Sebuah usaha

1928 Words
Lukman nekat meminta izin pada Ryandra untuk pulang ke Jogja ditengah-tengah rapat kerja Algantara. Lukman menyelesaikan bagiannya dan menyerahkannya pada Ryandra dengan segera. "Maaf, Pak. Saya mau cuti sehari besok untuk pulang ke Jogja ada urusan mendadak. Apa boleh?" Ryandra Algantara memandangi Lukman sejenak dan mengangguk, "Selesaikan tanggung jawab utama kamu di rapat kerja dan handover sisanya pada Raven." Ryandra tau Lukman tidak akan izin padanya jika bukan karena sesuatu yang penting. Bekerja lebih dari satu dekade dengan Lukman membuat Ryandra tau kebiasaan sekertarisnya itu dan sekertarisnya jarang sekali meminta izin padanya. Hal itu yang membuat Ryandra tidak pikir panjang memberi izin pada Lukman. Ini salah satu cara Ryandra menghargai Lukman. Setelah urusannya selesai, Lukman bergegas memesan tiket penerbangan dan menyerahkan pekerjannya pada Raven. Lukman pun menjalankan rencananya. Ia harus pulang dan bertemu dengan Ibunya. Perjalanan udara ia tempuh selama satu jam. Lukman memandangi rumah yang kini jauh berbeda dengan rumah masa kecilnya dulu. Rumah Ibunya memang sudah di renovasi dengan uang yang ia kirim selama ini. Lukman bersyukur karena rezekinya selama ini, semakin hari semakin baik dan jauh lebih dari cukup untuk mengidupi keluarganya dan dirinya sendiri. Lukman mendekati pintu rumah yang masih tertutup itu. Lukman memang sampai di Jogja pagi-pagi dengan penerbangan paling pagi. Sesampai di rumah Ibunya, pintu rumah biasanya tertutup karena Ibunya sedang sibuk di dalam memasak untuk menu mereka hari ini. Lukman mengetuk pintu rumah masa kecilnya itu beberapa kali dan terdengar suara Ibunya dari dalam. "Lho, kamu pulang kok enggak bilang-bilang, Man?" Ibu Lasmi, Ibunya Lukman terkejut melihat kepulangan Lukman yang tiba-tiba dan tidak memberi kabar mengenai kepulangannya. Lukman mencium tangan Ibunya dan masuk ke dalam rumah dengan tas ransel yang ia bawa sambil menjawab, "Aku ada tugas nanti tapi mampir dulu pulang." Lukman memilih masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat sementara Ibu Lasmi kembali berkutat di dapur. Ketika jam makan siang, Ibu Lasmi memanggil Lukman untuk makan sementara Laura, adik Lukman sudah berangkat kuliah dari pagi. Lukman dan Ibunya duduk disebuah meja makan sederhana yang sudah mereka miliki sejak lama. Sebuah meja makan dan kursi kayu yang sudah tua usianya. Mungkin lebih dari usia Lukman. "Masakan Ibu emang paling juara," Lukman memuji masakan Ibunya yang menurutnya tidak pernah gagal. Ibu Lasmi tersenyum, "Paling bisa kamu bikin Ibu senang." Lukman dan Ibu Lasmi pun makan siang bersama sambil berbincang. Lukman menceritakan tentang kehidupannya di Jakarta sementara Ibu Lasmi menceritakan tentang kehidupannya dan Laura di Jogja. Keduanya bertukar kabar dan berbagi cerita. Kadang keduanya tertawa bersama karena cerita lucu yang mereka ceritakan. Walau hidup tanpa seorang ayah, Lukman mendapatkan cinta yang penuh dari Ibunya. Selesai makan siang keduanya duduk di sofa yang mereka miliki sejak lama sambil menonton televisi yang baru mereka beli belum lama ini. Keduanya menonton berita di televisi. Lukman duduk bersebelahan dengan Ibunya lalu Lukman menggeser tubuhnya menatap Ibunya. "Bu, Lukman mau bicara, boleh?" Lukman bertanya dengan nada sopan. Lukman memang besar dengan didikan sopan santun yang diterapkan sangat ketat oleh sang Ibu. Ibu Lasmi pun menggeser tubuhnya hingga keduanya berhadapan, "Ibu sudah menduga, ada yang kamu mau bicarakan dengan Ibu makannya kamu pulang ke rumah. Tidak biasanya kamu pulang tanpa kasih kabar ke Ibu." Lukman tersenyum mendengar ucapan Ibunya, "Bu, soal Emily..." Wajah Ibu Lasmi mendadak berubah. Senyum yang tadinya ada di wajah wanita paruh baya itu mendadak hilang. "Kenapa sama Emily, Man?" Ibu Lasmi bertanya dengan nada gugup. Lukman menghela nafas panjang, "Bu, Lukman mohon izinkan Lukman sama Emily." Wajah Ibu Lasmi mendadak sendu, "Kamu masih bersama Emily selama ini?" Lukman menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan Ibunya. Ibu Lasmi menghela nafas lega, "Ibu kan sudah pernah jelaskan dulu sama kamu, Man. Ibu cuma enggak mau kamu mengalami hal yang sama dengan apa yang Ibu alami." Lukman mengenggam tangan Ibunya, "Bu, Lukman bukan bapak dan Emily bukan Ibuk. Kami dua pribadi yang beda dengan bapak dan Ibuk." Ibu Lasmi mengangguk membenarkan, "Tapi apa yang kamu jalani saat ini sama dengan apa yang ibu jalani dulu, Man. Ibu cuma enggak mau kamu terluka. Aku enggak mau pada akhirnya Emily pun terluka karena tidak ada restu dalam hubungan kalian." Lukman mengenggam tangan Ibunya semakin erat, "Maka dari itu, Lukman mohon kasih restu Ibu buat Lukman dan Emily, Bu." Ibu Lasmi memandangi putranya dengan tatapan putus asa. Wanita paruh baya itu hanya tidak ingin putranya terluka. Tidak semua hal akan berjalan seperti ia harapkan. Dulu sewaktu ia masih muda, Ibu Lasmi pikir semua akan membaik seiring berjalannya waktu tapi pada akhirnya pernikahannya dengan suaminya hancur juga. Ibu Lasmi hanya tidak ingin Lukman salah membaca situasi sama seperti dirinya dulu. "Lukman mohon, Bu..." Ibu Lasmi menghela nafas panjang dan memilih meninggalkan tempat duduknya. Lukman kembali mendapat penolakan. *** Wisnu memijit pelipisnya setelah mendengar serangkaian presentasi dari berbagai divisi. Bayu, Emily, Hilman dan Langit yang berada di sisi Wisnu pun berwajah kurang lebih sama. Di jam break, kelimanya pun memilih makan siang dengan segera untuk mengisi tenaga. "Em, Si Lukman kok gak keliatan ya?" Bayu bertanya sambil mencari keberadaan Lukman. Emily belum menjawab namun Hilman dengan cepat angkat suara, "Kayaknya salah alamat lo nanyain Mas Lukman sama Mbak Em, Mas." Emily memberikan jempolnya pada Hilman karena tanggapan Hilman barusan. Emily memang tidak tau kemana Lukman karena setelah Lukman berbicara dengannya, ia dan Lukman tidak berkomunikasi apa-apa lagi dan kemarin pun ia masih melihat Lukman ikut rapat kerja. Wisnu pun datang dengan piringnya yang penuh dengan berbagai makanan tanpa nasi. Bayu yang melihat isi piring Wisnu pun spontan mengerutkan alisnya, "Lauk doang kaga pake nasi? Bukan orang endonesah lo?" Wisnu terkekeh, "Saya pengen makan cake. Kalau makan nasi rasanya nanti tidak muat makan cake." Bayu mengangguk pelan sambil kembali menyantap makan siangnya lalu menatap Emily, "Elo udah enggak kontekan sama Lukman?" Pertanyaan Bayu spontan membuat Emily membulatkan matanya sambil memberi kode pada Bayu dengan matanya bahwa ada Wisnu bersama mereka. Wisnu jelas bukan circle mereka. Namun Bayu terkadang mendadak bisa jadi makhluk paling tidak peka padahal Emily sudah memberikan kode lewat matanya. "Jangan-jangan si Lukman sakit, Em.." Bayu kembali membahas Lukman. Emily hanya menghela nafas panjang. Sepertinya kodenya mental karena Bayu sibuk dengan makanannya, "Mas Lukman baik-baik aja. Kan dia kemarin masih ikut rapat kerja." Langit pun mendadak ikut-ikutan, "Kemarin baik bukan berarti hari ini enggak bisa sakit, Mbak." Emily pun memandang datar Langit dan Langit seakan bertanya lewat tatapan masalahnya, 'Emangnya ucapan gue salah?' Wisnu yang sedari tadi diam menikmati makanannya pun menatap Bayu, "Ada apa? Kok bahas soal sekertarisnya Pak Ryandra..." Pertanyaan yang keluar dari mulut Wisnu pun membuat Emily memandang datar pria itu. Emily sungguh ingin beranjak dari kursi tempatnya duduk saat ini namun ia takut Bayu dan mulut tanpa saringannya membahas yang tidak seharusnya pria itu bahas. "Gue penasaran kemana si Lukman. Dia kan orang pentingnya si Ryandra kok hari terakhir raker malah enggak ada. Gue cuma liat si Raven aja. Kali aja si Emily tau. Emily kan mantannya," Bayu menjawab dengan nada santai. Emily menggelengkan kepalanya pelan. Bayu dan mulutnya memang tidak terselamatkan lagi. Wisnu menoleh menatap Emily sejenak dan kembali menatap Bayu, "Jadi mereka pernah pacaran?" Pertanyaan Wisnu pun spontan membuat Emily mendelik sengit. Emily sudah hendak menyemburkan kemarahannya namun Bayu sudah angkat suara lebih dahulu menjawab pertanyaan Wisnu. "Iya mereka itu pasangan gemes. Gue pikir mereka bakal sampe nikah. Tapi Tuhan punya rencana lain. Mereka malah bubar. Padahal dulu Emily sama Keyra itu paling potensial segera nikah." "Wah, belom jodoh itu. Jodoh mereka mungkin sama yang lain," Wisnu dengan cepat menanggapi. Emily melongo melihat keduanya secara bergantian. Emily sampai mengetuk mejanya untuk menarik perhatian keduanya, "Halo.. Permisi.. Saya disini, lho. Orang yang kalian bahas di depan kalian." Emily berucap dengan nada kesal. Bayu merotasi bola matanya melihat tingkah Emily, "Yang bilang elo di Bogor siapa?" Wisnu pun terkekeh melihat interaksi Wisnu dan Emily. "Lama pacaran sama Lukman, Ly?" Emily yang dasarnya tidak suka dengan Wisnu pun tidak segan-segan melancarkan protesnya dengan nada sengit, "Jangan panggil saya 'Ly' dikantor semua panggil saya 'Em'. Jangan buat panggilan sendiri, Pak." Bayu meringis mendengar nada sengit Emily dan merasa tidak enak sendiri pada Wisnu, "Sorry ya, Nu. Emily gitu kalau lagi badmood. Galak kayak emak-emak sein ke kiri beloknya ke kanan. Tapi kalo gue pikir-pikir gen cewek di divisi kita emang galak-galak sih. Dari si Keyra, Mila sampe si Emily semua galak kayak singa." Kini giliran Bayu yang mendapat tatapan sengit Emily, "Mas Bay!" Wisnu tertkekeh mendengar ucapan Bayu lalu menatap Emily, "Saya merasa aneh manggil kamu Em.. Kayak mau bilang Ember tapi enggak selesai.. Em..ber.. Ember.." Emily membulatkan matanya sementara Langit dan Hilman tersedak ludah mereka sendiri mendengar ucapan Wisnu. Langit menatap Wisnu, "Ember banget, Pak? Masuk sih Em... ber..." Langit tertawa setelah ikut-ikutan masuk dalam kubu Wisnu. Para pria itu tertawa dan Emily langsung memberikan tatapan membunuh pada Langit dan Hilman lalu keduanya auto diem karena tatapan Emily. "Sudah jangan marahi mereka. Saya duluan yang bikin mereka begitu." Wisnu berusaha meredakan amarah Emily pada Langit dan Hilman. Emily memandang sengit keempat pria itu lalu pergi dari tempat duduknya menuju stand dessert. Emily memilih mengalihkan perhatiannya pada makanan manis yang mampu membuat hatinya membaik dan kepergian Emily langsung direspon oleh Langit dan Hilman. "Lo sih malah ikut-ikutan. Ngambek tuh. Gak ada yang ngurusin kita di ruangan lagi nanti," Hilman mengomel pada Langit. Langit yang tidak terima ucapan Hilman pun langsung angkat suara, "Kok gue.. Mas Bay tuh..." Wisnu pun langsung berdiri, "Saya yang akan bicara sama Emily. Kalian tenang aja." Wisnu meninggalkan ketiga anak buahnya yang langsung melongo kaget dengan apa yang atasan mereka itu lakukan. Bayu saat ini sedang menggantung tangannya yang hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan mulutnya terbuka melihat aksi Wisnu. Sementara Langit dan Hilman langsung dengan kompak menatap Bayu dengan wajah bingung, "Pak Wisnu uda nikah, kan? Di jari tangannya ada cincin nikah kayaknya." Bayu hanya diam memperhatikan Wisnu yang menjauh mendekati Emily tanpa memberikan komentar apapun. *** Emily memilih diam di dalam di belakang ruangan sambil berdiri dengan semangkuk pudding coklat yang ia pilih. Moodnya rusak karena ulah keempat pria satu divisinya yang menyebalkan. Emily kadang kesal dengan rekan-rekan satu divisinya namun tanpa mereka hidup Emily akan terasa ada yang kurang karena kegilaan mereka berhasil meyeimbangkan kewarasan Emily ditenggah gilanya rutinitas pekerjaannya. Masih ada setengah hari lagi dan Emily memilh diam menikmati puddingnya sambil menjaga moodnya. Namun rencana menjaga mood mendadak kacau karena seseorang yang tidak ia harapkan muncul. "Kenapa kabur? Teman kamu panik kamu kabur ngambek," Wisnu berucap sambil menyantap cakenya dan berdiri di sisi Emily yang berdiri di belakang ruangan. Emily mengabaikan ucapan Wisnu. Emily sudah hendak pergi namun Wisnu buka suara, "Saya minta maaf." Emily pun menatap atasannya itu dengan alis terangkat sebelah. Wisnu menghela nafas pendek, "Nanti habis selesai raker kita bicara ya." Emily menggelengkan kepalanya. Emily tidak mau menghabiskan waktu luangnya dengan Wisnu. Namun Wisnu adalah pria yang tidak mengenal kata penolakan. Wisnu menatap Emily dengan wajah serius, "Kita pulang bareng habis itu kita bicara. Oke?" Emily menggelengkan kepalanya lagi, "Enggak oke." Setelah mengucapkan itu Emily pergi begitu saja dari tempatnya meninggalkan Wisnu yang menggelengkan kepalanya karena tingkah anak buahnya itu. Sementara itu dari jarak yang tidak begitu jauh, Bayu memperhatikan Emily dan Wisnu sambil meminum jus yang baru saja ia ambil. Dari posisinya Bayu menatap Wisnu dengan tatapan serius. Sama seperti yang Langit pikirkan tadi. Bayu pikir atasannya ini sudah menikah karena ada cincin yang melingkar di jari manis atasannya itu. Namun Bayu belum bertanya lebih jauh karena belum ada kesempatan untuk bertanya mengenai status atasannya itu. Namun hari ini melihat gelagat atasannya yang sepertinya mendekati Emily kini terasa ada yang janggal. Tidak mungkin atasannya itu sedang cari selingkuhan, kan? Perannya sebagai detektif konon, haruskah ia beraksi lagi kali ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD