Sakit kepala

1772 Words
Wisnu meletakkan sendok ice creamnya dan menatap Emily lekat-lekat. Wisnu baru sadar wanita dihadapannya ini memiliki mata yang bergitu jernih. Bola mata Emily berwarna coklat dan tatapan mata itu saat ini terlihat tegas. Wisnu bukannya menjawab pertanyaan Emily malah diam memandangi Emily. "Pak?" Wisnu tanpa sadar menghela nafas panjang. "Karena saya penasaran dengan apa yang terjadi di antara kamu dan Lukman. Kalian memandang satu sama lain dengan tatapan sendu dan kadang ada rindu disana. Lalu saya penasaran kalau saya bersikap seakan mendekati kamu, apa yang akan Lukman lakukan dan rasa penasaran saya terjawab saat Lukman mengajak kamu bertemu waktu itu dan dari situ juga saya tau alasan dari sikap kalian selama ini." Emily melongo mendengar jawaban Wisnu. Emily tidak sadar kalau selama ini kepala divisinya yang baru ternyata memperhatikan dirinya dan Lukman. Namun diantara semua kalimat yang Wisnu ucapkan, Emily takjub dengan awal kalimat yang pria itu ucapkan, "Bapak ikut campur urusan orang lain hanya karena penasaran?" Wisnu mengangguk, "Tapi karena saya ikut campur sekarang Lukman malah jadi bergerak, kan?" Wisnu menyeringai diakhir kalimatnya, "Sebelumnya saya hanya melihat kalian saling memandang dari jauh, saat Lukman menatap kamu maka kamu akan pura-pura sibuk dengan urusan kamu dan begitu sebaliknya. Saya heran kalau masih cinta kenapa harus bersikap seperti itu?" Emily menunduk mendengar ucapan Wisnu. Dari ucapan Wisnu, Emily baru tau kalau Lukman pun sama seperti dirinya. Emily pikir Lukman sudah melupakannya dengan cepat terbukti dari Lukman yang nampak baik-baik saja pasca perpisahan mereka berbeda dengan dirinya yang hancur bahkan ia sempat sakit beberapa waktu yang lalu. Lukman nampak abai dengannya sehingga Emily berpikir bahwa Lukman benar-benar menyerah dengan hubungan mereka dan pengakuan Wisnu membuat Emily jelas kaget. "Kamu sudah bertanya sekarang giliran saya yang bertanya.." Wisnu menatap Emily dengan wajah serius. Emily pun diam menunggu pertanyaan Wisnu. "Lukman sudah bergerak dan mau berjuang untuk kamu. Lalu kenapa kamu yang malah mundur dan menghindari Lukman? Apa yang ada di dalam kepala kamu itu?" Emily terdiam. Hatinya dengan tegas mengucapkan kata ragu namun ia memilih diam. Wisnu bukan orang yang tepat untuk tau apa yang ia pikirkan dan ia rasakan. Wisnu hanya orang baru yang seenaknya ikut campur dalam hubungannya dengan Lukman. "Apa yang saya pikirkan tidak harus saya sampaikan sama Bapak. Urusan saya dan Mas Lukman juga bukan urusan Bapak. Saya mohon dengan sangat mulai hari ini jangan lagi ikut campur soal apa yang terjadi antara saya dan Mas Lukman. Bapak tidak mengetahui apa yang terjadi diantara kamu dan kehadiran Bapak bisa membuat hubungan kami justru semakin runyam." Setelah mengucapkan kalimatnya dengan nada tegas Emily beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Wisnu tanpa menoleh ke belakang lagi. Emily menaiki taksi segera pulang menuju apartemen tempatnya tinggal. Sepanjang perjalanan kepala Emily berisik dengan berbagai hal yang barusan terjadi hingga sesampainya di apartemennya Emily kembali mematung melihat siapa yang duduk di lobby apartemennya. "Em..." Tubuh Emily menegang sempurna. Ia baru selesai berurusan dengan Wisnu kini sudah ada Lukman yang menunggunya dan Emily sudah mengerti kemana arah pembicaraan pria itu. Emily lelah dan memilih berjalan lurus ke arah lift mengabaikan keberadaan Lukman. "Em... Bisa kita bicara sebentar?" Lukman menahan tangan Emily yang hendak memencet tombol naik. Emily menghela nafas lelah, "Maaf, Mas. Aku lelah bisa kita bicara nanti?" Lukman menatap Emily dengan tatapan memohon, "Please, Em. Aku enggak tenang karena kamu belum jawab ajakkan aku." Emily menghela nafas panjang, "Kita bicara di taman." Lukman tersenyum mendengar jawaban Emily. Lukman pun melepaskan tangan Emily yang ia pegang karena Emily memberi kode melalui matanya. Wanita itu pun berjalan ke arah pintu yang terdapat di sisi lain lift. Lukman pun mengikuti langkah Emily lalu keduanya duduk disebuah kursi. Beruntung malam itu taman sudah sepi. Emily dan Lukman pun bisa berbicara dengan nyaman disana. "Maaf, Mas. Aku belum yakin dengan keinginan kamu." Emily menjawab dengan nada lesu. Lukman pun menggeser posisi tubuhnya mengarah pada Emily, "Kali ini aku pastikan kita akan sama-sama sampai kedua orang tua kamu dan Ibuk." Mendengar kata Ibu membuat Emily mendadak terlempar ke masa lalu. Penolakan terang-terangan Ibu Lukman seperti baru terjadi kemarin dan kini perasaan Emily mendadak semakin meragu. "Mas, sebelum kamu mengajak aku berjuang apa kamu sudah bertemu dengan Ibu kamu?" Lukman hanya diam mendengar pertanyaan Emily. Emily pun tersenyum kecut, "Aku yakin kamu belum dan kamu memutuskan untuk kembali berjuang? Apa kamu yakin kali ini kamu enggak akan memilih menyerah seperti dulu?" "Em, aku..." Emily memotong ucapan Lukman, "Mas..." Emily menatap Lukman lekat-lekat dengan pandangan sendu, "Aku takut. Aku takut kalau aku mengiyakan keinginan kamu untuk kembali berjuang lalu nanti kamu kembali menyerah, aku akan terluka, Mas. Aku sudah pernah hancur sekali dan rasanya aku enggak sanggup hancur dua kali karena kamu." Emily menunduk setelah mengucapkan isi hatinya. Lukman yang tadinya duduk di sisi Emily kini sudah berpindah berjongkok di hadapan Emily sambil memegang kedua tangannya, "Kalau begitu aku akan berusaha mendapatkan restu Ibu dulu. Setelah Ibu memberikan restu maka kita bisa mendatangi keluarga kamu. Asal kamu mau berjuang lagi sama aku." Emily menghela nafas panjang, "Tapi Ibu kamu..." "Aku akan pulang besok. Aku akan bicara sama Ibu. Aku akan minta Ibu merestui kita. Selama ini aku tidak pernah meminta apapun sama Ibu dan aku rasa asal aku menunjukkan kesungguhan aku sama Ibu dan keseriusan aku, Aku yakin Ibu akan luluh. Ayo, Em. Kita berjuang sama-sama. Aku cinta sama kamu dan aku tau kamu pun masih mencintai aku." Lukman berucap dengan nada yakin dan sungguh-sungguh. Namun ucapan Lukman tidak memberi kelegaan pada Emily. Ingatan Emily akan penolakan Ibu Lukman sangat kuat dan rasanya kecil kemungkinan Lukman akan berhasil meluluhkan Ibunya yang sudah terang-terangan menolaknya. "Lebih baik kamu bicara dengan Ibu kamu dulu, Mas. Seperti kamu bilang dulu. Kamu tidak ingin aku jauh dari keluarga aku, begitu pun aku yang tidak ingin kamu jauh dari keluarga kamu. Apa lagi aku tau kalau kamu hanya memiliki Ibu kamu dan Laura. Aku enggak mau pada akhirnya kita hancur karena memaksakan keinginan kita. Aku enggak mau kembali merasakan sakit yang sama." Di sisi lain ada Wisnu yang diam-diam mendengarkan percakapan Emily dan Lukman. Tadi Wisnu mengejar Emily saat wanita itu pergi begitu saja dari hadapannya. Melihat raut kemarahan yang tergambar jelas dari wajah Emily membuat Wisnu mendadak panik dan mengejar wanita itu yang menaiki taksi. Wisnu mengikuti Emily hingga langkahnya terhenti saat Wisnu melihat langkah Emily terhenti karena keberadaan Lukman. Wisnu mengatur nafasnya yang memburu karena buru-buru mengejar Emily. Untung saja ada satu area parkir kosong di dekat lobby yang bisa Wisnu pakai untuk memarkirkan mobilnya dengan segera. Wisnu mengikuti Emily dan Lukman dan mendengar semua percakapan antara Lukman dan Emily. *** Emily masih duduk di kursi taman. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun ia masih enggan bergerak dari tempat duduknya. Pasca percakapannya dengan Lukman, Emily memilih diam di kursinya dan meminta Lukman meninggalkannya sendiri. Emily masih bingung dengan hatinya sendiri. Di satu sisi Emily mencintai Lukman dan berharap hubungan mereka bisa berakhir bahagia layaknya hubungan Keyra dan Mila namun disisi lain Emily takut kalau Lukman kembali menyerah dan hatinya kembali terluka karena terlalu berharap. Emily lagi-lagi tenggelam dalam lamunannya hingga sesuatu yang dingin menyentuh dahinya. Emily kaget bukan main. "Kenapa lo bisa ada disini?" Emily membulatkan matanya menatap pria yang ia kenal bernama Kafka Mangkuraja yang tidak lain adalah sekertaris dari Adriel Dirgantara, mantan kepala divisinya sebelum Wisnu. Adriel pindah bekerja mengurusi rumah sakit milik keluarganya dan Kafka adalah sekertaris sekaligus asisten pribadi Adriel. Emily dan Kafka saling berkenalan ketika Emily bermain ke rumah Mila. Kafka seumuran dengannya. Usia mereka sama-sama tiga puluh lima tahun namun Kafka lebih tua dua bulan darinya. Kafka sendiri memiliki kepribadian yang ceria dan cukup menyenangkan diajak bicara walau keduanya hanya membahas mengenai Mila dan Adriel. Kafka terhitung sudah dua kali mengantarkannya pulang setelah ia dari rumah Mila, itu pun Emily tidak langsung pulang ke apartemennya melainkan minta di turunkan di supermarket dekat apartemennya karena ia ingin membeli sesuatu. Kafka menyodorkan minuman soda pada Emily dan Emily menerimanya sambil berterima kasih. Emily menatap Kafka yang berada di sampingnya dengan baju santai. Sebuah kaos lengan pendek berwarna putih dan celana panjang training berwarna abu-abu. Kafka menenggak minuman soda miliknya lalu menjawab pertanyaan Emily, "Gue tinggal disini. Lo duduk disini jam segini jadi gue berasumsi lo juga tinggal disini. Bener kan?" Emily mengangguk. "Gue enggak nyangka kalo dugaan gue bener. Pas gue anter lo ke supermarket seberang. Gue udah mikir kalo jangan-jangan elo tinggal di apartemen ini. Tapi, gue enggak pernah ketemu elo. Mau nanya juga takutnya elo mikir yang enggak-enggak soalnya gue anter pulang aja elo mintanya di drop disupermarket tanpa bilang dimana apartemen lo." Emily meringis mendengar jawaban panjang Kafka, "Gue enggak maksud gitu. Gue minta dianter ke supermarket karena emang ada yang mau gue beli, Kaf. Gue terlalu malas untuk jalan dari lobby terus nyebrang lagi. Jadi gue langsung bilang tujuan gue mau ke supermarket dulu." Kafka pun mengangguk-angguk mendengar jawaban Emily. "Gue jarang di apartemen sih. Mungkin itu juga yang bikin kita jarang ketemu," Kafka berucap sambil berpikir. Emily hanya diam mendengar ucapan pria itu. "Lo biasa pulang jam segini?" Kafka bertanya dengan nada penasaran. Emily menggelengkan kepalanya, "Enggak tentu sih. Kadang bisa pulang cepet kadang malam. Kerjaan gue itu gak bisa diprediksi." Kafka mengangguk-angguk pelan mendengar ucapan Emily, "Ini elo belum lama balik? Lo pulang tadi naik apa? Lain kali kontek gue aja. Kita tinggal di gedung yang sama, siapa tau bisa barengan. Lagian kalo elo balik malem-malem sendirian juga bahaya." Emily tersenyum mendengar kebaikan Kafka, "Gue udah balik dari tadi Kaf. Cuma gue mampir duduk disini dulu. Gak perlu repot-repot, Kaf. Thank you. Gue tadi balik naik taksi aman kok. Biasanya gue naik mobil sendiri tapi mobil gue lagi ngambek nanti kalo udah bener juga bisa balik naik mobil gue sendiri lagi." Kafka mengangguk pelan lalu berdiri dari tempatnya. "Lebih baik lo ke unit lo. Ini udah malem. Besok lo masih kerja kan? Angin malam gak bagus buat lo, Em." Emily terkekeh mendengar ucapan Kafka, "Gue bisa salah paham loh, Kaf. Elo perhatian banget jadi cowok." Kafka merotasi bola matanya sambil berdiri dari posisi duduknya saat mendengar ucapan Emily, "Gue perhatian juga enggak sama semua cewek, Em. Gue perhatian sama cewek yang gue suka aja." Emily terdiam mendengar pengakuan Kafka. Keterdiaman Emily membuat Kafka justru tertawa kecil dan tangan Kafka menepuk puncak kepala Emily, "Masuk ke unit apartemen lo, Em. Ini udah makin malem dan gue khawatir elo sakit. Gue balik ke unit gue dulu." Emily menatap Kafka dengan tatapan kaget dan Kafka memilih meninggalkan Emily sambil melambaikan tangannya menjauh. Emily menatap punggung Kafka yang semakin menjauh dan Kafka sesekali menoleh ke arah Emily sambil tersenyum dan melambaikan tangannya sesekali. Bayangan Kafka sudah sepenuhnya menghilang namun Emily masih duduk diam ditempatnya, 'Tadi itu maksudnya Kafka bilang suka?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD