MO || BAB 3

2200 Words
Satu bulan kemudian ~ Pria berusia 45 tahun itu kini tengah merasa senang, sebab kabar terbaru yang ia dengar adalah ketidak stabilan kondisi keponakannya dan parahnya Aditya sudah satu bulan tidak sadarkan diri. Ia tersenyum miring di depan kaca ruang ICU yang menunjukkan tubuh Aditya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis di tubuhnya. Beberapa kali ia melihat bahwa kondisi Aditya benar-benar mengkhawatirkan dan hal itu jelas membuatnya semakin bahagia. Lihatlah dirimu, kau begitu lemah Aditya! Bodoh! umpat Alexander Juan dalam hati. Tringg ... Trinngg ... Suara ponsel memekikkan telinga untuk beberapa detik. Ia pun segera merogoh ponsel itu dan melihat nama yang tercetak di layar ponselnya. Sandra is calling ... Alexander menatap nama itu dengan malas namun tetap mengangkat panggilan Sandra. Ia pun menempelkan ponsel itu masih dengan menatap tubuh keponakannya. "Ada apa?" "Maaf Pak, sebentar lagi akan ada pertemuan dengan Pak Diego, harap kedatangannya segera," jelas Sandra. "Ya, saya segera datang," timpal Alexander yang langsung memutuskan panggilan itu sepihak. Beberapa menit kemudian, Alexander tepat berada di depan sebuah hotel di mana acara dengan klien perusahaan akan di adakan di sana. Ia pun segera melangkahkan kakinya menuju ke sebuah restoran yang di tunjuk untuk acara pertemuan itu. "Selamat siang Pak Diego," sapa Alexander sembari mengulurkan tangan untuk menjabat lawan bicaranya. "Selamat siang Pak Alexander." Sandra yang mendampingi Alexander nampak tak terbiasa dengan kehadiran sosok pria tersebut. Ia justru cemas pertemuan yang biasanya Aditya handle sendiri kini di tangani langsung oleh sang Paman. Namun, yang di cemaskan namoak percaya diri dengan dirinya yang seolah-olah berperan sebagai pemilik perusahaan. "Saya dengar Pak Aditya masuk rumah sakit karena kecelakaan, bagaimana keadannya?" ucap Diego membuka obrolan. "Tidak baik, bahkan saya juga tidak dapat memastikan untuk kedepannya. Ya kita berdoa saja yang terbaik. Jadi, untuk proyek ini ya saya yang menanganinya, mau bagaimana lagi kasihan keponakan saya jika Pak Diego tidak jadi bukan?" "Haha, tidak mungkin Pak Alex. Saya dan Pak Aditya sudah sering bekerja sama. Hari ini saya ingin mengajak Artha Group di proyek besar pembangunan apartemen elit di daerah Kemayoran." Alexander yang mendengar penuturan Diego nampak tergiur dengan proyek baru yang akan mereka tangani. Kesempatan emas untuk meraup cukup dana ada di depan mata Alexander. Ia tak akan menyia-nyiakan project besar ini. "Tapi ... saya meminta dana 50% di awal, bagaimana Pak Diego?" Diego yang terkejut hanya bisa tercengang beberapa detik dengan permintaan Alexander. Biasanya Aditya tidak memutuskan kesepakatan langsung seperti itu tapi Alexander nampaknya memiliki penilaian lain. "Oh, tapi biasanya saya dan Pak Aditya tidak seperti ini perjanjiannya. Biasanya Pak Aditya hanya meminta 20-25% dahulu, lalu setelah bangunan berjalan barulah dana berikutnya bisa di serahkan," jelas Diego. "Ya itu kan dengan Aditya, sekarang saya yang menentukan. Jika Pak Diego tidak berkenan, saya akan pulang." Dan, Diego pun akhirnga menyetujui walau ada sedikit raut wajah yang berubah. Hal itu di sadari oleh Sandra yang juga terkejut dengan keputusan buru-buru Alexander. Bahkan Sandra pun belum mengetahui bentukan MoU yang di berikan perusahaan Diego pada perusahaan Aditya. "Jika begitu, minggu depan sekretaris saya akan mengantarkan beberapa berkas perjanjian ke Artha Group ya Pak Alexander. Kita akan bertemu lagi di pertemuan berikutnya, kebetukan saya ada meeting sebentar lagi. Saya pamit terlebih dahulu." "Terima kasih Pak Diego kerja samanya." Alexander mengikuti Diego berdiri dan menjabat tangannya. Setelah Diego berlalu, Sandra langsung menginterupsi Alexander. Ia tidak sependapat dengan pria itu dalam hal seperti ini. "Maaf Pak Alex, bukannya sebaiknya kita lihat dulu MoU-nya Pak? Kenapa Bapak langsung menyetujui untuk kerja sama?" tanya Sandra. "Sudahlah, kamu meragukan saya? Saya juga pernah memegang perusahaan. Jadi tidak mungkin saya membuat perusahaan rugi. Paham!" ucap Alexander dengan nada mengintimidasi. Sandra hanya bisa terdiam tak bisa berbuat apa pun. Dan sejak hari itu, Alexander semakin tak wajar dalam memimpin perusahaan. Banyak perjanjian yang ia setujui tanpa melihay proposal terlebuh dahulu dan membuat bagian lainnya terdampak dengan perjanjian yang tak ter-filter terlebih dahulu. Seolah kini bekerja sama dengan Artha Group menjadi lebih mudah dan tak mementingkan siapa yang mengajak kerja sama. Banyak beberapa bidang yang pontang-panting menangani berbagai proyek baru dan hal itu tidak akan terjadi jika Aditya yang memimpin. ***** Beberapa bulan kemudian ~ Tuhan seakan masih memberikan kesempatan hidup untuk Aditya. Setelah satu bulan lebih mengalami tidur panjang yang mampu mengkhawatirkan seluruh pihak keluarga kini ia tengah duduk di kursi yang semestinya ia tempati setiap hari. Memandang beberapa pasang mata yang justru tak berani menatapnya namun sejujurnya mereka lega jika Aditya kembali memimpin perusahaan. "Siapa pelakunya?" tanya Aditya dengan tenang namun nada yang terdengar para karyawannya selalu nada mengintimidasi. Beberapa pasang mata saling lirik tanpa mampu memberikan jawaban pasti pada Aditya. Sudah tiga hampir empat bulan lamanya memang Aditya tak menunjukkan dirinya di kantor untuk memimpin langsung. Pemulihan akibat patahnya tulang rusuk membuatnya benar-benar harus istirahat total dan tidak boleh melakukan pekerjaan terlebih dahulu. Namun, hari ini ia terpaksa kembali ke kantor karena mendengar beberapa hal yang tidak beres di perusahaannya. Korupsi! Hal yang paling di benci Aditya. Baru kali ini pria itu mendengar kasus yang sama sekali tak pernah terjadi di perusahaannya. Namun, yang semakin membuat pria itu geram saat semuanya terdiam dan tak ada yang mengaku sama sekali. Brak! "Saya beri waktu sampai nanti siang!" Aditya melangkah pergi dari ruangan meeting setelah berhasil mengagetkan seluruh jajaran penting perusahaannya dengan gebrakan meja. Aditya pun kembali ke arah ruangannya sebelum ia berhenti melangkahkan kakinya karena ucapan Marco. Tangan kanan Aditya itu pun membisikan sesuatu pada atasannya dan beberapa detik kemudian emosi Aditya tersulut begitu saja karena ternyata pelaku korupsi sudah ditemukan. Ditambah sebuah dokumen yang memperlihatkan kebenaran atas ucapan Marco tercetak jelas di indra pengelihatan pria itu. Dengan langkah cepat, Aditya menuju ke salah satu ruangan bertuliskan 'ruang manager keuangan'. Sebuah gebrakan di meja kerja pria berusia 45 tahun itu mampu membuat seluruh karyawan Artha Group bergerombol penasaran dengan apa yang terjadi. Semua pegawai di kantor itu tahu bahwa ruangan tersebut milik Alexander Juan yang notabene masih kerabat pemilik perusahaan Artha Group. Hal itu membuat para pegawai di lantai delapan sangat penasaran dengan perihal kemarahan Aditya pada pamannya. "Anda! Berani - beraninya ingin menghancurkan bisnis saya! Kemasi barang-barang anda dan keluar dari kantor saya!" tunjuk Aditya pada Alexander dengan murka. "Maksut kamu apa?" tanya Alexander pura-pura tak mengetahui perihal kemarahan Aditya. "Cepat pergi atau urusan ini akan saya naikkan ke ranah hukum!" Alexander yang sudah kepalang basah akhirnya tak lagi berpura-pura tak mengetahuinya. Sialnya, ia lupa bahwa keponakannya bisa saja mengakses apa pun dan dari mana pun walau tiga bulan ke belakang perusahaan ia ambil alih sementara. Kini, di depan matanya ia tertampar oleh sikap tak sopan Aditya yang mempermalukannya di hadapan karyawan lain di balik jendela besar ruangannya. "Tu-tunggu. Adit bukan begitu, Paman tidak bermaksut begitu, tolong lah Paman Adit ... Paman hanya ingin yang terbaik untuk bisnis kamu," ucap Alexander mencoba siasat memelas kembali. Aditya hanya memiringkan senyumnya saat penjelasan yang sangat tak asing ia dengar kembali muncul dari mulut-mulut b*****h seperti pamannya. Alasan klasik untuk membela diri ketika terbukti bersalah menjadi makanan sehari-hari Aditya untuk mengetahui bahwa orang yang di depannya memang lah seorang pembual. "Cih b*****h! Tidak akan ada lagi kesempatan untuk anda! Saya tidak peduli hubungan anda dengan Papa saya! Pergi dari sini! Saya tidak butuh orang picik seperti anda! Anda pikir saya tidak tahu bahwa anda menggelapkan keuangan perusahaan untuk membuka bisnis lain? Masihkan anda merasa suci berbicara seperti itu pada saya?" "Adit, tapi—" "Pergi!" bentak Aditya. Sontak, Alexander syok saat Aditya langsung menunjuknya dengan sederet bukti yang ada. Kejahatan yang dipendam oleh Alexander Juan terbongkar dengan mudah oleh Aditya. Ia beringsut kesal dan menaruh dendamnya terhadap Aditya. Tanpa mampu berkata lagi, kejahatan pun sudah terbongkar dengan sendirinya, Alexander segera meninggalkan kantor Artha Group. Nampaknya rencana pertama untuk mencelakai Aditya gagal dengan pulihnya kondisi keponakannya itu secara cepat. Bahkan ia sempat senang Aditya mengalami koma panjang selama sebulan. Dan selama itu pula ia mengajukan diri untuk mengatur segala urusan kantor di bawah naungan nama keluarga Aditya. Tak ada yang bisa melawan, sekalipun Sandra masih bertugas jika tidak ada Aditya maka keputusan satu-satunya adalah keluarga dari pria itu. Ketidak beresan mulai nampak sejak perusahaan berjalan di atas nama Alexander, walaupun ia hanya memegang kendali beberapa bulan namun tindakannya berbuah petaka bagi kelangsungan perusahaan Aditya. Korupsi yang terjadi ternyata berasal dari keluarganya sendiri dan Aditya tak peduli akan garis keturunan jika memang siapa pun bersalah padanya. "Usut semua tentang Alexander!" titah Aditya pada Marco. "Baik Tuan." Dan semenjak itu, Aditya kembali berupaya membangun kepercayaan kolega-koleganya dan memperbaiki citta perusahaan yang hampir di hancurkan oleh keluarganya sendiri. Hingga beberapa bulan berlalu, perusahaan Aditya mampu kembali berjaya dan bersaing dengan perusahaan bonafit lainnya. "Dit, sabotase kendaraanmu waktu itu dalangnya benar-benar dia," ujar Devan-sahabat Aditya- yang bertandang ke kantor pria itu. Aditya mengamati sebuah foto dan beberapa dokumen pendukung lainnya yang di bawa oleh Devan. Sedangkan Devan masih bercerita tentang bagaimana ia menyelidiki kasus tersebut. "Sial, apa-apaan ini! Beraninya dia bermain-main denganku!" "Kamu harus berhati-hati Dit, aku tidak tahu bagaimana karakter Pamanmu tapi yang aku tahu dia berbahaya." "Aku mengerti Van, beberapa waktu lalu dia bahkan menggelapkan uang perusahaan dan benar saja uang itu mengalir ke rekening pribadinya, aku hanya tidak menyangka bahwa di sekitarku masih banyak pengkhianat!" Devan hanya mengangguk. Selain ia mengenal bagaimana Aditya dengan segala tingkah lakunya. Ia juga memahami jika Aditya sudah betkata demikian pasti suatu hari akan ada korban yang harus membayar kemarahan Aditya. •• •• •• Satu minggu kemudian, seorang perempuan berusia 23 tahun tengah berjalan cepat lebih tepatnya setengah berlari menuju ke arah ruangan Aditya. Tanpa permisi lagi dan menepiskan kesopanan ia membuka pintu ruangan itu di mana tepat Aditya dan Marco tengah berdiskusi. "Adit eh Pak Aditya!" ujar Sandra yang menyadari bahwa ada Marco di sisi Aditya. Aditya menatap sekretarisnya itu dengan tatapan heran. Nampak raut tak menyenangkan dari wajah Sandra pagi itu. Sandra berjalan ke arah Aditya sembari membawa koran dan beberapa majalah. Brug! "Pak Alexander tewas? Katanya di bunuh? Ini benar?" tanya Sandra penasaran. Sontak saja Aditya melayangkan pandangan biasa saja dengan kabar tersebut. Justru saat ini mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Bersandar pada sofa di ruang kerjanya sembari menatap berita-berita yang tercetak di beberapa media cetak. "Oh jadi dia mati?" "Hah? Tunggu, kenapa ekspresi Pak Aditya biasa saja? Ini kan keluarga Bapak?" "Bukan! Dia bukan keluarga saya, tidak ada hubungan darah antara saya dengan dia, kalo dia mati ya mungkin sudah takdirnya," ucap Aditya santai. Sandra hanya tercengang mendengar penuturan santai atasannya tanpa keterkejutan sama sekali. Bahkan Aditya sama sekali tak berekpresi seperti kehilangan salah satu keluarga atau pun lainnya. "Marco, kembalilah kerjakan yang lain. Saya rasa diskusi kita sudah selesai." "Baik Tuan, saya permisi dulu." Marco pun beranjak dari ruangan Aditya meninggalkan atasannya dan Sandra yang masih tak percaya dengan berita kematian Alexander. Di saat Sandra masih membaca beberapa artikel tentang berita tersebut justru Aditya muak dengan semuanya. "Bukan kamu kan pembunuhnya?" tanya Sandra menatap Aditya curiga. Aditya menatap Sandra sejenak, mematikan rokoknya dan meminum minuman yang sedari tadi berada di meja dengan santai. "Jika aku pembunuhnya, otomatis aku sudah ada di penjara sekarang bukan duduk di sini dan menjabat sebagai pimpinan perusahaan." Sandra membenarkan ucapan Aditya, namun ia bukan menuduh Aditya cuma-cuma. Ia pun mengetahui sisi gelap Aditya dan penghianatan Alexander terhadap perusahaan juga tak main-main. Bisa jadi Aditya yang tidak terima diam-diam membalaskan semua perbuatan Alexander dengan menghilangkan nyawa pria paruh baya itu. "Kamu kenapa? Masih memikirkan orang mati itu?" "Bukan ... aku hanya kaget saja." Aditya tersenyum tipis lalu memegang dagu perempuan cantik itu untuk menghadap ke arahnya. Seulas senyum kembali Aditya berikan pada sekretarisnya itu. "Aku bukan pembunuhnya Sandra, untuk apa aku mengurusi penghianat seperti dia. Lebih baik aku ...," Aditya tak melanjutkan ucapannya namun ia mendekatkan dirinya pada sekretarisnya itu dan mencium bibir ranum Sandra. "Bermain-main denganmu," lanjutnya. "Ta—tapi Dit, ini di kantor," ucap Sandra. "Siapa yang berani masuk ke ruanganku Sandra? Atau sekarang kamu sudah pandai membantahku?" Sandra menggelengkan kepalanya. "Aku harap kamu tidak terlibat dengan masalah ini lagi Dit," ucap Sandra yang kini mengusap pipi Aditya dan mencium bibir tipis Aditya. Pesona Aditya terlalu membuat akal sehat Sandra tumpul. Mengagumi Aditya selama beberapa tahun ke belakang membuat ia rela melakukan apa pun untuk pria itu. Ia hanya ingin satu, tetap berada di sisi Aditya dengan perhatian pria itu. Hingga ia tidak sadar bahwa Aditya hanya memanfaatkan tubuhnya saja tanpa bisa menyerahkan hatinya. Beberapa jam kemudian ~~~~~ "Sandra, aku rasa kamu membutuhkan satu rekan lagi untuk membantumu. Sebagai tangan kananku kamu juga butuh fokus yang tinggi, jadi lebih baik kamu butuh rekan untuk membantu meng-handle hal-hal kecil," ujar Aditya sembari merapikan kembali kemejanya. "Maksutmu?" "Carikan aku sekretaris baru ...," titah Aditya. Sandra yang masih mencoba menyerap ucapan Aditya nampak ternganga dengan titah itu. Memang, terkadang ia merasa sangat lelah dengan pekerjaannya yang semakin lama semakjn berat. Menjadi tangan kanan Aditya berarti menambah tanggung jawabnya atas apa pun titah Aditya. Perusahaan yang semakin berjaya membuat Sandra sedikit kewalahan untuk beberapa kondisi. Banyaknya proyek-proyek besar membuat perempuan itu mampu beristirahat tenang. Namun, ia sama sekali tak menginginkan posisinya di ganti oleh siapa pun. "Tapi aku bisa mengatur semuanya Dit." Aditya tersenyum tipis, bahkan ia tak meragukan kemampuan managemen waktu Sandra. "Segera lakukan perintahku." | To Be Continues |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD