Informasi Wisnu & Pengakuan Kafka

2000 Words
Emily tidak pernah berpikir kalau jalan cerita hidupnya akan mendadak berubah bak berada di dalam sebuah roller coster yang naik turun dengan cepat mengikuti jalur trek yang ada. Secara mendadak mantan yang dulu menyerah kini kembali mendekatinya lalu atasannya tiba-tiba berubah kepo dan muncul satu orang pria yang mengaku suka padanya. Emily kadang merasa ia seperti sedang bermimpi karena kehidupannya yang tenang mendadak heboh. Emily yang biasanya pulang kantor dengan santai kini ia bagaikan tawanan yang diam-diam mencari cara untuk kabur. Wanita itu dengan cepat kabur ketika acara rapat kerja selesai. Ketika Wisnu sedang berbincang dengan kepala divisi lain, Emily pun menggunakan kesempatan itu untuk kabur menghilang dari tempat duduknya dan dengan segera menuju lift. Emily berhasil memasuki lift dengan aman. Emily pikir dirinya sudah lolos dari Wisnu dan rencana pria itu mengajaknya bicara. Entah apa yang mau pria itu bicarakan dengannya namun Emily sama sekali tidak mau bersinggungan dengan Wisnu. Emily berhasil turun dari dalam lift dan saat hendak keluar dari Lobby, sebuah mobil Pajero berhenti di hadapannya. Emily jelas kaget dan begitu kaca penumpang bagian depan dibuka. Mata Emily membulat sempurna. Loh! Kok si kingkong alien kok disini! Wisnu tersenyum menyeringai, "Mau coba kabur kamu, Ly? Cepet masuk. Kamu udah janji sama saya mau bicara." Emily langsung memasang wajah datar, "Saya enggak pernah janji. Saya enggak mau." Tiba-tiba suara klakson terdengar dari belakang. "Cepet masuk, Ly..." Emily mendengus dan tepaksa masuk ke dalam mobil Wisnu. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian dan Wisnu tersenyum penuh kemenangan sambil mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran yang tiba-tiba muncul dalam ingatannya. "Ini mau kemana?" Emily bertanya ketika mobil yang Wisnu kemudikan memasuki gerbang tol. Wisnu menoleh sebentar ke arah Emily lalu kembali mengemudi lalu menjawab pertanyaan wanita di sampingnya, "Saya mau ajak kamu ke satu restoran Italy. Bukan restoran besar tapi resepnya cukup otentik. Kamu suka masakan Italy? Pasta atau pizza. Lasagna juga ada disana. Menurut saya semua enak." Emily menghela nafas panjang, "Saya belum lapar. Bapak mau ajak saya bicara. Apa yang mau bapak bicarakan? Saya mau pulang capek." Wisnu pun langsung menatap Emily dengan pandangan bersalah, "Maaf, seharusnya saya tanya kamu dulu ya sebelum memutuskan. Kalau begitu makan di dekat apartemen kamu saja gimana? Kita pergi ke restoran Italy yang saya maksud lain kali saja. Saya sudah lapar dan saya rasa saya perlu asupan energi sebelum bicara." Emily mengerutkan alisnya mendengarkan ucapan Wisnu, 'Yang mau pergi lagi sama dia lagi itu siapa?' "Gimana, Ly? Saya udah lapar dan kita perlu bicara. Saya punya informasi penting buat kamu." Wisnu bertanya sambil fokus mengemudi. Emily pun spontan mengerutkan alisnya, "Informasi penting?" Wisnu mengangguk. "Kita bicara sambil makan ya... Saya benar-benar lapar... Jadi kita ke dekat apartemen kamu saja?" Emily menghela nafas panjang dan mengangguk. Mau menolak juga tidak mungkin. Emily berada di dalam mobil Wisnu. Emily memilih diam dan membiarkan Wisnu menuju apartemennya. Emily memang pernah menyebutkan nama apartemen tempatnya tinggal jadi Emily tidak heran lagi kalau Wisnu tau dimana tempatnya tinggal. Sesampainya