9

1207 Words
Saat semua orang sudah sibuk sejak pagi, Uci baru membuka sepasang matanya dan bergegas merapikan ranjang dan anak-anaknya –boneka. Gadis yang sudah mendapatkan kesadarannya itu mampir sebentar ke depan cermin untuk mengamati penampilannya lalu berujar 'masih cantik hahaha' sebelum masuk ke pintu hitam lainnya yang menghubungkannya ke kamar mandi. Setelah memakai pakaian rumahan favoritnya yang pasti berhubungan dengan Garfield, Uci menanggalkan plang 'kawasan bebas Saudara Bima' sesuai janjinya pada sang Mama. "Uiihhh.. ada apa nih?" tanya Sindi yang berniat membangunkan adiknya, tapi justru sudah bangun dan sudah mandi juga. Tidak hanya itu Uci kini tampak menurunkan plang legendarisnya itu. "Nothing!" "Cieee.. udah sayang sama Abang nih?" goda Sindi. "Bacot Kak," jawab sang adik yang langsung meninggalkan kakaknya menuju meja makan. "Pagi Bang," sapa Uci. "Pagi syantik," jawab Bang Edo. "Bang Bima kaliii," sambar Uci karena memang yang disapanya barusan adalah Bang Bima yang sedang duduk di sampingnya. Terdengar tawa Sindi yang mengejek Abangnya, cewek itu juga sudah berada di meja makan dan sedang sedang menepuk-nepuk pundak si sulung. Semua orang di meja makan juga ikutan tertawa tapi si bungsu justru menoleh pada sang Mama yang juga sedang memperhatikannya. Mamanya mengucapkan kata terima kasih tanpa suara dan Uci langsung memberengut. Ia tak pernah suka jika sang Mama mengucapkan kata itu karena dialah yang harus berterimakasih atas semua yang telah dirinya terima dari Mama. "Kamu mulai pilih kasih ya, Ci," ucap Edo. "Dih.. ‘kan belajar dari Abang," balas Uci yang langsung membuat suasana jadi siaga. "Ehem.. Uci umurnya sekarang berapa?" Tanya Pak Arifin. "Dua satu, Pa" "Bima?" "Dua dua." "Sindi?" "Dua empat, Pa" "Edo?" "Duaaa... lapan," jawabnya tidak ikhlas sama sekali. "Nah itu kalian udah dewasa, masih aja kayak anak-anak. Bahkan Edo udah cocok banget jadi bapak orang." "Ah Papa sengaja nih. Papa kok ikut-ikutan Mama yang minta menantu sih?" "Ya emang kamu mau sampai kapan cuma ikutan ribut sama adek-adekmu?" "Biar uci sama Bang Bima yang nyariin Bang Edo istri, Pa," ucap si bungsu yang sengaja memancing kekesalan Abangnya. Buktinya Edo langsung mempelototi adiknya itu dan kembali mendapat dehaman Papa mereka. Selanjutnya minggu itu diisi dengan celotehan Edo dan cemoohan Uci, sesekali Bima dan Sindi akan menimpali lalu mereka tidak bisa untuk tidak tambah heboh saat Tesa bergabung. Sekali dua kali terdengar Bima dan Uci yang saling mengejek. Tapi tetap Uci dan Rdolah yang paling dominan. Si bungsu dan si sulung itu tidak sadar jika sebenarnya merekalah yang paling dekat walaupun tidak dalam bentuk yang umum. Bukti Edo lebih dekat pada Uci adalah dia yang lebih leluasa marah dan menjewer serta mengejek adiknya itu. Sedangkan dipihak Uci, hanya dia Adik Edo yang berani meladeni kata-kata abangnya itu, hanya saja ia terlalu buta untuk menyadarinya. Hanya karena Sindi dan Edo sangat jarang terlibat pertengkaran ia menganggap itu pilih kasih. Bima sedang diberi tugas untuk memastikan kepala adiknya lurus. Kedua Kakaknya sedang menggerayangi kepala si bungsu dengan sisir dan gunting rambut. Tadinya Mama mereka mengatakan kalau rambut Uci perlu dirapikan dan dengan menggebu kedua orang yang sedang sibuk dengan rambut gadis yang hampir ketiduran itu langsung mengajukan diri. Uci sendiri mau-mau saja karena dia sangat suka jika kepalanya diusap-usap atau rambutnya disisiri, itu hanya akan membuatnya kesenangan dan akhirnya ketiduran, buktinya Bima sedang menangkup kedua pipi adiknya agar potongan rambut uci tidak tempang. Ini adalah pertama kalinya Bima bisa sedekat ini dengan adiknya tanpa ada perlawanan. Tak jarang cowok itu tampak senyum-senyum sendiri. Ia juga baru menyadari kalau adiknya memiliki bulu mata yang lentik, sama sepertinya. Keduanya memang lebih banyak memliki kemiripan dengan sang Mama ketimbang Papa mereka. Edo mengerutkan pelipisnya melihat cowok yang lebih muda darinya memasuki pekarangan rumah. Melihat cowok itu mendekatinya, ia menghentikan petikan gitarnya. "Permisi Bang. Ini rumah lucy adelina ‘kan?" tanya cowok itu pada Edo. "Ada perlu apa lo sama adek gue?" Tanya Edo yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Uci tidak pernah dicari oleh cowok sebelumnya. "Sebelumnya kenalin gue Reza dan gue ada perlu sama Uci karna kami punya tugas program yang belum selesai." "Ooh.. gue Edo, abang tertua si Uci. Sini gue anter ke belakang, dia lagi di bully sama kakak-kakaknya," ujar Edo yang menimbulkan tanda tanya besar di kepala Reza. Reza mengikuti langkah Edo sambil memperhatikan apa saja yang bisa ditangkap oleh matanya di tempat itu terutama yang berkaitan dengan Uci. Reza mendapati banyak foto Uci dan orang yang pernah menonjoknya dengan ekspresi malas, tampaknya keduanya tak suka difoto berdua. Baru setelah melewati taman yang cukup membuatnya kagum, Reza mengerti dengan pembulian yang dikatakan Edo tadi. Ia mendapati Abang kedua Uci yang sedang menangkup kedua pipinya dan dua orang cewek sedang memotong rambutnya. Sedangkan orang yang sedang jadi bahan perhatian itu malah tidur. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya Reza melihat ekspresi tenang itu lagi dari Uci setelah tiga setengah tahun. "Woii.. kalian masih lama?" tanya Edo sambil menarik sebelah pipi adiknya dan mendapat pelototan dari Tesa dan Sindi. "Ini siapa bang?" Tanya Sindi dan langsung dijawab sebanyak yang ia tahu oleh Edo. Bima yang mendengar itu langsung menoleh dengan tatapan 'mau lo apain lagi adek gue?' "Bim.. jaga sikap lo ke tamu Uci.. lagian dia cuma temen satu kelompoknya adek kesayangan lo," tegur Edo pada Bima. Edo tau sekali kalau Bima justru lebih protektif pada Uci dibanding Edo, abang tertua mereka. Contohnya Edo tidak merasa perlu untuk mengikuti segala aktivitas Uci di luar sana secara diam-diam. "Adek kesayangan gue dari Hongkong," cibir Bima. Ia kemudian menepuk-nepuk pipi Uci namun adiknya itu hanya menampilkan ekspresi terganggu tanpa membuka kedua matanya. "Aakkkkhhh... SAUDARA BIMAA!!!!" teriak Uci setelah membuka kedua matanya dan mendapati Bima menarik kedua pipinya. "Tuh tamu kamu!" Uci yang berniat menjambaki Bima menoleh ke kirinya dan di sana sudah ada Reza yang tampak sedang menahan tawa. Mimpi apa dia sampai cowok itu mendatangi rumahnya? Dan ekspresi untuk apa itu? Tanya Uci membatin. "Ehm.." deham Uci setelah Bima beberapa langkah meninggalkan mereka. "Ngapain kamu kesini? Tahu dari mana rumahku?" lanjutnya karena selama mereka saling kenal Ucilah yang selalu datang kerumah Reza bersama Papanya. "Aku mau bantuin nyelesein program kita." "Oh.. ayo, tunggu di depan aja," ajak gadis itu. Setelah memastikan temannya, ehm 'temannya' duduk dan mendapat minum dari asistem rumah tangga, baru Uci naik ke kamarnya dan memindahkan program yang sebenarnya sudah selesai dikerjakanya dengan bantuan Adam pada flashdisk milik Reza. Ia tidak ingin mengatakan pada cowok itu kalau semuanya sudah beres, karena kalau ia melakukannya Reza akan malu sendiri. Walaupun Uci tampak jutek pada cowok itu, Reza masihlah orang yang tak ingin dibuatnya malu atau merasa dipermalukan. Lain soal kalau membuat Reza kesal, karena sepertinya itu sudah menjadi hak dan kewajibannya. "Makasih dan maaf untuk sikapku kemaren, kemaren lagi-lagi aku kesal sama kamu," ucap Reza sambil menerima flash disk dari Uci. "Udah biasa kok, santai aja," jawab Uci. Sudah adakah yang tau kalau cewek ini paling bisa membuat dirinya merasa paling tersakiti pada beberapa kesempatan? Sekarang contohnya. "Aku serius Ci." "Aku juga serius.. dan tolong jangan bahas itu lagi karena aku ga mau Kakak dan Abang-abangku dengar." "Maaf." "Ckckck.. kan udah dibilangin-" "-Kalian ngomongnya kok lama amat?" sambar Bima, sengaja sekali memotong ucapan adiknya. "Memang kenapa kalo lama? Kita baru baikan ya Bang.. ga usah cari gara-gara dulu." Tak ingin lebih lamamendengar perdebatan kakak beradik itu Reza segera pamit pulang dengan alasan ingin menyelesaikan tugas mereka dengan cepat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD