"Bisa saja aku mendekatinya," Ravindra menggumam.
"Maksudmu?" Citta terkaget kaget.
"Iya, untuk mencegahnya macam macam, bisa saja aku mendekatinya bukan?" pikir Ravindra.
"Lalu aku?" Nada bicara Citta langsung meninggi.
"Itu sebabnya aku cerita. Ide ini kita sepakati bersama. Kamu harus tahu kalaupun aku mendekatinya, ini bukan dari hati, tapi ada maksud yang ingin aku capai," jelas Ravi.
"Kalau bos aman, aku juga aman, kamu juga akan kecipratan hasilnya," Ravi menatap Citta.
"Apa kamu bisa membelikanku tas Goyard terbaru?" Citta menggoda Ravi.
"Jangankan tas, mobil pun bisa aku beli untukmu," Ravi membujuk Citta.
Citta langsung naik tubuh Ravi, "Lakukan sayang.. Tapi, janji, jangan sampai kamu menyukainya!"
"Perempuan itu tidak membuatku berselera," ungkap Ravi. "Jadi tidak mungkin aku menyukainya. Gaya dia bisa dibilang agak kampungan."
Citta tersenyum senang. Ia mencium bibir Ravi dengan membabi buta.
Ravi memahami keinginan Citta kalau perempuan ini kembali menginginkan peraduan mereka. Ia pun memutar tubuhnya dan menunggangi perempuan yang tak kuasa menahan hasrat dirinya itu.
***
Arumi semakin tidak enak hati saat membaca laporan keuangan tersebut. Satu hal yang kentara adalah adanya mark up pada salah satu akun beban. Ia yang memiliki pengalaman kerja serabutan, cukup paham harga harga standar untuk alat tulis kantor dan sejenisnya. Tak hanya itu Arumi juga menduga ada dokumen dokumen pendukung yang diubah.
Bagaimana ini? Apa aku ceritakan atau tidak? Sepertinya ada pemalsuan dan pengubahan, atau manipulasi catatan keuangan, dokumen pendukung dan juga transaksi bisnis.
Arumi mengambil gambar dari dokumen dokumen yang ia rasa janggal. Ia lalu menarik Manik ke arah pantry.
"Ikuti aku dulu sebentar," Arumi berbisik.
"Ada apa?" Manik balas berbisik.
Tidak ada siapapun di situ. Arumi pun mulai berbicara.
"Sori.. Tapi, aku melihat ada kejanggalan di dalam laporan ini. Memang sih ini sudah lewat, tapi tetap saja. Bagaimana ya?" Arumi lalu membuka foto yang ia ambil.
"Lihat angka ini, jelas jelas ada mark up," ungkap Arumi sambil memperlihatkan fotonya.
Manik memperhatikan sekitarnya, "Aku dengar dengar juga begitu. Katanya ada bos yang suka mark up mark up gitu. Tapi, aku terlalu takut untuk mengutak atiknya. Kamu juga jangan. Sudah saja bekerja seperti biasa, nanti kamu kena masalah."
Arumi menarik nafas panjang.
"Lagipula, itu kan data yang lalu lalu, kita belum bekerja di sini," jelas Manik lagi.
"Aku tahu, tapi.. Kenapa ya, rasanya nuraniku terusik," Arumi terdiam.
Manik merangkul Arumi, "Kita hanya karyawan di level terendah di perusahaan ini. Bisa apa?"
"Aku tidak tahu denganmu, tapi aku memiliki ibu dan adik yang membutuhkan bantuanku secara materi. Jadi, aku sebisa mungkin menghindar dari masalah," ungkap Manik.
"Saranku juga begitu untukmu. Arumi, jalani pekerjaan tanpa banyak tanya. Kalau iya, nanti kamu yang susah sendiri," Manik menatap rekannya itu.
"Begitu ya menurutmu?" Arumi kebingungan sendiri.
"Iya.." Manik mengangguk. "Tapi, mmm.. Kalau memang sangat mengganggumu, menurutku sebelum bicara kemana mana, kamu bisa info pak Yoga dulu."
Arumi menggigit bibir bawahnya dan berpikir, "Iya kamu benar."
"Ini sudah waktunya makan siang. Lupakan dulu semuanya dan kita pergi isi perut dulu ok?" Manik merangkulnya dan mengajaknya pergi.
"Ok," Arumi mengangguk.
Mereka melangkah ke lantai lobi untuk makan siang di pujasera belakang kantor.
Setibanya di teras lobi, mereka melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam melintas dengan logo huruf B dan dua sayap di kiri kanannya.
"Sejak kerja di kantor ini, sudah dua kali aku lihat mobil mewah yang jarang kelihatan di ibukota ini," ucap Arumi. "Keren sekali mobil itu."
"Itu punya nya Bapak Sagara," bisik Manik.
"Siapa Bapak Sagara?" Arumi mengerutkan keningnya.
"Sahabat dari Bapak Tama. Nama lengkapnya Sagara Gautama. Sama seperti Bapak Tama, Bapak Saga juga pewaris dari konglomerasi Gautama Corporation. Katanya mereka sahabat dari kecil, sama seperti kedua orangtuanya yang juga sahabat lama," jelas Manik.
"Siapa memang orangtuanya?" Arumi bingung.
Manik tertawa, "Hayah.. Kamu kerja di perusahaan ini, harus tahu owner kita dong."
"Pendiri perusahaan ini awalnya adalah Bapak Arnawama Kalingga yaitu kakek dari Bapak Arkatama Kalingga dan juga papa dari Bapak Ardika Kalingga," Manik bercerita.
"Perusahaan ini mencapai masa kejayaan saat Bapak Ardika Kalingga memimpin. Hingga sekarang Bapak Dika masih menjadi CEO Grup Kalingga dengan COO dari grup ini adalah anak pertamanya yaitu Bapak Tama. Bapak Dika sudah tidak terlalu aktif, jadi mungkin kita jarang melihatnya datang ke kantor," ungkap Manik lagi.
"Bapak Ardika memiliki sahabat yaitu Bapak Sadendra Gautama yang merupakan papa dari Bapak Sagara yang mobilnya tadi kamu lihat melintas di teras lobi," Manik menutup ceritanya.
"Oww.. Kamu seperti kamus berjalan," Arumi tergelak.
"Tanya aku apapun! Pasti bisa aku jawab!" Manik tertawa. "Asal jangan soal hitung hitungan. Pusing."
"Tapi aneh juga sih aku ini. Anak akuntansi yang sebetulnya tidak suka menghitung," Manik geleng geleng kepala.
Arumi tertawa, "Iya aneh."
"Oh ya, tadi kamu bilang kalau Bapak Tama itu putra pertama dari Bapak Dika, memang Bapak Dika punya berapa anak?" tanya Arumi lagi.
"Ssstt.. Ini jangan sampai dibahas terlalu terbuka ya.. Ada rahasia umum di perusahaan ini kalau Bapak Dika itu memiliki dua anak, yang pertama adalah Arkatama Kalingga dan yang kedua adalah Ayudisa Kalingga. Tapi.. Ada tragedi menyedihkan terjadi saat putrinya itu lahir," jelas Manik.
"Ibu dari Bapak Tama, yang artinya istri dari Bapak Dika yaitu Ibu Arsyana Oendari meninggal dunia saat melahirkan Ayudisa Kalingga," Manik kembali membuka mulutnya, "Tak hanya itu, setelah tragedi menyedihkan meninggalnya Ibu Arsyana, ternyata Ayudisa Kalingga menghilang dari kediaman Keluarga Kalingga, dan belum ketemu sampai sekarang."
"Itu yang aku dengar," Manik menatap Arumi yang terdiam.
"Kamu kenapa?" Ia memperhatikan kalau Arumi menangis.
"A-aku tiba tiba sedih saja. Kenapa bisa semua itu terjadi?" Arumi menggumam.
"Iya itu semua menyedihkan, tapi sekarang kita sudah sampai di pujasera. Waktunya makan!" Manik menarik tangan Arumi dan mulai memesan makan siang mereka.
***
Sagara tiba di kantor Grup Kalingga. Ia dengan sengaja turun di basemen dan tidak di lobi agar tidak menarik perhatian. Setelah mengenakan maskernya, Saga kembali memesan kopi dan memperhatikan orang orang lalu lalang.
Ketika itu, perempuan yang membayarkannya kopi datang di coffee shop sekitar pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Sekitar dua puluh menit lagi. Aku bisa makan siang di sini.
Saga memesan secangkir espresso dan sepotong tuna sandwich. Matanya terus menerus memperhatikan karyawan yang lalu lalang dari pojok tersembunyi. Saat makan dan minum, mau tidak mau ia harus membuka maskernya. Jadi agar tidak terlalu kentara, Saga memilih duduk di area yang sedikit jauh dari area orang keluar masuk. Namun, masih tetap bisa melihat siapapun yang mengantri di area kasir.
Sabar Saga, sabar.. Dia pasti muncul. Selama kamu konsisten, apa yang kamu cari pasti akan ketemu.
***
Arumi dan Manik berlari dari arah pujasera melalui pintu belakang yang biasa dipakai untuk mengangkut barang. Mereka sedikit terlambat kembali dari jam makan siang sehingga sembunyi sembunyi saat berada ke kantor. Namun, dengan selamat mereka masuk ke ruangan tanpa ada yang menegur.
Manik menahan senyumnya, "Hampir saja. Bagian kita itu selalu kentara kalau terlambat datang. Beda dengan bagian pemasaran yang memang bukan back office."
Arumi tersenyum lebar, "Lumayan juga kita lari lari. Apa yang kita makan rasanya langsung hilang."
"Iya kamu benar, setidaknya kita tidak menggendut," Manik terkekeh. "Ah, sudah sudah, mode serius, Pak Yoga lagi ke sini."
Arumi mengatupkan bibirnya dan mulai menginput tumpukan data di hadapannya.
***
Saga melihat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah satu lewat lima. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Aku seperti pengangguran bulak balik ke sini menunggu yang tak jelas.
Saga pun melangkah pergi dari coffee shop menuju basemen.
Lagi lagi gagal! Tapi aku pasti akan kembali! Tidak ada kata menyerah untuk Sagara Gautama.
***
Hari semakin petang.
"Aku pulang dulu ya.." Manik berpamitan.
"Ok. Hati hati," Arumi melambaikan tangannya.
Sedangkan ia merapikan dokumen dokumen di mejanya dan mengembalikannya ke lemari arsip. Arumi berjalan ke arah ruangan arsip untuk menyimpan semuanya kembali ke tempatnya.
Di ruangan tersebut ternyata ada Bapak Yoga yang sedang membaca sebuah bundel dokumen.
"Eh pak," Arumi menyapanya.
"Ya," Bapak Yoga mengangguk.
Tanpa ditanya, Arumi menjelaskan, "Saya sudah selesai membaca semuanya pak."
"Iya bagus, kamu sudah mulai paham sistem pencatatan dan data akun di perusahaan ini?" tanya Yoga.
"Sudah pak," Arumi mengangguk.
"Bagaimana hasilnya? Apa yang kamu pelajari?" Yoga menutup bundel dokumen yang sedang ia baca.
Arumi dengan ragu menatap Yoga.
"Ada apa? Cerita saja," Yoga dengan sabar menunggunya bercerita.
"Mmm.. Pak, mohon maaf sebelumnya, tapi.." Arumi akhirnya menceritakan yang mengganggu nuraninya. "Saya melihat ada pencatatan pencatatan dan nilai nilai yang terasa janggal."
Ia memperlihatkan apa yang dimaksudnya pada Bapak Yoga. Mereka berdua meneliti dokumen tersebut.
Bapak Yoga menatapnya, "Ya sudah, ini akan jadi perhatian saya. Kamu tenang saja. Toh yang ini sudah berlalu. Jangan terlalu dipikirkan."
"Baik pak," Arumi sedikit lebih lega setelah menceritakan semuanya. Ia menyimpan kembali dokumen dokumen yang ia perlihatkan barusan pada Bapak Yoga.
Di luar ruangan arsip, diam diam Ravindra Wistara mendengarkan percakapan keduanya.