di apartemen Emily mengajak Wisnu pergi ke sebuah tempat makan yang letaknya di toko-toko yang berada di lantai bawah apartemennya. Emily mengajak Wisnu ke sebuah tempat makan yang menjual nasi rames yang menjadi langganan Emily saat weekend karena Emily terlalu malas untuk memasak. "Kamu biasa kesini?" Wisnu bertanya sambil melahap nasi rames pesanannya. "Apa informasinya?" Bukannya menjawab pertanyaan Wisnu, Emily malah membalas dengan pertanyaan lain. Wisnu yang sedang mengunyah pun langsung memandang Emily dengan wajah datar, "Jawab pertanyaan dengan jawaban bukan dengan pertanyaan lain." Emily tersenyum manis pada Wisnu dan mengabaikan ucapan pria itu dengan kembali bertanya, "Apa informasinya?" Wisnu pun merotasi bola matanya mendengar pertanyaan yang sama keluar dari mulut Emily, "Selesai makan saya kasih tau. Saya yakin informasi yang saya berikan ini bukan untuk konsumsi umum." Emily mendelik menatap Wisnu dengan pandangan curiga, "Bapak enggak bohongin saya kan?" Wisnu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Selesai makan kita bicara." Emily memilih mengikuti keinginan Wisnu dan keduanya duduk di taman apartemen. Keduanya duduk di sebuah tempat duduk yang cukup jauh dari keramaian. "Jadi informasinya apa?" Emily bertanya sambil mulai membuka botol minuman miliknya. Wisnu pun melakukan hal yang sama. Wisnu meminum air mineral miliknya hingga sisa setengah lalu menoleh menatap Emily, "Tadi saya dengar Pak Ryandra menghubungi Lukman. Lukman sedang ada di Jogja." Tubuh Emily menegang mendengar kalimat terakhir Wisnu. Tangan Emily yang masih sedang berusaha membuka botol minum miliknya bahkan sampai terhenti dan semua itu tidak luput dari pandangan Wisnu. "Saya yakin Lukman mengikuti keinginan kamu..." Wisnu kembali berucap sambil memperhatikan reaksi Emily. Emily menoleh menatap Wisnu dengan tatapan yang tidak bisa pria itu baca. "Saya tidak sengaja melihat kamu dan Lukman waktu saya mengejar kamu ke apartemen ini dan saya mendengar percakapan kalian. Kamu takut Lukman kembali menyerah. Sepertinya Lukman mengikuti keinginan kamu..." "Apa bapak tidak mengerti ucapan saya dari kemarin?" Emily memotong ucapan Wisnu dengan nada dan tatapan datar. Wisnu terdiam. "Jangan ikut campur urusan saya dan Mas Lukman. Saya tidak pernah ikut campur dengan urusan pribadi Bapak jadi saya mohon..." Emily menatap Wisnu dengan tatapan datar. "Berhenti ikut campur urusan saya dan Mas Lukman. Kami bisa mengurus hubungan kamu sendiri tanpa bantuan anda dan saya harap ini terakhir kalinya saya memperingatkan anda." Wisnu terdiam melihat ekspresi Emily kali ini. Wanita itu benar-benar marah. Emily dengan cepat berdiri dari tempatnya berdiri meninggalkan Wisnu begitu saja dan Wisnu dengan cepat menahan Emily dengan memegang lengan wanita itu, "Saya minta maaf. Saya akui saya salah." Emily hanya menoleh sedikit menatap tangannya yang dipegangi Wisnu dan menghentakkan tangannya hingga terbebas. Wanita itu benar-benar marah karena menatap Wisnu pun ia tidak mau. "Saya rasa kata maaf tidak berarti kalau anda masih terus ikut campur dengan urusan saya." Emily meninggalkan Wisnu begitu saja. Atasannya mendadak kepo akut dengan hubungannya dengan Lukman. Emily tidak menyangka bahwa kali ini ia akan bertemu dengan atasan yang super duper antik. Pria itu ramah dan jiwa keponya luar biasa besar. Namun tidak bisa dipungkiri informasi yang Wisnu berikan berhasil membuat Emily kaget bukan main. Emily tidak perlu menyewa seorang detektif untuk tau alasan Lukman pulang ke Jogja. Emily ingat betul ucapan terakhir Lukman. Lukman akan pulang dan meminta restu Ibunya. Emily pikir Lukman main-main dengan ucapannya karena keesokan harinya Lukman masih masuk bekerja seperti biasa. Emily tidak melihat tanda-tanda Lukman melakukan apa yang pria itu ucapkan saat berbicara dengannya malam itu. Emily pun menganggap ucapan Lukman malam itu hanya angin lalu. Namun kini mengetahui alasan Lukman tidak masuk bekerja hari ini karena pulang ke Jogja, hati Emily mendadak kembali berdetak kencang. Berhasilkah Lukman kali ini? Tapi kalau pun Lukman mendapatkan restu dari Ibunya, bagaimana dengan restu dari kedua orang tuanya? *** Emily berada di dalam unit apartemennya memandangi fotonya bersama Lukman yang masih ia simpan dengan rapih. Hati Emily milik Lukman, itu adalah sebuah kenyataan yang sejak lama wanita itu sadari. Emily tanpa sadar menitikan air mata. Cintanya pada Lukman sangat besar. Emily adalah seorang wanita yang saat sudah mencintai maka ia akan memberikan hatinya seluruhnya. Bodoh memang memberikan seluruh hatinya untuk seorang pria yang belum tentu menjadi suaminya. Tapi Emily tidak bisa menahan dirinya karena saat itu Lukman berhasil mengambil seluruh hatinya. Emily terkesiap ketika ponselnya berbunyi, panggilan dari Mamanya masuk ke dalam ponselnya. Emily pun dengan cepat mengusap air matanya dan mengangkat panggilan itu. "Ya, Ma?" "Em, sabtu ini kamu pulang ke rumah ya. Mama sama Papa ngundang Om Sukma sama Tante Rinjani makan malam dirumah. Mereka juga ajak Azka. Kamu masih ingat Azka, kan?" Mama Diva bertanya pada Emily dengan nada penuh semangat. Emily menghela nafas panjang, "Inget, Ma. Anaknya Om Sukma yang dulu sempet satu tempat les sama aku, kan?" "Nah, itu kamu inget. Azka itu baru cerai sama istrinya karena istrinya selingkuh. Mama sama Papa mau kenalin kamu sama Azka, kali aja kalian cocok." Mama Diva menanggapi semakin antusias mendengar jawaban Emily. Emily menghela nafas panjang, "Ma.. Aku belum siap mulai hubungan yang baru.." Terdengar helaan nafas panjang Mama Diva, "Sampai kapan kamu mau sendiri, Em? Usia kamu sudah tiga puluh lima tahun. Kakak-kakak kamu semua sudah menikah dan punya anak di usia kamu sekarang." Emily memiji pelipisnya mendengar ucapan Mamanya yang sudah jutaan kali ia dengar. "Ma, aku belum bertemu dengan pria yang tepat. Aku tidak mau menikah dan akhirnya bercerai. Aku enggak mau memaksakan diri menikah hanya karena usia aku sudah waktunya menikah. Jalan hidup tiap orang beda, Ma. Mungkin Kak Erika dan Kak Elena sudah menemukan jodoh mereka dan bahkan memiliki anak di usia aku tapi aku bukan Kak Erika atau Kak Elena." Mama Diva lagi-lagi menghela nafas panjang, "Mama mohon, Em. Usia mama sudah tidak muda lagi.. Mama tidak mau nantinya mama meninggal tapi kamu masih sendiri..." Emily memejamkan matanya erat-erat mendnegar ucapan mamanya ini, "Mama akan sehat. Nanti mama akan melihat aku menikah tapi kalau pun aku menikah maka aku pastikan aku menikah karena aku sudah menemukan pria yang aku cintai, Ma. Aku enggak mau buru-buru dan menyesal." Mama Diva mengakhiri panggilannya dengan putri bungsunya. Percakapan Emily dan Mamanya masalah pernikahan memang akan selalu menemui jalan buntu. Emily paham bahwa usianya tidak muda lagi tapi ia sendiri tidak akan menikah kalau bukan bersama dengan pria yang ia cintai. Emily tidak mau ada kata perceraian dalam hidupnya. Emily memilih keluar dari unit apartemennya untuk membeli ice cream di mini market yang terletak di dekat lobby apartemennya. Emily membutuhkan sesuatu yang manis untuk memperbaiki moodnya. Emily pun turun untuk menjalankan rencananya dan sesampainya di mini market Emily bertemu dengan Kakfa. "Baru pulang kerja?" Emily bertanya pada Kafka yang terlihat masih dengan pakaian kerjanya dan hendak menaiki lift sedangkan ia baru saja keluar hendak dari dalam kotak besi tersebut. Kafka yang melihat kehadiran Emily pun langsung tersenyum lebar dan mengangguk, "Lo mau keluar?" Emily mengangguk pelan, "Mau ke mini market. Gue duluan ya." Kafka bukannya berpisah dengan Emily tapi malah mengikuti wanita itu. Kafka mengikuti Emily membeli ice cream namun pria itu tidak mengambil apapun saat keduanya berada di depan kasir. Emily pun mengerutkan alisnya, "Elo ke mini market gak beli apa-apa?" Kafka mengangguk, "Gue cuma mau nemenin elo." Emily merotasi bola matanya mendengar jawaban Kafka sambil berjalan keluar dari mini market menuju ke arah lift. Emily menekan tombol tanda naik sambil berucap, "Gue bukan anak kecil, Kaf.." Pintu lift terbuka. Emily dan Kafka memasuki lift dan keduanya masing-masing menempelkan kartu akses milik mereka. Kafka terkekeh mendengar ucapan Emily, "Iya emang bukan anak kecil tapi elo cewek yang gue suka. Gue gak mungkin biarin cewek yang gue suka berkeliaran sendirian malem-malem, Em." Emily mendadak terdiam mendengar ucapan Kafka barusan. Emily pun langsung tertawa garing demi menyelamatkan suasana yang mendadak terasa aneh baginya, "Becanda lo gak lucu ah. Gue nanti baper repot loh, Kaf." Kafka malah ikut-ikutan tertawa mendengar ucapan Emily, "Kalo elo baper malah bagus, Em. Rencana gue berhasil. Gue mau deketin elo tapi bingung. Kantor beda, ketemu jarang, kontekan jarang, ketemu di apartemen juga jarang tapi gue suka sama elo semenjak gue kenal lo dari Pak Adriel dan istrinya." Emily melongo mendengar pengakuan Kafka. Kafka ini mungkin jelmaan dari manusia yang enggak tau caranya basa basi. Ucapan Kafka begitu to the point langsung tepat pada sasaran. Emily yang terbiasa menghadapi Keyra dan Mila yang ceplas ceplos tanpa saringan pun mendadak kehilang kemampuannya mendengar ucapan Kafka barusan. Kafka yang sadar akan keterkejutan Emily pun mengacak-acak rambut Emily pelan sebelum keluar dari dalam kotak besi yang sudah sampai di lantai unitnya berada, "Jangan bengong begitu. Gue makin gemes. Gak lucu kan gue main cium elo tapi elo aja masih belum terima gue. Nanti gue disangka cowok messuumm tapi kalo elonya gemesin gue begini nanti gue bisa khilaf. Gue turun duluan ya." Pasca Kafka keluar dari dalam lift, lift kembali tertutup dengan Kafka yang masih berdiri di luar lift, tersenyum manis dan melambaikan tangan sambil menatapnya. Mood Emily memang sudah tidak buruk lagi tapi kini berganti dengan kaget karena pengakuan Kafka barusan. Emily masuk ke dalam unitnya dan meletakan ice cream di kulkas. Hari Emily hari ini begitu berwarna, kesal dengan atasannya yang kepo, dikejar nikah dan sekarang pengakuan dadakan pria yang belum lama ini ia kenal. Takdir sepertinya sedang mengajaknya bercanda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD