***
TCk. Dhafin berdecak tatkala dia mengingat kembali keputusan yang diambil oleh wanita yang ia cintai itu dua hari yang lalu. Bagian mana yang membuat hatinya tak sakit ketika Anin mengatakan bahwa keputusannya untuk menikah dengan Dhafin adalah salah. Perasaan yang dimiliki Anin untuk Dhafin sudah hilang entah kemana dan tergantikan dengan rasa baru yang ditawarkan oleh sepupu Dhafin sendiri. Albara Praditja. Lelaki yang sebelumnya tak pernah Dhafin pikirkan sanggup menggoyahkan keteguhan hati Anin.
"Sialan!" gerutunya. Keadaan Dhafin sejak dua hari yang lalu sangat berantakan. Efek yang diberikan Anin memang sangat hebat terhadap ketenangannya. Mudah sekali Anin mengatakan bahwa dia sudah tidak mencintai Dhafin lagi sementara perasaan Dhafin masih sama. Masih mengangumi wanita itu luar dan dalam. Kekesalan Dhafin tidak berakhir sampai di sana saat dia tahu Albara Praditja, sepupunya itu membawa Anin pergi entah kemana. Mereka berdua menghilang sejak dua hari yang lalu.
Entah apa yang Bara pikirkan hingga berani membawa Anin pergi di saat pernikahan ini baru saja dilepaskan oleh perempuan itu.
Dhafin curiga Anin dan Bara menganggap remeh dirinya. "Sial! Sial!" teriaknya kesal.
Masih dalam mood yang sama ketika dering handphonenya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Dengan enggan Dhafin merogoh kantong jasnya lalu menatap layar itu sebelum menggeser tombol hijau pada layar.
"Halo Ma?" sapa Dhafin pada si penelpon yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Baiklah, Dhafin tahu orang tuanya sedang menunggu penjelasan darinya. Memang, terhitung dua hari pula Dhafin bungkam ketika terakhir kali dirinya mengatakan bahwa pernikahannya batal.
"Dhaf mama tunggu kamu di rumah. Kita makan malam bersama ya," ucap wanita yang telah melahirkan Dhafin itu. Dhafin menghela napasnya lelah tapi dia harus menjelaskan semuanya agar keluarganya tidak salah paham terus menerus. Dhafin tidak rela orang tuanya menilai dirinya lah yang salah. Meskipun laki-laki itu terkenal arrogan terhadap orang lain tapi satu hal, dia tidak akan membiarkan keluarganya tersakiti dan itu karena dirinya walaupun kenyataanya hal itu sudah terjadi dan semuanya gara-gara Anin dan Bara.
"Awas kalian berdua!" Aura menakutkan itu muncul ketika dengan emosi yang tertahan Dhafin mengancam dua makhluk Tuhan yang menghilang entah ke mana itu.
"Dhafin!" teriak mamanya karena tak direspon tapi malah mendengar ancaman dari anaknya itu.
Dhafin yang terkejut segera saja mengganti intonasi suaranya, "iya ma, nanti Dhafin pulang." Setelah mendengar jawaban dari mamanya, Dhafin mematikan panggilan.
Tangannya menggenggam erat. Seluruh emosi yang beberapa waktu itu menyelimuti seolaj terkumpul dalam kepalan itu. Siap untuk menemukan pelampiasannya. Dhafin melirik meja kaca di depannya. Itu meja kerjanya. Dhafin tahu bukuh jarinya akan terluka bila ia nekat menghantam benda datar, indah, yang sebenarnya sangat tajam bila pecah itu.
Syukurlah, Dhafin masih berpikiran waras. Ia menahan diri. Tak sudi melukai bukuh jarinya hanya karena pengkhianatan seorang Aninda Ralin. Cukup sudah. Dhafin hanya harus melupakan nama itu selamanya. Meskipun benar sangat sulit, tetapi Dhafin yakin ia bisa menghapus Anin dari hati dan pikirannya. Dhafin tidak akan pernah mengingat Anin lagi, dan bila suatu hari perempuan itu tiba-tiba kembali, Dhafin berjanji ia tidak akan pernah menerimanya. Apapun alasannya.
***
Dhafin telah bertekat meski mungkin ia akan goyah lagi. Namun, lelaki itu adalah seseorang yang menghargai sebuah janji. Bila ia sudah berjanji untuk melupakan Anin, maka tidak ada yang tidak mungkin Anin mudah terlupakan olehnya.
Menuruti keinginan mamanya, Dahfin pun telah meninggalkan kantornya. Rumah adalah tempat di mana Dhafin berada sekarang. Dhafin sedang berhadapan dengan keluarganya, yakni terdiri dari papa, mama, serta adik kembarnya yang masih mengenakan seragam SMA yang juga ingin mendengar penjelasan darinya. Dhafin menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cara perlahan.
"Bagian mana yang ingin kalian dengar duluan?" tanya laki-laki itu tanpa basa-basi.
Alena, mama Dhafin merasa iba melihat putra sulungnya itu. "Apa yang terjadi?" tanyanya juga tak ingin basa-basi. Ia ingat dengan jelas Dua hari yang lalu Dhafin mengatakan bahwa pernikahan akan dibatalkan. Alena pun terkejut. Selama ini yang dirinya lihat dari Dhafin dan Anin hanya keharmonisan. Lalu tiba-tiba Dhafin mengumumkan pernikahan harus dibatalkan.
"Well, aku gagal menikah, Ma!" Dengan santai Dhafin menjawab pertanyaan mamanya seolah tanpa beban. Berbeda sekali dengan Dhafin beberapa saat lalu ketika raga laki-laki itu masih berada di kantornya.
"Mama tau!" geram Alena, "yang mama tanya alasannya?!"
Dhafin menyunggingkan senyum yang jauh dari kesopanan. Dia ingat betul mamanya sangat menyayangi Anin dan selalu membanggakan wanita itu kepada keluarganya. Masalahnya adalah Dhafin tidak mau melihat wajah mamanya kecewa setelah mendengar penjelasannya nanti. Namun situasi yang sudah mencekam semakin parah ketika dari luar terdengar suara wanita yang dua tahun lebih muda dari mamanya itu berteriak memanggil nama mamanya.
"Mbak..mbak Alena," Dhafin mengernyitkan dahinya. Tantenya, a.k.a ibu dari sepupu kurang ajarnya yang telah mencuri hati calon istrinya, ralat mantan calon istrinya itu sedang kehabisan napas setelah berada tepat dihadapan mamanya.
"Mbak Alen," begitulah cara Julia memanggil Alena.
"Kenapa kamu, Jul?" tanya mama Alena yang saat ini telah berdiri.
"Maafin Jul, Mbak. Julia baru tahu ternyata penyebab batalnya pernikahan Dhafin adalah karena calonnya kabur bersama Bara, Mbak!" penjelasan tantenya ini mampu membuat mama Dhafin langsung syok berat.
"Mama!" ini juga yang ditakutkan Dhafin. Selain karena mamanya sangat menyayangi Anin, wanita yang telah melahirkannya 32 tahun yang lalu ini mengidap penyakit yang tidak main-main yaitu jantung.
"Siapkan mobil Dhaf!" seru laki-laki yang sejak tadi hanya menatap tajam putranya itu. Dhafin mengangguk dan berlari keluar untuk menyiapkan mobil, sementara itu kedua kembarannya sibuk menelpon dokter yang biasa menangani mamanya.
"Pa, mobil sudah siap!" teriak Dhafin dari luar. Segera saja papa tiga anak itu memboyong istrinya keluar rumah dan mendudukannya dikursi penumpang.
"Kira-kira kamu Dhaf kalo bikin mama kamu syok begini," ucap laki-laki itu.
"Papa gak mau tau! Kamu harus segera cari pengganti Anin secepatnya. Papa gak mau mama kamu kepikiran kamu terus!" ujar papanya. Dhafin hanya bisa meminta maaf sebelum menjalankan mobil untuk menuju rumah sakit.
Syoknya Alena tadi memang tidak terlalu serius kata dokter namun Alena dipaksa menginap oleh Bastian mengingat istrinya itu pingsan pada saat menuju rumah sakit.
"Jadi Dhaf bukan kamu yang salah?" tanya Alena ketika dia sudah sadarkan diri. Dhafin mengedikkan bahunya, "Anin sudah tidak mencintai Dhafin lagi, ma." jawabnya. Alena prihatin pada anaknya, "Mama cukup bersyukur bukan kamu yang memutuskan, Dhaf. Mama yakin Tuhan punya rencana lain buat anak mama ini." Alena menenangkan anaknya. Beginilah Alena, ibu yang selalu Dhafin sayang. Pengertian dan tak pernah berusaha memojokkannya.
"Terimakasih ma," Dhafin memeluk mamanya.
.
.
.
Bersambung.