Arumi memperhatikan kalau Bapak Ravindra pergi ke luar ruangannya.
Kemana sepagi ini? Sepertinya hendak keluar kantor. Baru juga datang sudah pergi. Kenapa juga aku memperhatikannya?
Tiba tiba Manik duduk di sebelahnya dan berbisik pelan, "Aku barusan dari Bagian Sumber Daya Manusia. Ada isu terkini.."
"Isu apa..?" Arumi penasaran.
"Jadi, Bapak Yudhistira kan pensiun tuh bulan depan. Isunya Bapak Ravindra yang akan naik jabatan untuk menggantikannya," jelas Manik.
"Oww.. Semuda itu jadi manajer?" bisik Arumi. "Hebat juga ya.."
"Iya, itu sebabnya Bapak Ravindra akhir akhir ini seperti menyibukkan diri melakukan banyak hal untuk menggantikan aktivitas yang biasanya dilakukan Bapak Yudhistira," ungkap Manik.
"Aku jujur bingung. Kadang Pak Ravi itu seperti baik dan ramah. Tapi kadang juga seperti dingin dan tidak berempati," Manik bicara perlahan.
"Jadi, kalau pak Ravi akhirnya menggantikan Bapak Yudhistira, deg deg an juga," jelas Manik lagi.
"Deg deg an kenapa?" Arumi bingung.
"Iya, bagaimana kalau dia bertangan besi gitu? Jadi misal laporan harus selesai jam berapa atau harus selesai hari ini juga," jawab Manik. "Kalau Bapak Yudi kan kita sudah tahu gayanya ya..."
"Kamu benar juga. Bapak Ravi itu memang cenderung misterius. Kadang memang ramah, kadang tidak. Seperti waktu awal awal itu, dia menyapaku. Eh tapi malam kemarin, saat aku berpamitan pulang, dia seperti tidak peduli. Aku memang tidak berharap banyak agar dia beramah tamah, tapi setidaknya menjawab ucapanku saat berpamitan," Arumi menjelaskan.
"Nah itu maksudku. Apa dia moody orangnya?" Manik geleng geleng kepala. "Kalau orang moody begitu jadi atasan, rasa rasanya kita harus siap kalau sewaktu waktu dia meledak."
"Ah sudahlah.. Kita kembali bekerja," Manik memotong ceritanya sendiri. Ia duduk menghadap layar komputer dan mulai menginput bahan bahan laporan harian.
Arumi mengikuti hal yang sama. Sebagai staf akuntansi, Arumi dan Manika bertanggung jawab atas pengelolaan catatan keuangan dan laporan keuangan perusahaan. Tugas utama mereka adalah untuk mencatat, memeriksa, dan melaporkan transaksi keuangan perusahaan secara akurat.
Setelah selesai, Arumi kembali membuka buka laporan keuangan, mulai dari catatan pendapatan, pengeluaran, aset, kewajiban, hingga ekuitas. Sejujurnya, hati kecilnya terusik. Ada beberapa tanda tanya di hatinya.
Arumi mulai memperhatikan adanya kejanggalan karena perbedaan jumlah dalam laporan keuangan tersebut.
Apa aku laporkan kejanggalan ini pada Bapak Ravindra? Atau diam saja? Atau setidaknya bicara dengan Bapak Yoga? Toh laporan ini juga sudah lewat. Aku bingung. Nuraniku terusik.
***
Tama mendapatkan kabar dari tim penyelidik di lapangan kalau alamat rumah bik Nana memang benar adanya. Tapi rumah tersebut sudah ditempati oleh orang lain. Kabar yang mereka peroleh pun menyisakan duka, karena Bik Nana ternyata sudah meninggal dunia. Saat tim bertanya pada warga sekitar, tidak ada yang tahu kemana perginya anak yang tinggal bersama Bik Nana.
Setelah menerima kabar tersebut, Tama merasa putus asa.
Hhh.. Aku sudah berharap banyak kalau akan segera bertemu dengan Disa. Tapi nasib berkata lain. Sekarang, aku harus mencari cara lain agar bisa melacak keberadaan adikku itu.
Tama menarik nafas panjang. Ia berpikir.
Apa lagi yang harus aku lakukan? Apa langkah berikutnya?
Ia lalu menghubungi tim penyidik.
"Ya pak."
"Cari tahu makam Bik Nana dan tempatkan orang untuk menjaga makam tersebut. Saya yakin, pasti Disa akan muncul di makam sewaktu waktu."
"Baik pak. Sekarang kita sedang mencari kerabat Bik Nana. Siapa tahu mereka mengenal Ibu Disa."
"Apa Bik Nana memiliki kerabat?"
"Katanya ada kerabatnya yang memang pernah beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Mereka tidak tahu namanya, hanya tahu wajahnya. Anggota tim ada yang sedang menggambarkan secara kasar goresan wajahnya. Nanti kita cari dari ilustrasi yang sudah dirapikan gambarkan."
"Ok. Bagus. Semoga kita segera menemukan petunjuk baru."
"Satu lagi pak, warga sini mengingat kalau anak Bik Nana itu setiap hari pergi kuliah. Kami sedang mencoba mencari data kampusnya. Kalau memang kita tahu dia bersekolah dimana, akan lebih mudah lagi untuk mencarinya. Hal itu bisa menjadi petunjuk tambahan."
"Cari secepatnya."
Setidaknya ada harapan lain. Sabar Tama, sabar... Disa, kakak hanya berharap kalau kamu baik baik saja...
***
Ravindra memasuki kamar hotel tempat Citta berada. Ia bergerak cepat menciumnya. Bibir mereka melekat dengan bergelora. Tak menunggu lama, Ravi mendorong tubuh Citta ke atas tempat tidur dan mulai melucuti pakaiannya.
Citta dengan sengaja membusungkan dadanya sehingga membuat Ravi tak bisa menolak untuk menyentuhnya. Kedua buahdadanya yang besar memang menjadi daya tariknya. Ravi cukup bisa menilai kalau Citta mengenakan cup berukuran D untuk menutupi kedua bukit kembarnya itu.
"Ahh.. Sudah seminggu ini aku menginginkannya. Kenapa kamu seperti menghindar?" Citta mendesah di telinga Ravi.
Ravi mendesakkan miliknya ke tubuh Citta hingga membuat perempuan di hadapannya itu menggeliat penuh hasrat.
"Kamu tahu kalau aku sedang berusaha mendapatkan posisi Yudhistira. Dia mau pensiun. Jadi aku tidak mau cari masalah," jelas Ravi sambil terengah engah menghentakkan tubuhnya berulang kali.
"Masalah apa? Ahh.." Citta mengerang saat merasakan pergerakan Ravi di tubuhnya.
Ravi tidak menjawabnya. Lelaki itu hanya menunggangi tubuh Citta seperti kesetanan.
"Sekarang Citta!" Ravi mendesah.
"Iya, iya, iya.. Ah.." Citta meremas apa yang bisa ia remas. Dadanya kembali membusung dan tubuhnya menegang. Namun lama kelamaan ia merasa lemas.
"Oh.. Ini surga.." Citta merintih.
Ravi pun roboh di atas tubuh Citta. Ia terengah engah. Nafasnya berderu tak teratur. Tubuhnya baru saja melepaskan kenikmatan yang membuatnya merasakan kebahagiaan dunia.
Setelah beberapa saat, ia menggeser tubuhnya dan berbaring di samping Citta.
"Lanjutkan ceritamu," Citta tidur menyamping sambil mengelus elus d**a Ravi. "Kenapa kamu tadi bilang kalau mengunjungiku bisa jadi masalah?"
"Kita pasti ketemu di hotel. Aku hanya tidak mau ada orang yang melihatku check in di hotel. Rumor bisa mematikan karir seseorang, kamu tahu itu bukan?" Ravi menjawab pertanyaannya. "Aku sedang menjaga citra diriku saat ini."
"Lalu sekarang, kenapa kamu mau datang? tanya Citta.
"Entahlah.. Mungkin karena aku juga sudah tidak tahan lagi. I want you.." Ravi menjawabnya.
Citta memang satu dari sekian perempuan yang bisa memuaskannya. Ravi menikmati saat bisa mencicipi kemolekkan tubuhnya. Tapi, ia tidak mau menikah sebelum karirnya berada di puncak. Banyak hal yang ingin ia lakukan sebelum terikat dalam satu pernikahan.
"Kita harus segera menikah.." Citta menggodanya. "Kalau sudah menikah, kita tidak perlu sembunyi sembunyi lagi seperti ini."
"Ya, nanti aku pikirkan. Tunggu bulan depan setelah Yudhistira pensiun. Kalau aku menggantikan posisinya, kemampuan finansialku juga akan meningkat. Pernikahan akan aku pertimbangkan," ungkap Ravi.
"Iya sayang.." Citta menggodanya. "Kamu pasti bisa."
"Hanya saja, akhir akhir ini, ada hal yang menggangguku," Ravi menggumam.
"Apa itu?" tanya Citta.
"Ada anak baru yang mengorek ngorek laporan keuangan yang sudah lewat. Entah kenapa, aku khawatir.." Ravi bicara perlahan.
"Memang laporan itu ada yang salah? Ada yang harus dikhawatirkan dari isinya?" tanya Citta lagi.
"Yah, kamu tahu bos bos, gaji besar, tapi tetap saja tidak pernah puas," terang Ravi. "Jadi ada saja pengeluaran pengeluaran di luar anggaran. Akibatnya kita harus menutupinya dengan pos pos lain. Kamu paham maksudku?"
Citta mengangguk, "Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
Ravi terdiam. Ia merenung...