6

1121 Words
"Gue angkat tangan sama kelakuan musuh lo itu Jak," kekeh Raka yang sedang berjalan mendekati orang yang sedang ia bicarakan dibicarakan. Ingin menggerutu tapi ia iba melihat Uci, Reza sudah memasang wajah angkernya mana mungkin Raka ikut-ikutan? ".." "Bisa-bisanya dia ngilangin program yang udah kita buat mati-matian," ucap Raka lagi tapi Reza yang diajak bicara diam saja. Astaga, apa Raka hanya menyiram minyak tanah pada kemarahan Reza? "Eh.. gue juga ikutan bikin program sialan itu ya.. notebook gue rusak, gimana cara supaya lo ngerti? Itu pentingnya back up data, siapa duruh kalian ga ikutan nyimpan program kita? Lagian percaya amat sama gue, setan aja ga percaya sama gue." "Elo yang rusakin k*****t! Kalo ga lo banting, masih ada kemungkinan bisa diperbaiki." Raka yang tidak terima mendapat nasehat dari seseorang yang menjadi tersangka di sini. "DIEM GA!!!" teriak Uci yang masih tidak mau disalahkan. "Terus apa yang bakal kamu lakuin?" Tanya Reza. Mendengar itu uci merasa tertohok. Apa yang akan dilakukannya?? Jadi secara tidak langsung Reza sudah menyatakan kalau dialah yang selanjutnya harus bertanggung jawab penuh. Ia sudah pasti tidak bisa melakukan semua ini sendirian kan? "Ehm.. kalian tinggal terima beres aja," jawabnya tanpa menoleh pada kedua teman kelompoknya itu. Saat ini Uci hanya berharap satu hal, Adam segera datang. Ia butuh pengalih perhatiannya. "Gimana caranya lo bisa nyelesein semuanya kalo kita kuliahnya full gini?" Tanya Raka lagi. Tidak tahukah Uci akibat dari bicara takabur? "Ka.. kan gue dah bilang kalian tinggal terima beres aja. Tenang aja.. gue ga bakal masuk kelas." Reza menepuk pundak Raka dan mengajak temannya itu untuk kembali ke kelas dengan menunjuk arah belakang mereka. Saat mereka berbalik keduanya berpapasan dengan Adam yang menampilkan wajah tak habis pikir pada gadis di belakang mereka. "Heii.." "Adam.. gue rasa ga mungkin nungguin lo benerin notebook gue yang kayaknya emang ga bisa dibenerin, ya ‘kan? Gue bisa minjem laptop dan minjem waktu lo seharian?" tanya Uci langsung tanpa membalas sapaan orang yang sudah duduk di depannya. "Gue ada dua kelas hari ini Ci.. emang lo kosong seharian?" tanya Adam padanya gadis yang sudah lama rasanya tidak ia lihat sedekat ini. untung hari ini Adam wangi. "Gue full sebenernya, tapi gue harus tanggung jawab." Setelah menjelaskan sekali lagi kronologi kejadian kemaren pada Adam karena cowok itu tidak mau membantu jika tidak dituruti maunya, akhirnya Uci memulai kembali programnya dari awal. Ia sangat lega mendengar penuturan Adam tentang dia yang mahir menggunakan aplikasi yang cukup mampu membuat Uci dan teman sekelasnya pusing dan stress. "Dam.." panggil Uci tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop. "Hm.." "Lo udah sarapan? Mau gue pesenin?" tawarnya. "Nanti aja lah.. gue ga biasa sarapan soalnya." Uci kembali tenggelam pada programnya sedangkan Adam sibuk dengan hape Uci. Cowok itu beralasan bosan dan meminjam benda yang selalu membantunya untuk berhubungan dengan gadis yang berada disampingnya itu. Padahal sebenarnya Adam ingin memastikan kalau gadis yang sesekali berdecak kesal ini tidak berhubungan dengan cowok lain. Dan kenyataan yang didapatnya mampu membuat cowok itu melongo, keheranan. Tidak ada chating berarti seperti yang sering mereka lakukan yang dilakukan Uci dengan orang lain. Sejenak Adam menoleh dan memperhatikan Uci sambil menerka apa kiranya isi kepala cewek cantik ini. Jika seperti ini keadaannya, seharusnya Adam lega karena ada kemungkinan Uci tertarik padanya. Tapi disisi lain Adam sangat sadar bahwa sikap yang ditunjukkan Uci selama ini bukanlah sikap seorang cewek yang tertarik pada cowok yang mendekatinya. Lagi-lagi dilihatnya Uci menampilkan wajah kesal dan ia mendekati cewek itu lalu melihat apa penyebabnya. "Ya ampun Lucy Adelinaaaa.... Udah berapa kali gue bilangin kalo ga gitu caranya???" Tanya Adam yang ikutan kesal. "Ih Adam kok lo ga sabaran gitu sih? Ngertiin gue dong," ucap Uci yang kembali mengundang emosi antara keduanya. "Ternyata lo lemot juga ya.. sini!" >>>  "Kita keterlaluan ga sih, Jak?" Tanya Raka setelah memastikan dosennya sudah tak ada di kelas. Ia sama sekali tidak bisa tenang selama dosen memberikan materi bahkan Raka terpaksa ditertawai oleh seisi kelas karena untuk pertama kalinya ia tidak bisa menjawab pertanyaan dosennya dengan benar. Jangankan benar, mendekati benar saja tidak. "Sadar juga lo?" sambar Indah yang sejak tadi menatap Raka dan Reza dengan permusuhan. Bisa-bisanya kedua cowok itu membebankan semuanya pada Uci yang sudah jelas kadang agak lemot, ya walaupun itu salah cewek yang ga sabaran itu juga. "Ga usah perang mulut dulu sama Indah, Ka.. gue tau gimana Uci dan gue rasa sekarang dia lagi histeris," jawab Reza yang langsung menyambar tas dan berjalan menuju tempat di mana ia meninggalkan Uci pagi ini, kantin. Raka memberikan senyuman tidak ikhlasnya pada Indah kemudian menyusul teman baiknya itu. ia sadar bahwa jika dibiarkan berdua saja maka Reza dan Uci akan kembali bertengkar sementara ia tau bahwa bukan bertengkar yang ia, Reza dan Uci butuhkan saat ini. Itulah kenapa ia mengajak Reza bercanda di sepanjang jalan. Reza yang sesekali bercanda dengan Raka itu sebenarnya sedang berusaha menahan emosi sekaligus sakit kepala yang didapatnya akibat kehujanan kemaren sore. Padahal ia sudah cukup sering berdoa untuk tidak lagi terlibat dengan kebodohan gadis yang selalu menyulut emosinya itu dan sepertinya belum saatnya semua permintaannya terkabul. "Jak, pacar lo noh," ucap Raka menyikut teman baiknya. Pacar Reza yang notabene adalah junior mereka itu tampak takut-takut untuk mendekati Reza dan Raka. "Peduli amat lo.. gue aja ga peduli," jawab Reza tak bersemangat. Saat keduanya sampai di salah satu meja di kantin yang Uci dan Adam tempati, keduanya sedang memperdebatkan dengan apa mereka akan ke rumah Adam. Mereka memang berencana untuk menyelesaikan sisa program itu di sana karena lebih efektif, versi Adam. Cowok itu tidak tega melihat gadis keras kepala dan penuh tanggung jawabnya ketiduran di tempat seperti ini, mana banyak yang akan memperhatikannya. Adam tidak mau itu terjadi karena sebentar lagi ia juga harus masuk kelas. Setidaknya kalau di rumahnya, Uci bisa tidur di kamar adiknya. Awalnya sudah ada niatan untuk pindah ke rumah Uci saja tapi gadis itu merespon dengan 'gimana kalo kita ke rumah lo aja?' "Sama motor gue aja kenapa sih Dam?" Tanya Uci sambil menjambak rambut bagian belakangnya. Tak habis pikir kenapa Adam gengsi sekali hanya untuk menaiki motor matic. Menurut Uci, jika ia meminta Adam untuk duduk di boncengan baru cowok itu boleh gengsi. "Gue bukan banci Lucy Adelinaa... kenapa gue harus naik motor lo?" "Gue jitak juga lo lama-lama, Dam." "Loh loh.. ini lo mau kabur kemana?" Tanya Raka. "Ckckc.. kapan gue pernah lari dari tanggung jawab? Lagian kalo gue udah bilang lo tunggu beres itu artinya ga usah bacot!!" Setelah meluapkan kekesalannya Uci menyeret Adam menuju parkiran. Sepasang anak muda rempong itu akhirnya meninggalkan area kampus dengan menyepakati beberapa hal, salah satunya adalah mereka yang akan jalan lain kali tapi dengan motor cowok itu yang sedang berada di bengkel. Adam begitu terluka harga dirinya hanya karena membonceng Uci dengan motor cewek itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD