PDKT

1307 Words
Ravindra dengan cepat keluar dari ruangan Bagian Keuangan dan Akuntansi. Ia bergerak ke arah lift sambil menunggu Arumi keluar. Aku harus hati hati, jangan sampai anak baru itu melaporkan pada Bapak Yudistira. Tinggal tiga minggu lagi menuju masa persiapan pensiun Bapak Yudi. Kalau si anak baru itu bertingkah, bisa menghalangi rencana promosiku! Ravi melihat kalau Arumi berjalan keluar dari ruangan. Ia berpura pura berdiri di depan lift dan menunggu bawahannya itu mendekat. "Pak," Arumi menyapanya. "Iya," Ravi mulai tersenyum. Ia memperhatikan setelan Arumi dari atas ke bawah. Perempuan di sampingnya ini mengenakan setelan kerja berwarna merah muda dengan kemeja putih. Tidak ada aksesoris atau perhiasan apapun di tubuhnya. Hanya sebuah tas di jinjingannya. Bisa dibilang perempuan ini bergaya kampungan dengan setelan baju dan tas yang jauh dari gaya kekinian. Wajahnya putih bersih tanpa make up sehingga tidak membuatnya terlihat menonjol. Rambut panjangnya terikat rapi. Ravi mengakui kalau perempuan ini memiliki wajah manis yang mungkin saja kalau terawat bisa menjadi perempuan cantik sesuai seleranya. Namun dengan gayanya yang sederhana, Arumi bukanlah perempuan yang sesuai dengan seleranya. Pintu lift pun terbuka. Keduanya masuk ke dalam lift. Arumi hanya diam tidak bicara sepatah katapun. Ravi akhirnya mencoba membuka percakapan, "Kamu tinggal dimana?" "Saya kos pa," Arumi menjawab secara singkat. "Kos dimana?" tanya Ravi lagi. "Di daerah Jalan Ajudan pak," ungkapnya. "Oh, itu sejalur dengan rumah saya. Saya bisa antar kamu pulang," Ravi menawarkan diri. Arumi langsung menggeleng, "Ti-tidak perlu merepotkan pak, saya pulang sendiri saja." "Tidak merepotkan. Pulang sama saya saja," Ravi memaksa. Perempuan ini aneh juga. Aku menawarkan pulang, eh malah berani sekali menolaknya. Arumi kembali menolak, ia teringat cerita Manik. Kenapa aku rasanya takut? "Ini sudah malam, kita sejalur, biarkan saya mengantarmu. Jangan menolaknya," Ravi menutup pintu lift saat terbuka di lantai lobi. "Kita ke lantai B1. Saya parkir mobil di situ," Ravi memaksa. Arumi meremas tali tasnya dengan kuat. Bagaimana ini? "Ikuti saya. Tidak ada yang akan menggigitmu," Ravi berjalan lebih awal menuju mobilnya. Arumi dengan gugup masuk ke kursi penumpang depan. Ia memasangkan sabuk pengaman dan duduk dengan tegang. Semoga semua baik baik saja dan tidak ada yang akan terjadi. Lindungi aku... Mobil bergerak menuju arah Jalan Ajudan. Sepanjang jalan Arumi hanya diam. Sesekali ia melirik ke arah Bapak Ravindra. Atasannya itu memang tampan dan menawan. Tak heran kalau dia bisa saja dengan mudah mendapatkan perempuan manapun. Apalagi karirnya cerah dan akan dipromosikan menjadi manajer dalam waktu dekat ini. Lelaki yang sukses dan mapan. Kapan aku bisa mendapatkan lelaki seperti itu? Arumi menunduk memperhatikan dirinya sendiri. Setelan pakaian, tas dan sepatu yang dikenakannya mungkin total tak lebih dari tiga ratus ribu. Semua pakaiannya murah dan tidak mengikuti perkembangan terkini. Yang penting nyaman dan terjangkau. Ia mengingat perempuan yang sedang mengobrol dengan Bapak Ravindra di lantai lobi waktu itu. Pakaian dan gayanya trendi sesuai kekinian. Perempuan yang cocok menjadi pasangannya. Beda dengan dirinya yang tidak mengerti perkembangan tren. Tak terasa mobil memasuki Jalan Ajudan. "Nomor berapa rumahnya?" tanya Bapak Ravi. "Nomor 101, rumah ketiga sebelah kanan pak. Pagar putih," Arumi menjawabnya. Ravi pun mengurangi laju mobil secara perlahan dan berhenti di depan rumah nomor 101 tersebut. Arumi melepaskan sabuk pengamannya dan menoleh ke arah Ravi, "Terima kasih banyak pak." "Sama sama," Ravi tersenyum. "Kalau kamu mau, besok dan seterusnya, saya bisa saja mengantarkanmu pulang." "Ti-tidak usah pak. Terima kasih banyak atas kebaikan bapak. Saya turun dulu. Mari pak," Arumi pun turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah kosnya. Syukurlah tidak terjadi apapun. Sepertinya Bapak Ravi memamg hanya berbaik hati mengantarkanku. *** Ravi menatap rumah kos Arumi dan tak lama mulai menggerakkan kendaraannya menjauh. Aku akan mendekatinya dan menyuruhnya berhenti bekerja, maka semua permasalahan selesai. Ravi diam diam tersenyum lebar. Ini baru langkah awal untuk mendekatinya. Tapi sepertinya perempuan tadi mangsa mudah. Mungkin dengan beberapa kali mengantarkannya pulang, aku sudah bisa merayunya agar mencari pekerjaan lain. Dering ponsel menyadarkannya dari lamunan. Ravi mengabaikan telepon itu. Seorang perempuan akhir akhir ini terus menerus menghubunginya. Sejak mereka dekat, berpacaran dan berhubungan badan, perempuan itu seperti terus menerornya dan meminta pertanggung jawaban. Ravi sudah berusaha menghindar dan bicara baik baik tapi perempuan ini tidak mau menyerah. Untungnya, dia tidak tahu tempatku bekerja. Sekali lagi dering ponsel berbunyi. Saat hendak mengabaikannya, ia melihat kalau ternyata telepon kedua ini dari Citta. Ravi, "Halo." Citta, "Kamu dimana?" Ravi, "Aku baru mengantarkan perempuan itu pulang." Citta, "Kamu sudah memulai rencanamu?" Ravi, "Iya. Dia sepertinya mangsa mudah. Aku mungkin hanya perlu beberapa kali mengantarkannya pulang. Setelah itu mencoba membujukanya agar berhenti kerja. Ini dimana?" Citta, "Aku sedang di sebuah apartemen. Ravi, kamu harus ke sini." Ravi, "Apartemen mana?" Citta, "Grand City Apartment. Temanku mau pergi kerja ke luar negeri dan apartemennya kosong. Antara mau dia jual atau disewakan." Ravi, "Lalu?" Citta, "Kamu mau menyewanya atau membelinya untukku bukan? Aku akan keluar rumah orangtuaku dan tinggal di sini." Ravi, "Dimana alamatnya?" Citta, "Aku share loc." Ravi pun bergerak ke lokasi yang dimaksud. Setibanya di alamat yang dimaksud, ia naik ke unit apartemen yang dimaksud Citta. Ravi melihat sekeliling apartemen tersebut. Ada ruang tengah, dapur terbuka dan dua kamar tidur. Cukup untuk Citta tinggal sendiri. "Temanku meninggalkan furniture nya juga, jadi tidak lagi perlu untuk membeli apapun," ungkap Citta. "Kamu mau membelikannya untukku bukan?" Citta merangkul Ravi. "Temanku menawarkan di harga satu milyar." "Iya, iya," Ravi mengangguk. "Serius?" Citta mencium pipinya dengan cepat. "Untuk awal, biarkan aku menyewanya dulu. Setelah aku promosi jabatan, aku janji akan membelinya," ucap Ravi. "Kita bisa ketemu dengan bebas di sini. Thank you sayang," Citta pun secara perlahan mengecup bibir Ravi dengan penuh hasrat. Ravi membalasnya dan membawa Citta ke atas sofa. Keduanya mulai bergulat dengan penuh nafsu. *** Sepulang kerja, Tama mengunjungi papanya di kediaman mereka. "Pap," Tama mengetuk pintu ruang kerjanya. "Masuk. Kamu tidur di sini? Tidak di apartemen?" tanya Ardika. "Aku tidur di sini. Banyak yang mau aku ceritakan," Tama duduk di hadapan Dika. "Tim sudah menemukan alamat rumah Bik Nana, orang yang membawa Disa pergi dari panti asuhan. Tapi ternyata Bik Nana sudah meninggal dunia dan rumah itu ditempati orang lain," Tama menghela nafas panjang. Ardika menatap putranya, "Kita sepertinya masih harus bersabar." "Iya pap. Aku hanya merasa sedikit lelah. Tinggi harapanku ketika mengetahui alamat rumah Bik Nana, tapi lalu berita duka membuat harapan itu seperti pupus," Tama mengeluarkan unek uneknya. "Kadang aku ingin menyerah, tapi bayangan Disa yang hidup di luar sana tanpa kejelasan hanya membuatku khawatir," Tama menarik nafas panjang. "Jangan menyerah anakku. Kamu kekuatan papa... Daa puluh lima tahun menahan rasa, kalau tidak ada kamu, papa mungkin tidak kuat," Ardika memejamkan matanya. "Iya pap.. Semua yang tejradi seperti mempermainkan perasaanku," Tama menatap Ardika. "Tapi, aku akan mencoba untuk tidak patah arang." "Aku sudah menugaskan orang berjaga di area makam Bik Nana. Menurut informasi, makamnya rapi dan terawat. Bahkan ada sisa sisa taburan bunga yang mengering belum terlalu lama. Artinya, ada yang baru baru mengunjungi makamnya. Aku curiga itu Disa," jelas Tama. "Selain itu, aku mendapatkan informasi kalau ada kerabat Bik Nana yang sesekali mengunjungi mereka. Tim sedang mencari kerabat yang dimaksud tersebut. Semoga saja kita bisa menemukannya," Tama menambahkan. "Kalau memang kerabatnya itu ketemu, Tama coba minta fotonya. Mereka pasti memiliki setidaknya satu foto Bik Nana dengan Disa. Papa sungguh ingin melihat wajahnya. Seperti apa Disa sekarang?" Ardika menggumam. "Iya pap... Soon. Kita pasti akan menemukannya.," Tama menggenggam tangan papanya. Mereka saling menguatkan. "Disa pasti ketemu," Ardika menggenggam erat tangan Tama. "Iya pap," Tama mengangguk. Tiba tiba ada telepon masuk dari tim penyelidik. "Dari tim. Pap, aku angkat dulu," Tama mengangkat teleponnya. "Halo." "Halo pak. Untuk informasi, kami sudah menemukan rumah kerabat dari Bik Nana. Tapi karena ini sudah malam, kami menunda untuk bertamu hingga besok pagi." "Syukurlah. Saat mengunjunginya besok pagi, tolong cari tahu apakah mereka memiliki foto Bik Nana dan Disa yang terbaru?" "Baik pak." Tama tersenyum lebar, "Rumah kerabat Bik Nana sudah kita temukan. Semoga besok kita bisa menemukan petunjuk lainnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD