1. Gagal Nikah

1011 Words
*** Dhafin Arwana Adiwangsa, CEO Arwana crop. Ganteng, kaya, pintar dan berusia 32 tahun. Dhafin adalah sosok sempurna yang diimpikan oleh kaum hawa untuk menjadi adamnya. Seolah tanpa cela, Dhafin bak dewa yunani yang memiliki kesempurnaan mendekati 100 persen. Mencintai wanita dewasa bernama Aninda Raline, berumur 30 tahun dan cantiknya menyerupai dewi-dewi kayangan yang ada dalam imajinasi kaum adam. Menginjak usia pacaran lima tahun mereka berdua memutuskan untuk menikah. Namun sayang, Tuhan tak menakdirkan itu untuk terjadi. Dhafin terpaksa harus menarik semua rencana masa depannya hanya karena Anin memilih pergi bersama sepupu lelaki itu. Bara namanya. "Maafkan aku Dhaf," ucap Anin saat dirinya selesai mengatakan permohonannya pada Dhafin untuk membatalkan pernikahan mereka. "Aku mencintai Bara, dia memberi warna yang berbeda dalam hidupku." Anin sadar perkataanya tadi telah berhasil membuat Dhafin syok berat. Dapat dipastikan Dhafin sangat terluka karena permintaannya ini, tetapi Anin harus melakukannya jika ingin Dhafin bahagia. Karena pernikahan tanpa dasar cinta hanya akan melukai satu sama lain. Anin tidak ingin hubungan mereka semakin tak tentu karena tak lagi saling mencintai. Lebih baik berpisah kini daripada bercerai setelah mereka menikah nanti. Anin menarik napasnya dengan dalam. Ia nenatap Dhafin dengan lekat. Lelaki itu tampak terdiam sembari terus membiarkannya yang berbicara. "Aku tahu ini salah Dhaf, tapi aku nggak bisa. Semua usaha untuk tetap stay sama kamu sudah aku lakukan namun percuma Dhafin. Hati dan pikiran aku udah sepenuhnya milik Bara," ucapnya penuh penyesalan. Memang ini sangat menyakitkan bagi Dhafin, tetapi Dhafin juga harus tahu ini juga menyakitkan baginya. Mencintai Dhafin selama Lima tahun ini begitu banyak memberi Anin pelajaran. Lelaki itu sempurna baginya, tetapi hatinya tak bisa menolak ketika Bara menawarkan cinta lain yang menurutnya jauh lebih berwarna. Kembali Anin memejamkan mata singkat. "Kita udah beda Dhaf," Satu air mata lolos dari telaga hitam milik wanita cantik itu. Jujur saja Anin pun merasa bersalah atas apa yang terjadi. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari, tetapi hatinya dengan kurang ajar menolak untuk bahagia. Sungguh, yang Anin rasakan hanya lah kehampaan dan takut menyakiti perasaan Dhafin karena kecewa padanya. Anin takut jika pernikahan ini diteruskan maka hanya akan ada perasaan menyesal di antara keduanya suatu hari nanti. Hubungannya dengan Bara memang belum ada label 'sepasang kekasih' tapi kenyamanan yang Bara tawarkan mampu membuat Anin merasa bahagia. Perhatian yang Bara berikan bisa membuatnya merasa berarti. Perasaan ini mirip dengan rasa yang pernah Dhafin curahkan untuknya tapi lebih besar, lebih dari itu. Anin yakin sekali. Bara mampu melengkapi apa yang Anin butuhkan, sedangkan Dhafin tidak pernah memberinya ruang untuk memikirkan apa yang ia butuhkan. Seolah paham betul dengan kebutuhannya, Dhafin menyiapkan apapun untuk Anin tapi bukan itu yang wanita itu dambakan. Dia ingin ruang, di mana Dhafin bersikap seperti Bara. Memberinya waktu untuk mengatakan apa yang ia inginkan, yang ia butuhkan. Hanya itu dan Dhafin tidak bisa. Terlepas dari semua itu Anin tetap lah pengkhianat dalam hubungan mereka yang telah lama terjaga ini. Dhafin menatap Anin dengan tajam. Kejujuran Anin benar-benar telah menghancurkan hatinya sepenuhnya. "Sejak kapan?" tanyanya penuh penekanan. Pertanyaan tersebut mampu membuyarkan lamunan Anin tentang alasannya membatalkan pernikahan ini. Anin tahu ke mana arah pertanyaan Dhafin. "Sejak sebulan yang lalu," jawab Anin sambil terisak. Dhafin memejamkan matanya. Kecewa itu semakin nyata saat kejujuran lain yang Anin katakan. Sebulan yang lalu ya? Ingatan Dhafin kembali pada kejadian sebulan yang lalu saat ia tanpa sengaja melihat Anin keluar dari café pada jam makan siang hari itu bersama Bara. Bahkan tanpa curiga sedikitpun Dhafin percaya bahwa Anin dan Bara hanya sekedar meeting mengingat mereka berdua bekerja di kantor yang sama yaitu milik keluarga Bara. Namun, ternyata ada kenyataan yang jauh berbeda dari semua peraduganya. Sebulan, dalam waktu yang sesingkat itu berhasil mengambil alih semua kenangan yang mereka torehkan selama lima tahun ini. Menghempaskan semua rencana masa depan dalam sekejap. Dhafin mendesah, "Apa kau tidur dengannya juga?" Dhafin tahu pertanyaan ini keterlaluan tapi dia harus melakukannya. Dhafin hanya ingin memastikan kecurigaannya. Setidaknya jika jawaban Anin adalah iya maka alasan itu lah yang akan membuat Dhafin harus benar-benar membatalkan pernikahan mereka karena Dhafin adalah laki-laki yang tidak ingin berbagi. Ia bukan lelaki penuh toleransi terhadap kesalahan, terlebih kesalahan itu bersikap sengaja. Anin menatap mata Dhafin dengan sorot yang bersalah. Dari sana Dhafin tahu jawabannya adalah iya. Dhafin kecewa. Hatinya hancur berkeping-keping. Wanita yang dia percaya mati-matian merelakan bagian dari tubuh yang menjadi kesukaannya itu termiliki oleh laki-laki lain. Demi apapun kecewa saja tak akan cukup dalam menggambarkan perasaannya akibat tingkah Anin yang buruk. "Iya ... " Sengaja ucapan itu terjeda. "Kamu benar Anin, kita udah beda. Pada akhirnya kamu lupa pada janjimu dulu," ucapnya. Air mata kembali membasahi kedua pipi Anin setelah mendengar Dhafin membalas telak keseluruhan ucapannya. Anin ingat dulu dia pernah berjanji pada Dhafin bahwa hanya laki-laki itu yang akan menjadi masa depan baginya. Namun, bukankah segala sesuatu sudah memiliki jalannya sendiri-sendiri? Takdir yang tidak menginginkan mereka bersama dan menumbuhkan rasa baru di hatinya sehingga tak semestinya Dhafin hanya menyalahkannya. Keras kepala yang Anin miliki membutanya berpikir seerti itu. Kenapa harus dirinya yang bersalah? Tapi bagi Dhafin wanita itu memang salah karena tidak bisa menjaga kepercayaannya, tidak bisa menjaga hati agar tetap mencintainya. Hanya itu salah Anin. Namun berakibat fatal bagi Dhafin. "Maaf! Maaf!" kata Anin memohon. Ingin sekali Dhafin menenangkannya, memeluknya, tetapi egonya lebih besar. Perasaannya lebih terluka karena pengkhianatan yang dilakukan calon istrinya itu. "Lebih baik kamu cari alasan yang masuk akal untuk menjelaskan gagalnya pernikahan kita pada orang tuaku!" ujar Dhafin. Sifat arogan yang tak pernah ia berlakukan untuk Anin kini muncul dengan sendirinya. Itu karena Dhafin benar-benar kecawa pada Anin. Ia bahkan enggan menatap wajah perempuan itu lagi. Anin sempat terperanjat. Merasa sedikit tak enak ketika mendengar Dhafin bicara dengan cara yang seperti itu kepadanya. Namun, dia sadar bahwa hanya itu yang pantas ia dapatkan. Bahkan Dhafin mungkin merasa berhak melakukan sesuatu yang lebih dari ini. Anin menganggukan kepalanya dengan singkat. Sekali lagi matanya menggambarkan penyesalan meskipun beberapa menit yang lalu ia begitu keras kepala dan menolak untuk disalahkan. Anin sadar diri bahwa ia tidak berhak marah pada Dhafin saat dirinya lah yang telah membuat laki-laki itu terluka. . . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD