"Ini sudah sore. Mau pulang sekarang tidak? Saranku, kalau sudah selesai, cepat saja pulang. Kalau mau, kita sama sama keluar," ucap Manik. "Aku tunggu."
"Iya mau bareng. Aku sudah selesai. Sebentar, aku simpan dulu dokumen ini ke ruang arsip," Arumi dengan cepat bergerak ke ruang penyimpanan dokumen.
Saat keluar dari ruang arsip, Arumi tak sengaja berpapasan dengan Bapak Yudistira. Arumi pun menyapanya, "Sore pak."
"Sore," Yudistira tersenyum. "Kamu anak baru ya? Mmm.. Arumi?"
"Iya pak," Arumi tersenyum.
"Bagaimana pekerjaanmu? Tidak ada masalah bukan?" Yudistira memastikan.
"Tidak pak. Banyak yang membantu saya," jawab Arumi lagi.
"Sini sini, masuk dulu," Yudistira mengajaknya masuk ke ruangannya.
"I-iya pak," Arumi memasuki ruangan orang nomor satu di Bagian Keuangan dan Akuntansi tersebut.
"Silahkan duduk," Yudistira menunjuk kursi di hadapannya.
Arumi pun menurut.
"Saya hanya ingin menyerahkan ini," Yudistira menyodorkan sebuah buku agenda. "Isi agendanya dengan catatan catatan harianmu."
"Wah terima kasih pak," Arumi tersenyum lebar.
"Ini agenda internal. Setiap anak baru saya berikan hal yang sama," jelasnya.
"Sekali lagi, terima kasih pak," Arumi mengucapkan rasa terima kasihnya.
Di saat yang sama, Ravindra melintas dan memperhatikan kalau Arumi sedang berbincang bincang dengan Yudistira. Jantungnya berdetak kencang.
Apa yang mereka bicarakan? Tidak bisa dibiarkan, aku harus bergerak cepat. Anak baru itu sepertinya terlalu berani!
Ravindra bergegas masuk ke dalam ruangannya sambil menunggu Arumi. Ia bertekad untuk mengantarkannya pulang dan segera mengambil tindakan agar anak itu tidak berani macam macam.
Dari seberang ruangan, Manik memperhatikan kalau Ravindra melintas dan masuk ke ruangannya.
Gawat! Kalau si bapak melihat Arumi, bisa bisa mengajaknya pulang bareng lagi.
Ia dengan cepat mengambil tas milik Arumi dan menunggunya tak jauh dari pintu ruangan Bapak Yudistira. Setelah Arumi keluar, Manik dengan cepat menarik tangannya, "Ikuti aku!"
"Ada apa?" Arumi ikut berbisik.
"Aku melihat Bapak Ravindra datang. Jangan sampai dia melihatmu," Manik bergegas menarik Arumi masuk ke dalam lift.
"Oh.." Arumi cepat cepat mengikuti Manik. "Aduh.. Kok rasanya tegang ya.."
Setelahnya, Arumi dan Manik berjalan keluar dari area kantor. Di dekat jalan besar, keduanya memesan ojek online dan berpisah ke rumah masing masing.
Setibanya di tempat kos, Arumi akhirnya bernafas lega. Ia berbaring di atas tempat tidur.
Sampai kapan aku sembunyi sembunyi begini? Tidak nyaman juga rasanya. Hari ini aku bisa selamat, tapi bagaimana besok besok? Sepertinya, aku harus tegas menolak saja kalau lain kali ada lagi ajakan untuk mengantarkan pulang.
Tiba tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk.
Kamu dimana? - Ravindra
Arumi membelalak kaget.
Ba-bagaimana ini? Ke-kenapa Bapak Ravi memiliki nomor ponselku? Aku sudah kadung membacanya lagi..
Arumi langsung duduk di atas tempat tidur. Ia akhirnya menghubungi Manik untuk meminta pendapatnya.
Manik, "Halo..."
Arumi, "Manik, sori, apa aku mengganggu?"
Manik, "Tidak. Aku baru selesai mandi. Lagi rebahan di kamarku. Ada apa?"
Arumi, "Mmm.. Masa Bapak Ravi mengirimkan pesan padaku?"
Manik, "Pesan apa?"
Arumi, "Dia cuma bertanya : KAMU DIMANA? Aku tidak enak kalau tidak membalasnya, karena sudah aku baca pesannya. Bagaimana ini?"
Manik, "Waduh.. Apa si bapak memang menyukaimu?"
Arumi, "Rasa rasanya tidak mungkin. Mmm.. Aku pernah melihatnya berbincang bincang dengan seorang perempuan, dan mereka terlihat akrab. Gaya perempuan itu stylish sekali. Jauh beda denganku. Aku bukan tipenya.."
Manik, "Tapi.. Kenapa si bapak tiba tiba seperti ini? Kalaupun niatnya jahat, kenapa kamu?"
Arumi, "Apa karena aku anak baru? Dia pikir aku tidak tahu apa apa soal rumor dan isu dirinya?"
Manik, "Ahh.. Ya.. Bisa jadi.."
Manik, "Untuk sekarang, balas pesan apa adanya, pendek pendek saja. Jadi, kamu jawab kalau sudah di tempat kos. Tapi, kalau dia berlanjut, langsung menghindar saja dan bilang mau tidur."
Arumi, "Ok."
Manik, "Nah, kalau ada ajakan ajakan, menurutku tegas saja kalau kamu sudah punya pacar. Atau bilang kalau kamu tidak terbiasa dekat dengan lelaki."
Arumi, "Iya, aku harus tegas."
Manik, "Baguslah.. Semangat. Hati hati ok?"
Arumi, "Thanks."
Ia lalu membalas pesan Bapak Ravindra
Arumi : Di kos.
Ravindra : Kenapa tidak menunggu saya? Besok lagi, kamu pulang bersama saya.
Arumi : Maaf pak, saya pulang sendiri saja.
Ravindra : Jangan menolak ajakan saya.
Arumi : Tapi nanti tidak enak dengan pacar saya. Mohon maaf sebelumnya.
Tidak lagi ada balasan dari Ravindra.
Arumi menghela nafas panjang.
Semoga tidak lagi ada pesan pribadi yang dikirimkan Bapak Ravi.
***
Ravi merasa geram saat membaca balasan pesan dari Arumi.
Perempuan kampungan itu ternyata tidak mudah ia dekati!
Tenang Ravi, tenang.. Kamu baru saja memulai. Seperti yang sudah sudah, perempuan itu juga pasti akan menyerah!
Ravi akhirnya mengambil tasnya Ia memutuskan untuk pulang. Namun, perempuan itu kembali. Sosoknya tiba tiba saja muncul di ambang pintu ruangannya.
"Ada apa lagi?"
"Antar aku pulang."
"Jangan terus mendatangiku ke ruangan seperti ini. Aku sudah bilang untuk merahasiakan hubungan ini."
"Makanya, angkat teleponku!"
"Jangan bicara di sini."
Ravi melangkah pergi. Perempuan itu mengikutinya. Mereka bergerak ke arah basemen dan masuk ke dalam mobil. Mesin mobil pun menyala, dinginnya AC memenuhi bagian dalam kendaraan roda empat tersebut.
"Aku sudah jelaskan bukan, kalau di kantor sedang ada penilaian. Selangkah lagi menuju promosi jabatan, jadi kamu jangan merusaknya. Kalau aku jatuh, siapa yang akan membiayai gaya hidupmu? Jangan cari gara gara!" Ravi bicara panjang lebar.
"Iya aku tahu, tapi kamu selalu lama membalas pesanku. Bahkan seharian ini tidak mengangkat teleponku!"
"Aku sibuk, bukan berarti mengabaikanmu.."
"Ya sudah, antarkan aku pulang."
Ravi mengemudikan mobilnya menuju tempat tinggal perempuan itu. Di depan sebuah rumah sederhana, mobil pun berhenti. Perempuan itu hendak keluar dari mobil, tapi Ravi menarik tangannya dan mulai mencium bibirnya.
"Ingat kata kataku, jangan cari masalah. Rahasiakan hubungan ini!" Ravi berkata tegas.
Perempuan itu tidak menjawabnya. Ia hanya mengelus pipi Ravi dan mengecup bibirnya, "Dengan syarat. Kamu tahu keinginanku."
"Aku sudah transfer," Ravi mengangkat rok yang dikenakan perempuan itu hingga pahanya tersingkap. Ia mengelus elusnya hingga membuat perempuan di sampingnya itu merintih.
Ravi menurunkan kain segitiga yang menutupi area sensitifnya itu. Jari jarinya bermain dengan lihai hingga perempuan di sampingnya itu merasakan kenikmatan dunia yang membuatnya menggelinjang terus menerus.
"Sekarang giliranku," Ravi menurunkan resleting celananya. Perempuan itu pun membungkuk dan memberikan pelayanan terbaiknya.
***
"Ravi, mama mau bicara," Widuri Rasmi memanggil putranya.
"Mamanya Citta bicara soal kamu. Katanya kalian berbaikan?" Widuri kembali bertanya.
"Mmm.. Belum tahu kelanjutannya," Ravi menggeleng.
"Kamu anak kebanggaan mama, jadi jangan dekat dengan sembarang perempuan. Citta orang yang tepat. Mama setuju.." ujar Widuri lagi.
Ravi mengerutkan keningnya, "Memang Tante Fisna bilang apa?"
"Tidak bilang bagaimana bagaimana. Cuma membahas kalian saja. Kamu tahu sendiri kalau Fisna dan mama kan teman lama. Itu sebabnya mama setuju kamu dan Citta bersama," Widuri bicara panjang lebar.
"Iya, iya," Ravi mengambil kunci mobil dan bergerak keluar dari rumahnya.
Namun di halaman depan tiba tiba saja Citta muncul. Ia melambaikan tangan pada Ravi.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Ravi berbisik.
"Mama memintaku mengantarkan kue buatannya ini," Citta menunjukkan jinjingan di tangannya.
Widuri keluar dari rumah sambil menerima jinjingan dari tangan Citta, "Terima kasih sayang."
"Ravi, antarkan Citta ke kantornya," Widuri memberikan perintahnya.
"Iya. Ayo," Ravi mengajak Citta naik ke mobilnya.
Mobil pun bergerak pergi.
"Sori datang tanpa bilang. Tapi mama sepagi ini terus bicara soal kamu bahkan dengan sengaja membuat kue. Sepertinya mama dan Tante Widuri membahas soal kita dan berharap hubungan berlanjut ke jenjang lebih jauh," ungkap Citta lagi.
"Iya, kamu kan sudah tahu rencanaku. Sabar ok?" Ravi tersenyum.
Citta pun mendekat dan mengecup pipi Ravi. Kedua buahdadanya yang besar itu menyentuh tubuhnya. Ravi dengan gemas meremasnya.
"Itu milikmu," Citta mengusap usap d**a Ravi, lalu turun ke perut dan dengan jahilnya berhenti di satu area menonjol di antara selangkangann Ravi.
"Jangan usil, ini masih pagi," Ravi menahan hasratnya.
Citta melepaskan tangannya dan tersenyum, "Aku tahu. Hanya menggodamu saja. Lagipula, kamu yang memulai.."
"Aku sudah transfer sewa apartemen itu. Kapan kamu mulai menempatinya?" Ravi melirik ke arahnya.
"Hari ini juga bisa. Tapi aku belum bilang mama. Mungkin resminya minggu depan," Jawab Citta.
"Malam ini kita ketemu di apartemen," ucap Ravi.
"Iya.. Jemput aku pulang kantor nanti?" Citta memastikan.
Ravi pun mengangguk.
Mobil pun berhenti di lobi gedung kantornya. Citta membuka sabuk pengaman. Namun saat hendak turun, sepatunya menginjak sesuatu, "Eh apa ini?"
Ia memungutnya. Ternyata sebuah gelang emas.
Citta mengerutkan keningnya, "Ini punya siapa?"
Ravi membelalak kaget saat melihatnya. Ia gelagapan dan bingung mencari jawaban.