MO || BAB 5

2507 Words
Anggi terkejut mendengar titah Aditya kepada kedua tangan kanannya. Itu artinya ia akan berdua dengan Aditya saja. Ia sudah gugup sedari tadi dan berharap tidak ada yang meninggalkannya, tapi harapannya tidak terwujud dengan langkah kaki kedua tangan kanannya itu. Ia masih tidak enak hati dengan kejadian di lobi utama tadi dan membuatnya terdiam di depan Aditya. "Emm ... Pak Adit, jika ada hal yang perlu di bicarakan dengan Anggi terkait pekerjaan biar sama sa—" "Tidak perlu. Biar saya sendiri yang memberitahunya ...," potong Adit menolak tawaran Sandra yang sedari tadi terus menatap ke arah Anggi. Sontak saja, Sandra merasa perhatian Aditya sudah teralihkan oleh sosok Anggi. Dengan perasaan kesal yang ia tutupi sempurna ia keluar dari ruangan Aditya. Ia masih mengingat bagaimana tatapan serta senyum tipis pria itu pada Anggi. Setelah ia tutup pintu ruangan Aditya, ia berdiam diri sejenak. Perempuan itu merasakan sakit hati yang luar biasa, apakah ia cemburu? jelas ia cemburu kepada Anggi. Ia sudah lama berada di sisi Aditya, bahkan secara tidak langsung saingannya dulu, Gladis sudah pergi dan harusnya Aditya bisa bersama dirinya. Tetapi hari ini mengapa ada wanita lain yang mampu secepat itu menarik perhatian Aditya? Apa hebatnya wanita itu? Sandra benar-benar tak habis pikir. Rasa cintanya yang berlebihan terhadap Aditya yang tak mungkin berbalas dan justru membutakan mata hatinya. Tanpa terasa ia menitikkan air matanya. "Sandra...," sapa Marco. Sandra langsung menyeka air matanya dan kembali menorehkan senyum yang ia paksakan pada sosok kepercayaan Aditya itu. "Eh, iya Marco, kenapa?" "Kamu kenapa?" "Tidak Marco. Aku tak apa." Marco masih menatap Sandra dan dengan spontan menyeka air mata yang masih tersisa di pipi perempuan itu. "Kamu terlihat sedih ... kamu yakin tidak ada masalah?" Sandra mengalihkan dirinya dan secara otomatis menepis tangan milik Marco secara tak sengaja. "Tak apa Marco. I'm fine." Sandra pun pergi dari hadapan Marco sambil mengusap air matanya yang entah rasanya sangat sulit untuk di sembunyikan. Marco menghela napasnya melihat Sandra yang seperti itu. Ia tahu bahwa Sandra menyukai atasannya sendiri. Ia juga tahu bahwa Sandra dan Aditya pasti sudah terlibat hubungan fisik dengan atasannya itu. Semua itu dapat diketahuinya dari kebiasaan Aditya yang suka bermain perempuan dan rasanya bukan hal yang aneh jika Sandra bertekuk lutut pada Aditya. Tapi yang membuat Marco sedih adalah Sandra tidak pernah sadar bahwa Aditya hanya mempermainkannya saja. Ia tahu siapa pun pasti bisa menyukai Aditya. Siapa yang tidak menyukainya? ia merupakan bos besar di perusahaan yang sedang berkembang pesat, tampan, dan memiliki harta yang berlimpah ruah, seolah tak ada hal yang cacat pada diri Aditya. Tapi satu hal yang disayangkan, pria itu selalu saja mempermainkan wanita dan hanya memanfaatkan tubuh mereka sebagai pemuas nafsunya dan semuanya hanya karena masa lalu buruknya. Di sisi lain, di ruangan Aditya, suasana canggung menyelimuti Anggi. Aditya hanya memandangi dokumen yang ada di tangannya, membuat Anggi kesal menunggunya. Anggi tak bisa memulai obrolannya dengan Aditya, ia sangat malu, takut dan bingung. Sampai akhirnya ia berinisiatif meminta maaf tentang kejadian tadi pagi. "Emm. Pak Aditya, maaf soal tadi pagi. Saya tidak tahu bahwa anda adalah —" "Tidak masalah. Saya sudah tidak memikirkannya. Tapi ...." "Tapi apa Pak?" "Kamu harus membayarnya," ucap Aditya. Anggi langsung mengerutkan dahinya. membayar? Membayar apa? Batinnya. "Maksut Pak Adit?" Tawa renyah terdengar begitu saja di telinga Anggi. Rasanya tidak ada yang lucu, tapi pria di depannya nampak senang entah oleh apa. "Kamu ini memang polos atau pura-pura polos? Haaa ... begini saja, mulai besok saja kamu bekerja, jangan lupa siapkan bajumu." "Hah baju? Untuk apa?" "Tinggal di rumah saya. Itu sudah termasuk fasilitas dari perusahaan, jadi kamu tidak perlu membayar uang sewa kontrakan atau kos di luar. Bukannya itu hal bagus?" Pernyataan Aditya berhasil membuat perempuan itu menganga sempurna. "Apa? Tidak. Tidak mungkin. Saya tidak mau." "Kamu tidak baca kontraknya? Lagipula saya tidak menawarkan pada sembarang orang sedangkan banyak yang ingin berada di dekat saya. Harusnya kamu berterima kasih sekarang," ucap Aditya percaya diri. Anggi nampak mencibir kepercayaan diri tingkat dewa Aditya dan mengernyitkan alisnya tak mengerti dengan perjanjian kontraknya. Ia pun mengambil dokumen kontrak itu dan segera membaca isinya. Beberapa menit kemudian, ia ternganga. Dalam kontrak itu tertulis bahwa ia harus tinggal di lingkungan atasannya dan keputusan itu tidak dapat di ganggu gugat. Apa ini? Aku di jebak? Apa Pak Aditya sudah tau niatku? Aku bakal di bunuh, di culik atau ... aaaa ... enggak, ini gak lucu sumpah. Batin Anggi "Aa—apaan ini! Sa— saya kan hanya melamar menjadi sekretaris, tidak ada acara tinggal bersama anda." "Kan saya sudah bilang itu fasilitas. Kalau kamu keberatan silakan saja tinggalkan kantor ini tapi dendanya jangan sampai lupa. Di situ sudah tertulis berapa yang harus ku bayar pada perusahaan ini," ucap Aditya santai tanpa menatap perempuan di depannya. Kembali di buat tersentak, Anggi langsung mencari nominal angka di dalam surat kontrak itu dan mendapati angka nominal sejumlah 100 juta rupiah jika ia mengundurkan diri kurang dari satu tahun. Ia sangat terkejut dan rasanya lemas membaca angka itu. Bagaimana bisa ia membayar semua itu? dirinya hanya seorang yatim piatu yang untuk bertahan hidup saja harus bekerja sebagai wartawan. Ia tak memiliki keluarga juga di Jakarta. Ia hanya mengenal Dimas yang membantunya mendapatkan pekerjaan waktu itu. Ia pun mengepalkan tangannya dan tak tahu harus bagaimana lagi, ia merasa di jebak dalam permainan Aditya. Namun, bagaimana pun dirinya sudah menanda tangani kontrak itu dan tidak mungkin mundur begitu saja. Aditya tersenyum puas atas kemenangannya. Ia bahkan menyeringai tipis tanpa sepengetahuan Anggi saat melihat wajah Anggi yang seakan sudah desperated itu. "Bagaimana Anggi, mau mundur sekarang? Silakan, saya tidak apa-apa. Tapi jika --" "Tidak!" Aditya kembali menyeringai tipis. "Ya sudah pulang lah sekarang, besok saya tunggu kehadiranmu, selamat pagi," ucap Aditya sembari tetap melesungkan senyum mempesonanya. Sikap ramah Aditya yang di gadang-gadang mampu membuat siapa pun luluh itu nyatanya tak mampu membuat hati Anggi lega bahkan semakin kesal saja dengan sosok pria di depannya. Ia pun beranjak dari kursinya cepat dan berlalu dari hadapan Aditya begitu saja. Awas saja kau serigala berbulu domba, gerutu Anggi dalam hati. Aditya pun hanya menatap kepegian perempuan itu dengan nanar. Kepalanya mendasak pusing sampai ia harus menyandarkan dirinya di kursi kebesarannya dan memejamkan matanya. Anggi dan Dinda dua orang yang berbeda namun nampak sama. Sorot mata yang terpancar begitu memikat Aditya sepersekian detik. Aura perempuan itu bahkan sudah memikat hatinya sejak di lobi utama tadi. Ia menerawang ke langit-langit ruangannya, menatapnya dengan gamang dan sudah hilang seulas senyum yang sedari tadi ia tunjukkan pada Anggi. Sepertinya, perempuan itu menjadi candu bagi Aditya bahkan sebelum ia mengenal baik siapa Anggi. Anggi, kamu harus jadi milikku! Batin Aditya. ***** Sore menjelang malam, Anggi nampak membereskan beberapa bajunya. Ia berhenti sejenak dan mulai tersadar dengan apa yang ia kerjakan. "Ini kenapa aku nurutin omongannya Aditya sih!" Banting salah satu baju di atas kopernya. Perempuan itu nampak termenung sesaat, ia ingin mundur namun bagaimana pun ia sudah menanda tangani kontrak kerja itu. Ia memukul kepalanya sendiri, frustasi dengan keputusannya. "Anggi bodoh! Kenapa gak dibaca dulu sih! Gila ya Aditya itu! Fasilitas sih, tapi masa di rumahnya. Emang segede apa sih rumahnya, bisa dibuka kontrakan kali," gerutunya. Ia pun kembali membereskan beberapa bajunya dengan kesal ke dalam koper. Sebenarnya ia ingin mengadu pada Dimas tapi ponsel pria itu tak bisa di hubungi sedari tadi dan membuat tingkat kekesalan Anggi meningkat drastis. Setelah membereskan baju-bajunya, ia memilih untuk segera mengistirahatkan pikirannya yang terbebani sejak menanda tangani kontrak kerja itu. •• •• Keesokan paginya, Anggi terbangun dari tidurnya di sebuah kos sederhana berukuran 4x4 yang di d******i warna biru muda. Ia mulai mengerjapkan mata ketika sinar matahari menyilaukan pandangannya tapi ia masih enggan untuk membuka netranya lebih lebar. Saat dirinya ingin kembali tidur sejenak, ponselnya berdering dengan cukup keras. "Halloo ... Anggi di sini," sapa Anggi pada sang penelpon. " .... " "Pak Dimas! Ah Bapak akhirnya menelpon juga. Pak ini gimana sih? Saya sepertinya gak sanggup deh. Aditya itu —" ucapan Anggi terputus oleh sergahan seseorang di lain tempati itu. " .... " "Tapi Pak? Terlalu berat buat saya, dia itu susah sekali sepertinya memberikan informasi tentang hal itu. Duh, serem pokoknya Pak," curhat Anggi. " .... " "Ah ya sudahlah. Terimakasih ya Pak semangatnya ...," ucap Anggi malas, yang tidak berguna itu, batin Anggi melanjutkan ucapannya. Anggi pun bangkit dari ranjangnya dan bersiap-siap untuk berangkat kerja ke Artha Group. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan bersiap-siap dengan segala rutinitasnya. Hingga, 20 menit berlalu ia telah benar-benar rapi. Setelan atasan blouse berwarna coklat muda dipadu padakan dengan sepan berwarna coklat tua dan tak lupa sepatu fantofel kemarin. Ia pun segera berangkat menuju kantor Artha Group. Perjalanan yang memakan waktu lima belas menit itu rasanya benar-benar melelahkan sampai tanpa sadar dirinya sudah sampai di sekitar kantor Artha Group. "Neng, sudah sampai," ujar sopir taksi yang di tumpangi Anggi. "Hah? Udah sampai? Oh iya Pak, maaf-maaf, oh iya ini ya Pak ongkosnya. Sisanya buat Bapak saja." Anggi mulai keluar dari taksi tersebut dan membawa koper beratnya. Ia kembali berdiri di depan sebuah perkantoran bertingkat sembilan itu. Desain artistik yang memancar membuat ia kembali kagum dengan perusahaan milik Aditya. Lucu rasanya, ia menjadi bagian dari Artha Group dan Metropolitan Post secara bersamaan. Itu artinya dia mempunyai pekerjaan yang berbeda di perusahaan yang berbeda pula. Ia menatap jam di tangannya sejenak dan beberapa detik kemudian ia terbelalak ketika menatap jarum yang terus berputar dan melebihi batas jam kantornya. "Mampus! Telat! Sialan! Kenapa bisa telat sih?" omel Anggi. Ia berlari menuju ke dalam gedung itu. Dengan barang bawaannya itu, napasnya agak tersenggal-senggal hingga berhenti sejenak di depan lift untuk mengambil napas mengisi rongga paru-parunya. Namun, di tengah ia mencoba merilekskan dirinya tiba-tiba ada seseorang yang mengambil barang bawaannya. "Hei, ini milikku. Jangan di —" protes Anggi terputus karena ia melihat Aditya berada persis di belakangnya. "Marco, suruh siapa pun bawa barang ini ke rumah saya," titah Aditya. "Loh-loh jangan ... jangan," cegah Anggi. "Kamu mau kerja atau piknik bawa koper ke kantor?" tanya Aditya. Anggi tak mampu menjawab, ia hanya bisa melihat kopernya yang dibawa oleh tangan kanan Aditya entah kemana. Kembali ia menghela napas dan menatap atasannya tak suka. Dasar otoriter, gerutu Anggi dalam hati. "Ayo ikut saya ke atas," ucap Aditya. Anggi pun mengikuti langkah Aditya menuju lift. Di sebelahnya telah ada Sandra yang sedari tadi menatapnya tajam, ia sampai tak berani menatap mata Sandra. Tatapannya sangat mengerikan. Anggi hanya bisa menundukkan kepalanya, style-nya sangat kontras di bandingan dengan Sandra dan Aditya. Ia sampai tersenyum miris menatap dirinya sendiri. Kenapa bisa Pak Aditya menerimaku jadi sekretaris ya? Hati kecil Anggi berbicara. Setelah lift terbuka, Aditya, Sandra dan Anggi melangkahkan kakinya menuju ke ruangan Aditya. Banyak orang yang menyapa Aditya namun tak di balas oleh pria itu bahkan senyum saja tak ia berikan. Songong amat sih ini orang, batin Anggi. Banyak karyawan yang melihat ke arah Anggi yang berpenampilan sangat sederhana. Banyak juga yang berbisik tentang Anggi yang sedikit dapat di dengar oleh Anggi. Ia makin menundukan kepalanya, sadar diri bahwa dirinya memang tak sebanding dengan atasannya. "Sandra, hari ini kamu ajari dia bagaimana mengatur jadwal saya, bagaimana mengatur keperluan pribadi saya dan jangan sampai saya kecewa," ucap Adit yang langsung berfokus pada laporan kerja beberapa departemen yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya. "Baik Pak. Saya akan laksanakan, ayo Anggi ikut saya," ucap Sandra dengan senyum smirk terdapat di sudut bibirnya. Anggi pun melangkah mengikuti Sandra ke arah ruang kerjanya. Tak jauh dari ruangan utama milik Aditya, hanya di batasi oleh pintu dan tempat Sandra ada di sisi pintu ruangan Presiden Direktur kantor ini. Sesampainya di meja kerja Sandra, ia duduk di depannya sembari melihat-lihat tatanan meja sekretaris Aditya itu. Perfeksionis ya, batin Anggi. "Anggi, kamu harus tahu, kegiatan Pak Aditya sangatlah padat. Bisnisnya saat ini berada di puncaknya, jadi sebisa mungkin kamu harus mampu mengimbangi Pak Aditya, jangan sampai membuatnya kecewa apalagi urusan pekerjaan. Dan ingat Pak Aditya menuntut kesempurnaan jadi kamu jangan sampai ceroboh sekecil apa pun itu," jelas Sandra. Anggi mengangguk mengerti dan hal itu juga sudah dapat ia tebak bahwa Aditya memang tipe pria yang perfeksionis dan menuntut semuanya harus sesuai keinginannya. Ia kembali menatap sang sekretaris Aditya yang mulai mengambil beberapa dokumen di rak mejanya. "Emm, Bu ... apa saya harus ikut Pak Aditya ke rumahnya?" Sontak, Sandra menghentikan kegiatannya secara tiba-tiba. Ia tak salah dengar kan? Apa? Aditya menyuruh gadis di depannya untuk tinggal bersama? Ini keputusan gila. "Apa kamu bilang? ke rumahnya? Dan jangan panggil aku Bu jika kita hanya berdua begini, aku rasa umur kita tak beda jauh. Panggil biasa saja!" "Oh i--iya Bu eh Kak, aku panggil Kak aja ya," ucap Anggi yang di angguki oleh Sandra. "Jadi di kontrak kerja saya, di situ saya harus ada di lingkungan atasan saya. Nah kemarin Pak Aditya meminta saya untuk tinggal di rumahnya," lanjut Anggi menjelaskan semua kesepakatan antara dirinya dan Aditya. Sandra benar-benar tercengang mendengar ucapan Anggi. Aditya meminta gadis itu untuk tinggal di rumahnya? Mana mungkin ini bisa terjadi? Sandra pun tak mengetahui isi kontrak tersebut karena yang mengetahui perihal kontrak kerja adalah Marco. Hatinya kembali memanas mendengar pernyataan Anggi, itu artinya Anggi dan Aditya akan tinggal bersama. "Oh iya, begitukah? Ya kalau itu permintaan Pak Aditya ya mau gimana lagi? Kamu harus menurutinya," ucap Sandra berusaha bersikap seperti biasa. "Jadi bener Kak saya harus bener-bener tinggal sama Pak Adit?" "Iya. Ingat, Pak Adit tidak suka penolakan. Jangan kecewakan dia." Sandra pun mencoba meredam emosinya secara sempurna bahkan Anggi tak mengetahui jika Sandra tengah memandangnya penuh kebencian. Di lain sisi Anggi menjadi semakin tersudut, bahkan ia tak terbiasa dengan semua ini. Bekerja di kantoran yang sangat terstruktur seperti ini. Singkat waktu, Sandra pun mengajari cara mengatur jadwal Aditya dan segala apa yang pria itu perlukan. Sedikit demi sedikit Anggi mulai mengerti, ia hanya perlu mengingatkan Aditya akan rapat-rapat penting dan keperluannya. Urusan presentasi, sementara ini Sandra yang mengaturnya. "Anggi." "Ya Kak," ucap Anggi yang sedari tadi masih fokus pada bahan bacaannya untuk mempelajari tentang perusahaan Aditya. "Jangan sekali-kali menggoda Pak Aditya! atau aku akan membuatmu menyesal!" Anggi terkejut akan ucapan Sandra. Ucapan yang seolah mengintimidasinya dengan penekanan di akhir kalimat. Ia sama sekali tak berniat menggoda Aditya bahkan ia ingin agar posisinya di gantikan oleh orang lain. Bagaimana bisa ia menggoda jika ia selalu saja kesal setiap melihat Aditya? Namun, pernyataan dan penekanan intonasi dari Sandra membuat dirinya menyimpulkan suatu opini di benaknya. "Saya tidak akan menggoda Pak Aditya kok Kak, saya tidak tertarik dengannya. Kakak tenang saja," ujar Anggi. "Bagus! saya pegang ucapanmu. Kalau tidak, lihat saja!" Anggi secara otomatis langsung beropini bahwa Sandra menyukai Aditya, hal itu terlihat dari cara bicaranya yang semakin menajam. Wajar saja, Sandra paling lama berada di sisi Aditya bukan tidak mungkin jika ia menyukai Aditya. Jujur di dalam hati Anggi, memang benar Aditya terlihat sangat berwibawa, wajah tampannya itu juga sesekali mampu menggoyahkan dirinya. Namun, ia tepiskan rasa kagumnya itu karena tujuannya bukan untuk mendapatkan perasaan Aditya melainkan informasi penting yang akan membawanya ke Adelaide University. Lagi pula sikap Aditya yang dingin, cuek, dan terkesan selalu benar itu membuat Anggi muak. Andai dia bukan CEO perusahaan ini ingin sekali ia menjaili Aditya. | To Be Continues |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD