 23 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post". "Terima kasih Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru. "Wadug Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan. "Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah. "Wah terima kasih Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu." Gadis itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badannya dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik bersurai hitam kecoklatan bergelombang yang selalu ia ikat merupakan ciri khasnya. Hidung mancung, kulit putih bersih serta pemilik senyum menawan itu sangat cocok disandang olehnya. Ia merupakan karyawan di sebuah perusahaan media cetak yang mulai berkembang pesat sejak ia bergabung. Artikel-artikel yang ia serahkan pada direksi selalu diterima dengan baik. Dan hal itu yang membuat perusahaan swasta tersebut melejit naik daun karena berita yang sangat fresh dan tentunya hukan hanya sekedar opini. Gadis yang memang menyukai bidang jurnalistik sekaligus tantangan itu selalu mengupayakan apa pun untuk pekerjaannya. Hari ini, seperti biasa ia berjalan dengan energic ke arah mejanya. Namun, sebelum ia melangkah jauh sebuah panggilan namanya dari ruangan bertuliskan 'Manajer Direksi' menyapanya. "Morning Anggi," sapa Manager Direksi. "Morning too Pak Dimas. Ada berita baru kah hari ini?" ucapnya dengan seulas senyum yang selalu tersemat manis di bibir tipisnya. Dimas yang mendapati antusias salah satu staff nya selalu tersenyum di buatnya. Ia menyukai semangat gadis itu. "Wah, masih pagi sudah tanya berita ya. Ada, dan ini beeita yang sangat bagus ... mau denger gak?" "Apa tuh Pak?" Anggi mulai mengambil sebuah kursi dan duduk di depan meja kerja Dimas. Dimas pun merapatkan kursinya ke meja dan menatap gadis tersebut. "Jadi begini, kamu inget gak beberapa waktu lalu pembunuhan tentang Alexander Juan?" Anggi nampak beepikir mengingat kembali, dan setelah menemukan jawabannya di otakknya ia kembali menatap Dimas. "Inget Pak, audah ketemu ya pelakunya? Dimas hanya tersenyum mendapati pertanyaan itu. Ia kembali merapatkak dirinya sedikit lebih mendekat lagi pada perempuan itu. "Saya ada berita bagus, tapi harus ada perjuangan di sini. Saya menemukan fakta baru, jika Alexander Juan terakhir kali berseteru dengan sosok Aditya Regha. Dan kamu tau ... mereka masih satu keluarga Nggi," tutur Dimas. "Tunggu, Pak Dimas mencurigai dia pelakunya? Aditya Regha ... CEO Artha Group kan? Mana mungkin Pak? Setau saya Aditya Regha memiliki usaha yang berbeda dengan Alexander Juan. Bagaimana mungkin mereka bersaing dan saling membunuh? Dan bukannya kabarnya itu sebuah perampokan, masa iya begitu?" Dimas lebih mendekatkan kursinya di depan Anggi, mencoba kembali mempengaruhi pikiran Anggi agar tujuannya tercapai. "Sekarang begini, jika itu perampokan disertai pembunuhan, mana bisa hanya Alexander Juan yang menjadi korban? istri dan anaknya bahkan tidak ditemukan di mana-mana. Aneh kan? Sekarang coba kamu pikir lagi, masalahnya susah sekali di pecahkan." Anggi berpikir keras, memang kasus terbunuhnya Alexander Juan sampai saat ini menjadi misteri bagi sebagian orang. Beritanya terlalu simpang siur sehingga tidak menemukan titik masalahnya. Satu bulan berlalu nampaknya tak membuahkan hasil untuk menangkap siapa pembunuh Alexander. Lagipula ia tidak mengetahui bagaimana wajah Aditya Regha yang disebutkan oleh managernya ini. Ia hanya mengetahui namanya saja tanpa tahu orangnya seperti apa. Ia bahkan sampai berpikir juga bahwa sosok yang bernama Aditya mungkin seumuran dengan Alexander Juan. "Nggi, bagaimana kalau kamu mencari fakta ini dengan mendekati Aditya Regha." Pernyataan sekaligus peemintaan tersirat Dimas akhirnya tercetus juga. Pernyataan yang berhasil membuat Anggi melongo beberapa detik. "Hah! Apa? saya Pak? Eh ... kok jadi saya Pak?" "Nggi kalau kamu bisa mengungkapkan semua ini, kita akan jadi media nomer satu di kota ini dan kamu akan menjadi karyawan terbaik tahun ini. Dan akan saya rekomendasikan untuk promosi jabatan lalu nanti saya janjikan kamu untuk bisa kuliah di Adelaide University, sesuai dengan impianmu." Dimas mulai mencari sesuatu di dalam laci meja kerjanya tanpa menatap wajah gadis yang sudah ternganga akan hal tersebut. "Apa? Adelaide University Pak? Tapi Pak, saya tidak tahu wajah Aditya Regha. Lagipula bagaimana caranya saya mendekati orang seperti dia? orang penting saja enggak saya Pak," ucap Anggi putus asa di awal. Dimas yang sedari tadi mencari sesuatu di lacinya akhirnya menemukan selembar surat edaran yang ia cari. Setelah ketemu ia perlihatkan itu kepada Anggi. Anggi menatapnya dan terkejut melihat isi surat edaran tersebut. Sebuah lowongan menjadi sekretaris pribadi di perusahaan Artha Group yang jelas untuk menjadi sekretarisnya Aditya sudah menjadi jawaban atas pertanyaannya tadi. "Ini kesempatan emas Nggi. Kamu bisa melamar menjadi sekretarisnya dan jika kamu diterima, pelan-pelan kamu korek apa yang kita butuhkan. Saya dengar juga dia itu banyak kasus kriminal hanya saja tidak pernah ter-publish. Sangat hebat bukan seorang CEO seperti dia yang pandai menyembunyikan kejahatannya?" "Sekretaris? Dia punya masalah kriminal? Masa sih Pak? Trus berarti dengan kata lain kita mau Aditya masuk penjara dong Pak," ucap Anggi polos. "Haha ya itu lihat saja nanti,tergantung bagaimana berita yang beredar juga," ucap Dimas. Ia masih tidak percaya jika ia ditunjuk oleh managernya untuk mencari informasi ke seseorang yang berkuasa di kota ini, bukan berkuasa atas pemerintahannya tapi berkuasa dalam lini ekonomi dan bisnis dalam beberapa tahun belakangan. Dan jika hal ini terungkap dan benar bahwa Aditya Regha terlibat kasus kriminal maka ia akan dimasukan ke jeruji besi, dengan kata lain , Anggi akan menggiring seseorang masuk ke jeruji besi karena beritanya nanti. Ia agak ngeri memikirkannya tapi managernya memaksanya untuk terus menyelidiki semua ini. Hingga sampai jam kantor beeakhir lun di sore hati, nampak Anggi memikirkan ucapan sang manager. Bagaimana mungkin ia bisa mencari tahu semua itu? Ia pun benar-benar masing tidak percaya bahwa seseorang bernama Aditya memiliki kasus kriminal dan bisa di sembunyikan sampai detik ini. Dan sebuah pertanyaan baru tercetus di pikirannya, bagaimana atasannya itu bisa beropini seperti itu? Seolah memang Dimas memgetahui sesuatu tentang Aditya. "Nggi, gak pulang?" sapa Dimas. "Eh Pak Dimas, iya ini pulang kok Pak. Lagi beres-beres meja. Bapaka duluan aja gak papa," ujarnya. "Saya runggj. Kita pulang sama-sama ya," timpa Dimas. Anggi pun lantas menganggukkan kepalanya saat mendapatj niat baik Dimas. Memang selama ini, ia sangat kenal baik dengan sosok Dimas dan sudah menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Hari ini bahkan di perjalanan pun ia masih memikirkan tentang permintaan managernya, haruskah ia tetap meneruskan niatnya untuk menyelidiki tentang Aditya? Ia masih saja melihat lowongan pekerjaan itu. Ia agak malas berurusan dengan orang tua yang seumuran dengan Alexander, pikirnya. Tapi demi mendapatkan promosi dan bisa berkuliah di Adelaide University sesuai dengan cita-citanya, akhirnya ia memutuskan untuk maju. Aku pasti bisa! tekad Anggi dalam hati. ***** Keesokan paginya, ia berangkat bukan ke kantornya melainkan ke Artha Group. Ia berpakaian sangat sederhana, hanya sebuah atasan kemeja berwarna putih dan rok street selutut berwarna hitam serta sepatu fantofel wanita. Rambut panjangnyania ikat ke belakang agar terkesan lebih fresh dan juga sopan. Di perusahan tersebut akan di adakan interview langsung bagi yang berminat menjadi sekretaris pribadi Aditya. Ia melihat megahnya gedung berlantai sembilan di depannya. Tatanan eksterior super megah dengan bahan metal baja yang mengkilat apabila terkena sinar matahari serta bentuk perusahaan ya g seperti berlian membuat Anggi berdecak kagum untuk beberapa detik. Nampaknga fasilitas di dalamnya juga tak main-main mewah dari tampilan luarnya. Ia menjadi pesimis apakah ia bisa masuk di perusahaan ini atau tidak? Namun, ia tetap melangkahkan kakinya menuju ke dalam lobi perusahaan itu. "Permisi Kak. Maaf, di mana ya tempat interview hari ini?" tanya Anggi pada sosok perempuan dengan style modis, cantik dan nampak elegant di balik meja resepsionis kantor tersebut. Perempuan itu nampak menatap Anggi dan meneliti penampilan gadis itu. "Oh anda ini mau interview jadi sekretarisnya Pak Aditya?" "Iya Kak." Anggi mengangguk pelan. "Oh kalau begitu, anda tinggal pake lift di ujung saja untuk menuju ke lantai sembilan." Anggi pun menganggukan kepalanya mengerti. Ia segera menuju ke arah lift dan masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat ia masuk, tubuhnya terdorong oleh seseorang sampai barang-barang yang ia pegang jatuh berantakan. Ia menoleh ke arah orang yang menabraknya dengan kesal. Beberapa detik ia terkesima oleh sosok di belakangnya. Ia mendapati sosok pria muda dengan setelan jas yang sangat cocok membalut tubuh atletisnya, surai hitam kecoklatan yang tertata rapi dan satu lagi ... dia sangat tampan dengan hidung mancung serta bibirnya yang tipis. Namun, rasa kagum itu segera Anggi tepiskan, karena ia masih kesal pria itu membuat barang-barangnya jatuh berantakan tanpa meminta maaf. "Hei! Punya mata kan? Segede gini masih aja ditabrak! Huhh!" gerutu Anggi sambil mengemasi barang-barangnya. Sedangkan pria yang di maki nampak sama sekali tak berniat meminta maaf sama sekali. "Kamu yang menghalangi jalan saya! Minggir!" timpal pria itu masa bodoh. Mendapati respon menyebalkan, Anggi langsung menunjuk pria itu tepat di wajahnya. "Heiii kamu! Dasarr tak tau diri! Bukannya minta maaf juga ... awas kalau ketemu lagi!" Bahkan kedua orang di belakangnya nampak tak membela Anggi, padahal ia yakin kedua orang itu gahu bahwa yang sengaja menabraknga dalah pria tamoan itu. Tapi, tatapan dingin pria itu serasa menusuk mata Anggi. Anggi yang sudah kesal dengan pria yang tidak ia ketahui namanya itu masih terus menggerutunya sambil ia membereskan barang-barang yang terjatuh dan membiarkan saja pria itu berlalu lebih dulu darinya. Setelah selesai berberes, ia memencet kembali lift itu, kemudian beberapa saat kemudian lift terbuka dan ia masuk ke sana. Beberapa detik kemudian ia telah sampai di lantai 9, sontak pemandangan di depannya berhasil membuat Anggi ternganga melihat beberapa wanita yang sudah berada di sana untuk melakukan interview yang sama. Ia langsung melirik dirinya sendiri, betapa kontrasnya penampilan dirinyan dengan wanita-wanita cantik dan seksi di depannya. Aku gak salah masuk kantor kan? Batin Anggi. Perempuan itu pun langsung berjalan perlahan hingga menemukan sebuah kursi dan mendaratkan pantatnya di sana dengan aman. Sekali lagi, ia melirik beberapa 'saingan' yang memperebutkan kursi sekretaris untuk pemimpin Artha Group. Anggi tersenyum kecut mwndapati kenyataan bahwa ternyata banyak yang mendambakan posisi itu. Ia bahkan sudah pasrah jika tidak diterima nantinya. "Eh kamu ... mau melamar juga ya?" ucap salah satu wanita di dekatnya. "Oh, i-iya iya. Saya mau melamar juga ...," ucap Anggi yang mendadak gugup dengan cara pandang perempuan itu padanya. Wanita itu memandang Anggi dari atas sampai bawah dengan tatapan meremehkan. Anggi jadi salah tingkah mendapati tatapan itu, ia bahkan tak biasa memakai rok sepan begini. Biasanya ia memakai celana panjang, kemeja dengan kaos oblong di dalamnya, topi dan juga sepatu kets sebagai pakaian dinasnya di lapangan. Tapi sekarang demi informasi yang berharga ia harus memakai fantofel perempuan dengan heels yang rendah dan rok sepan serta kemeja yang agak feminim. Sungguh menyesakkan pikirnya. Sepuluh menit ia menunggu di sana dengan bosan, sampai ia menggerutu dalam dirinya sendiri dan menuduh seorang pemimpin perusahaan yang tidak juga kunjung datang, padahal jam di tangannya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Dasar jam karet! Huhh! Apa-apan ini, mentang-mentang punya perusahaan gede bisa telat seenaknya! batin Anggi. Tiba-tiba, semua pandangan wanita-wanita di sekelilingnya mengarah pada satu titik. Pandangan mereka seperti tersihir dan berbinar-binar, Anggi yang nampak heran segera melayangkan pandangannya ke arah yang mereka tuju. Seorang pria muda, tampan dan bertubuh atletis yang terlihat meskipun di balut dengan jas hitamnya itu berjalan ke arah mereka dengan di dampingi seorang pria yang juga terbilang tampan, memiliki raut wajah tegas dan berbadan tegap . Di sampingnya pula terdapat wanita cantik, berambut merah kehitaman, berbadan seksi dan sangat membuat iri para wanita di sana karena kecantikannya yang mempesona. Namun, Anggi justru mengerucutkan matanya, ia seperti mengenal sosok yang di depan itu. Ia pun mengingat-ingat kembali pada sosok tersebut. Astaga! Pria ini kan ... pria yang aku temui di lobi bawah. Mampus jadi dia yang namanya Aditya, bodoh Anggi bodo! Batin Anggi yang langsung mengalihkan badannya tak menatap pria yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Ia menjadi gugup, ia terlalu lancang tadi membentak Aditya. Ia menundukkan pandangannya, gelisah dan menutup wajahnya dengan amplop lamaran kerja agar Aditya tak meliriknya. Di saat Aditya melewatinya menuju ruangannya, sudut mata Aditya menangkap sosok Anggi. Senyum smirk terlihat di sudut bibirnya mendapati gadis itu tengah menjadi salah satu kandidat calon sekretarisnya. "Ya ampun, Pak Aditya tuh beneran ganteng banget ya, aku berharap banget bisa jadi sekretarisnya," bisik wanita di sebelahnya pada rekan di sebelahnya. "Iyaa ya ampun. Ternyata dia masih sangat muda, keren banget. Udah ganteng, tajir pula. Idaman banget...," timpal wanita berikutnya. Anggi semakin tersudut. Ya ... dia adalah Aditya Regha Kavindra, pemilik perusahaan Artha Group yang banyak di perbincangkan semua orang. Ia tak menyangka bahwa Aditya masih sangat muda. Bodohnya, ia mengira Aditya seumuran dengan Alexander Juan. Hatinya semakin gelisah dan gugup saja. Rasanya ingin mundur saja tapi sudah terlanjur berada di tempat itu. Di sisi lain, di dalam ruangan Aditya, interview dengan beberapa wanita sangat membosankan baginya. Tidak ada yang cocok dengan seleranya walau sebenarnya kriteria mereka sudah masuk untuk menjadi sekretarisnya. Sandra sampai bingung harus bagaimana lagi padahal wanita-wanita yang interview juga sangat cantik-cantik dan pintar. "Membosankan. Tidak ada yang lain selain ini?" tanya Aditya. "Pak, semuanya cantik-cantik dan pintar, masa satu pun tidak ada yang menarik perhatian Bapak?" Aditya mendengkus kasar dan lantas membalikkan kursi kebesarannya ke arah jendela yang memperlihatkan gedung-gedung kantor lainnya di Ibu Kota Jakarta. "Membosankan Sandra, yang lain jika masih ada." "Baik lah, ada kandidat terakhir tapi saya tidak yakin menarik perhatian Pak Adit, soalanya —" "Panggilkan," potong Aditya. Sandra pun bergegas keluar, ia melihat di sudut lobi lantai sembilan itu masih tersisa seorang wanita yang tengah tertunduk, ia segera menghampiri wanita itu. Ia melihat wanita itu baik-baik, sangat sederhana. Apakah wanita ini akan menarik perhatian Aditya? sepertinya bukan selera Aditya— pikirnya. "Kamu ... Anggi Putri Salsabilla?" tanya Sandra. Anggi terkejut dengan sapaan itu. Ia langsung menoleh ke arah Sandra dan dapat di lihatnya dengan jelas siapa perempuan di depannya itu. Sandra sangat cantik, penampilannya sangat mewah dan jauh dari dirinya. Ia juga dengar bahwa Sandra adalah sekretaris pribadi sekaligus tangan kanan Aditya. "Eh iya, saya, saya Anggi ... apakah sudah giliran saya?" "Iya. Ayo segera ke ruangan Pak Aditya." Anggi semakin gugup saja tapi tetap mengikuti langkah Sandra menuju ruang kerja Aditya. Beberapa detik kemudian, ia telah sampai di pintu dengan tulisan "Ruang Presiden Direktur" yang menandakan memang benar ini ruangan kerja Aditya. Sandra pun membuka pintu itu, hatinya semakin berdegup kencang saat melihat sosok pria yang tinggi dan tegap berdiri menatap ke luar jendela membelakanginya. "Pak Aditya, ini kandidat terakhirnya." Aditya menoleh ke arah Anggi. Anggi tercekat, kaget dengan tatapan Aditya yang tiba-tiba. Aditya melangkahkan kakinya menuju ke tempat duduk kebesarannya dan Sandra mengajak Anggi untuk segera menemui atasannya itu. "Silakan duduk," ucap Sandra. "Terimakasih Bu," ucap Anggi sopan. Aditya menatapnya, ia seolah menyusuri siapa gadis di depannya itu. Cukup cantik dengan rambut lurus terikat kuda, bibir tipis dan warna mata sebiru laut itu sangat menarik baginya. Sikapnya yang gugup dan polos itu benar-benar membuat perhatian Aditya terfokus pada Anggi, ia melihat dokumen milik Anggi sambil terus menatap Anggi yang tidak pernah ingin pandangan matanya bertemu dengan Aditya. "Kenapa anda ingin menjadi bagian dari perusahaan ini?" tanya Adit setelah membaca sedikit isi CV Anggi. "Eh, emm saya, saya percaya tenaga dan kemampuan saya dapat berkontribusi dalam perusahaan ini." "Yakin? Berapa persen anda menjaminnya?" ucap Aditya santai. Anggi terdiam sejenak, seolah pertanyaan sederhana Aditya menjadi tombak baginya sehingga sangat sulit untuk ia jawab. "Emmm ... 95% saya yakin," timpal Anggi. "Lima persennya?" tanya Aditya lagi. "Eh itu, emm ... lima persen nya saya akan belajar terus pada perusahaan ini, tapi saya yakin saya bisa membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya." Aditya menganggukan kepalanya. Ia tertawa tipis, ia masih ingat betul, perempuan ini yang memakinya di lift tadi. Ia benar-benar penasaran dengan sosok Anggi. Ia berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya yang selalu berusaha menarik perhatiannya dengan apapun, entah dengan tingkahnya yang genit, pakaian seksinya yang sengaja memperlihatkan tubuh mereka atau dengan rayuan-rayuan picik mereka. "Ceritakan pada saya, siapa kamu?" tanya Aditya yang kini menyandarkan badannya ke kursi dengan pandangan berpusat pada Anggi. Anggi pun mulai menceritakan siapa dirinya dengan mengoptimalkan kemapuannya untuk menarik Aditya agar menerimanya menjadi bagian dari kantornya. Aditya hanya mengangguk pelan saat perempuan itu menceritakan biodata singkat tentang siapa dirinya. "Marco, atur kontrak dia. Pastikan dia menandatangani kontrak itu," titah Aditya. Sandra terbelalak, terkejut dengan keputusan cepat Aditya. Ia kembali membalikkan keterangan tentang Anghi yang seharusnya tak masuk dengan kualifikasi penerimaan karyawan Artha Group tapi jika Aditya sudah berkata demikian, siapa yang bisa membantah? Begitu pun juga dengan Anggi, ia tak menyangka dengan keputusan cepat itu, apakah itu artinya ia diterima menjadi sekretaris di sini? "Sandra, Marco ... tinggalkan saya dengan dia. Kalian urus pekerjaan yang lain. Saya ingin bicara dengan dia," titah Aditya. | To Be Continues |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD