Pagi itu, Ravindra membuka laptopnya yang terhubung jaringan internal perusahaan. Ia mencari tahu nomor ponsel Arumi dari data karyawan. Setelahnya, Ravi diam diam menyimpannya.
Tunggu beberapa hari, perempuan itu pasti luluh. Tipikal seperti dia tidak sulit dan pasti mudah tergoda rayuan.
Ia membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan buku yang berisikan data transaksi. Ravindra lalu menuliskan senilai seratus juta rupiah untuk sewa apartemen selama satu tahun.
Tak hanya itu, ia juga mencatat rencana pembelian apartemen senilai satu milyar rupiah.
Satu milyar untuk target berikutnya!
Ravindra menghitung total semuanya dan kembali menyimpan buku tersebut. Ia tersenyum lebar, tak sabar rasanya menunggu promosi jabatan itu terjadi.
***
Arumi datang pagi itu dengan takut takut. Ia tidak mau berpapasan dengan Bapak Ravi. Saat Manik datang. Arumi dengan cepat menarik tangannya ke arah pantry.
"Ada apa?" Manik bertanya tanya.
"Ada yang ingin aku tanyakan," Arumi dengan ragu menatap Manik.
"Tanya saja, ada apa?" Manik kebingungan.
Tiba tiba ada satu dua karyawan masuk ke dalam pantry. Arumi berubah pikiran, "Mmm.. Nanti saja.."
Mereka pun kembali ke ruangan dan duduk di meja masing masing. Keduanya fokus menjalankan pekerjaan hari itu. Pikiran Arumi sesekali melayang membayangkan apa yang harus ia lakukan saat melihat Bapak Ravi. Konsentrasinya buyar...
Ia melangkah ke pantry untuk membuat secangkir kopi. Namun ternyata ada orang yang ingin ia hindari. Bapak Ravi sedang menelepon dalam posisi membelakanginya. Arumi bergerak cepat kembali keluar dari pantry. Sesaat ia menoleh ke belakang dan memastikan kalau Bapak Ravi tidak melihatnya.
Ternyata atasannya itu masih menelepon dan tidak menoleh ke arahnya. Arumi mengelus d**a tanda lega. Sekilas ia mendengar kalau Bapak Ravi mengucap kata "sayang" di telepon itu.
Oww.. Sepertinya Bapak Ravi sudah memiliki pasangan. Arumi, hati hati. Jangan sampai kamu terlihat berduaan dan membuat orang lain salah paham.
Arumi duduk di kursinya dan kembali bekerja. Ia menginput laporan beban biaya setiap bagian. Namun, matanya kembali menyadari kalau ada angka yang naik drastis dibanding laporan beban biaya sebelumnya.
Ia bergerak ke ruang arsip dan membuka laporan beban biaya tahun sebelumnya di bulan yang sama.
Selisih perbedaannya besar sekali... Memang ini masih masuk dalam anggaran. Tapi, kenapa bisa naik drastis sampai seratus lima puluh persen begini?
Arumi menutup arsip tersebut dan kembali ke meja kerjanya. Ia merenung tanpa tahu harus berbuat apa.
Apa aku diam saja seperti kata Manik? Atau aku laporkan dan membicarakannya lagi pada Bapak Yoga atau mungkin dengan Bapak Ravi?
***
Tama mendapatkan laporan kalau tim penyelidik sudah mengunjungi kerabat Bik Nana. Siang itu mereka mengunjungi Tama di kantor dan melaporkan secara langsung.
"Kerabatnya itu memang mengenal Disa atau yang mereka tahu dengan sebutan Prisca," ungkap salah satu anggota penyelidik yang bernama Arya.
Tama merasakan secercah harapan kembali muncul, "Lalu? Apa mereka tahu kemana Disa sekarang?"
"Jadi setelah Bik Nana meninggal, mereka sempat menawarkan Ibu Disa untuk tinggal bersama mereka, tapi ternyata Ibu Disa menolaknya," jawab Arya.
"Saat itu, Ibu Disa sudah lulus kuliah dan memutuskan untuk mandiri dan mencari pekerjaan," jelasnya lagi.
"Adikku bisa berkuliah? Disa bisa mengenyam pendidikan?" Tama menggumam penuh haru. Ia tak menyangka kalau adik satu satunya itu bisa hidup dengan baik.
"Iya," Arya mengangguk. "Kami sudah mendapatkan informasi kalau Ibu Disa berkuliah di Universitas Pancasila."
Tama tersenyum lebar. Itu universitas negeri ternama di tanah air. Entah kenapa rasanya bangga sekali mengetahui adiknya berkuliah di universitas favorit tersebut.
"Namun, saat kami mencari data mahasiswi dengan nama Prisca, tidak bisa kami temukan," jelas Arya.
"Hmm.. Sepertinya, Disa menggunakan nama lain," ungkap Tama.
"Itu juga dugaan kami. Apalagi, Ibu Disa tidak memiliki dokumen dokumen legal, jadi mudah saja ia merubah namanya," Arya menambahkan.
"Tapi, dia tidak mungkin daftar kuliah tanpa dokumen dokumen legal seperti kartu tanda penduduk atau kartu keluarga bukan?" tanya Tama.
"Iya betul," ucap Arya lagi. "Itu sebabnya kami juga bertanya pada kerabat Bik Nana barangkali mengetahui mengenai hal itu."
Arya melanjutkan ucapannya, "Kerabatnya mengungkapkan kalau Bik Nana sebetulnya telah membuat dokumen dokumen untuk Disa."
"Siapa nama lengkap Bik Nana?" Tanya Tama. "Bisa kita telusuri dari situ bukan?"
"Iya sudah, nama lengkapnya Nara Ardyanti. Kami menelusuri dokumen atas nama tersebut dan ternyata tidak mencantumkan kalau bik Nana memiliki anak ataupun saudara lain dalam kartu keluarganya," jelas Arya lagi.
"Hmm.. Aku bingung.." Tama menggumam. "Kenapa sepertinya Bik Nana menutupi keberadaan Disa?"
"Tapi ada petunjuk lain yang sedang dalam pencarian. Kerabatnya bilang memiliki foto bersama dengan Prisca dan Bik Nana beberapa bulan sebelum Bik Nana meninggal dunia. Saat ini, mereka sedang mencari foto tersebut," Arya menambahkan. "Kalau foto itu sudah diketemukan, kami akan menelusuri data Prisca di Universitas Pancasila melalui visualnya tersebut."
"Jadi, kami sedang menunggu foto tersebut diketemukan dan mencari lebih jauh lagi," Arya menutup penjelasannya.
"Semoga saja. Foto itu akan menjadi petunjuk kuat dan mempermudah proses pencarian," Tama menarik nafas lega.
Setidaknya jejak Disa semakin jelas. Dan satu hal yang membuatnya senang, kala mengetahui kalau Disa hidup baik baik saja. Ini membahagiakan.
***
Arumi dan Manik berjalan ke arah pujasera untuk makan siang.
"Apa yang tadi kamu mau tanyakan?" Tanya Manik.
Arumi memperhatikan kiri kanan jalan. Saat memastikan tidak ada siapapun di sekitar situ, ia baru bercerita.
"Semalam, aku berpapasan dengan Bapak Ravi di lift. Tiba tiba, dia memaksa untuk mengantarkanku pulang," Arumi berbisik pelan.
"A-APA? Lalu?" Manik terkaget kaget.
"Iya. Aku sudah menolak segala rupa, tapi dia memaksa," Arumi geleng geleng kepala. "Sepanjang jalan aku takut sekali. Tapi, tidak terjadi apa apa. Bapak Ravi juga diam saja dan hanya bicara seperlunya."
"Arumi, kamu harus hati hati. Laki laki memang begitu. Pertama kali mendekati ya begitu.. Baik baik dulu. Tapi lama lama kan kita tidak tahu," Manik langsung panik.
"Setelah dia dapat yang dia mau, ya pada akhirnya pasti akan terbuka kebusukannya," Manik mengingatkan.
"Serius, aku sudah menolaknya berkali kali, tapi dia memaksa. Aku jadi bingung," Arumi mengerutkan keningnya. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Sudah nanti lagi, kamu tegas saja. Daripada terjadi apa apa sama kamu," ucap Manik.
"Tegas bagaimana?" Arumi mencoba mendengarkan usul temannya itu.
"Iya, pokoknya jangan mau diajak berduaan apalagi kalau sudah ada ajakan check in segala," bisik Manik.
"Check check in??" Arumi terkaget kaget.
"Menurutku, kamu bilang saja sama Bapak Ravi kalau kamu tidak mau berduaan sama laki laki karena kamu sudah punya pacar," jelas Manik.
"Oh iya ya.. Aku tidak terpikirkan," Arumi mengangguk angguk.
"Kalau perlu, bilang kalau kamu sudah mau menikah," Manik memberikan usul ekstrim.
Arumi tertawa, "Aku tidak bisa bilang begitu. Status kekaryawananku masih kontrak, jadi kan tidak boleh menikah sampai masa kontrak berakhir."
"Oh iya ya.." Manik tersenyum.
"Intinya sih, cari cara agar dia tidak mendekatimu lebih lanjut. Bisa juga bilang kalau kamu tidak mau berduaan dengan laki laki, kecuali calon suami," ujar Manik lagi.
Arumi terdiam. Ia mempertimbangkan semua usulan Manik. Apapun caranya agar Bapak Ravi tidak lagi mendekatinya. Manik benar, dimana mana lelaki hidung belang itu pasti baik di awal dan busuk di belakang.
Aku harus berhati hati...