8. Rasa Penasaran Aruna

1259 Words
Malam harinya Cantika benar-benar mendatangi kediaman Batara. Seperti arahan Batara para pekerja di rumahnya tidak ada yang diperkenankan untuk melayani kebutuhan Cantika dengan berlebihan, tak terkecuali Aruna. Nyonya Hafsah yang melihat pemandangan tidak pantas sedang terjadi di rumah yang terbiasa dengan aturan wajib melayani majikan dan kerabat majikan yang datang bertamu tentu saja menghardik para pekerja terutama dua asisten rumah tangga, Bu Menik dan Aruna. Berhubung Nyonya Hafsah sedikit segan pada Bu Menik karena menganggap Bu Menik lebih tua darinya dan juga Bu Menik menyimpan banyak rahasia penting tentang rumah ini, wanita itu akhirnya melampiaskan seluruh kekesalannya pada Aruna. “Heh, Aruna! Kamu tidak tahu siapa yang akan datang malam ini? Kenapa sajian di meja makan hanya ini saja? Ini bukan cara yang benar menyambut tamu penting!” ujar Nyonya Hafsah sembari menunjukkan raut marah pada Aruna. “Maaf, Nyonya. Bukannya saya nggak mau menghidangkan banyak makanan dan minuman. Tapi kata Tuan Batara saya dan Bu Menik nggak diperkenankan untuk melayani tamunya malam ini berlebihan. Jadi saya dan Bu Menik hanya menambah porsinya saja, bukan jenis menunya,” jelas Aruna dengan sopan. “Benar Batara bilang begitu, Bu Menik?” tanya Nyonya Hafsah seolah tidak percaya pada penjelasan Aruna. Bu Menik mengangguk pelan. “Benar, Nyonya,” jawabnya singkat. Nyonya Hafsah berdecak keras lalu melipat kedua tangan di depan dadanya dan menatap penuh keangkuhan pada kedua asisten rumah tangga di rumah Batara. “Tidak biasanya seperti itu. Mungkin Batara sedang dalam suasana hati buruk waktu memberi perintah itu pada kalian. Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik masak seperti biasanya saat menyambut tamu penting kalau Cantika datang ke rumah ini,” ujar Nyonya Hafsah pada Bu Menik. “Kamarnya sudah siap?” “Sudah, Nyonya. Kamar tamu sudah saya siapkan tadi.” “Kamar tamu yang mana?” “Di lantai dasar dekat paviliun pembantu,” jawab Aruna karena dialah yang kebagian tugas untuk menyiapkan kamar tamu. “Astaga! Bisa-bisanya kamu menyuruh calon istri Batara tidur di kamar tamu yang itu? Minimal itu tanya, kamar tamu mana yang biasanya digunakan oleh Cantika? Dasar pembantu udik kamu, Aruna!” “Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah Tuan Batara,” ujar Aruna semakin menundukkan kepalanya. “Ada apa ribut-ribut? Suara kalian terdengar sampai ke ruang tengah!” Terdengar suara Batara menghentikan keributan yang terjadi di antara tiga wanita beda generasi itu. Karena tak ada yang berinisiatif untuk menjelaskan duduk perkaranya, akhirnya Bu Menik yang memutuskan untuk angkat bicara. Wanita itu lalu menjelaskan semua yang terjadi pada Batara tanpa ada satupun yang dikurangi. Batara lalu mengangguk paham menanggapi cerita Bu Menik. “Memang benar aku yang memberi perintah itu, Ma. Mulai sekarang Mama nggak perlu ikut campur lagi dalam urusan rumah ini. Biarkan semuanya dikendalikan oleh Bu Menik dibantu Aruna. Jujur saja aku sudah muak dengan segala peraturan nggak jelas yang Mama buat di rumah ini. Kalau Mama nggak suka dengan keputusanku, silakan angkat kaki dari rumah ini!” ujar Batara tegas dilengkapi raut wajah dingin yang membuat jantung siapapun berdebar ketakutan melihatnya. “Jadi kamu sudah nggak butuh Mama lagi, Batara? Kenapa? Karena sudah ada pengasuh baru yang cocok dengan Jingga? Dia hanya orang baru yang baru kenal Jingga. Sedangkan Mama adalah neneknya yang dikenal Jingga dari sejak di kandungan,” ujar Nyonya Hafsah tak kuasa menunjukkan kesedihan di wajahnya. “Cukup, Ma! Jangan membuat aku jadi seperti orang jahat dan kurang ajar pada orang yang lebih tua gara-gara sikap Mama. Aku hanya bilang kalau Mama nggak suka dengan keputusanku Mama bisa angkat kaki dari rumahku ini. Nggak ada hubungannya dengan siapapun… Sudahlah aku nggak mau berdebat lagi. Kalian berdua cepat selesaikan pekerjaan kalian masing-masing.” Setelah menegaskan situasinya Batara meninggalkan ketiga orang yang masih dalam suasana tegang. Nyonya Hafsah menyusul meninggalkan Aruna dan Bu Menik, tentu saja menunjukkan wajah siap perang pada Aruna. Melihat raut wajah majikannya itu membuat Aruna sedikit bingung, antara takut dan juga merasa heran melihat suasana pertengkaran ibu dan anak yang baru saja terjadi di depan matanya. “Kata-kata Tuan Batara ke Nyonya Hafsah tadi kayak bukan ngomong sama ibunya. Nggak sopan menurutku,” komentar Aruna, sembari membantu Bu Menik menyelesaikan pekerjaan di dapur. “Ya, emang,” balas Bu Menik tak acuh. “Gimana, Bu?” tanya Aruna tak mengerti. “Sudahlah, berhenti banyak tanya. Cepat selesaikan pekerjaan ini lalu siapkan hidangan di meja makan. Kamu juga belum memeriksa kamar Tuan Jingga. Mungkin anak itu sudah bangun.” “Ya, Bu.” Setelah itu tidak ada perdebatan lagi. Keduanya segera menyelesaikan tugas masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Bu Menik tadi, setelah melihat ke arah jam dinding Aruna bergegas ke kamar Jingga untuk mengajak makan malam. “Saya kira belum bangun,” ujar Aruna setelah membuka pintu kamar Jingga. “Kata Oma malam ini ada yang akan ikut makan malam bersama kami. Kamu tahu siapa orangnya, Aruna?” tanya Jingga. “Namanya Cantika. Tapi saya kurang tahu dia siapa karena kami belum berkenalan.” “Oh, Tante Penyihir itu,” ujar Jingga. “Kenapa Jingga memberinya sebutan mengerikan seperti itu.” “Karena wajah dan sifat orang itu persis seperti karakter penyihir di buku dongeng yang pernah aku baca.” Aruna tersenyum geli mendengar penjelasan Jingga. “Pasti hanya sebutan ya. Aslinya nggak, kan?” “Entahlah. Menurutku sama saja. Sama-sama mengerikan. Apa dia menginap?” Aruna mengangguk sembari membantu Jingga mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian yang tepat. “Dia pasti minta kamar di samping kamar Daddy.” “Apa dia sering menginap di rumah ini? Sepertinya Jingga hapal betul sama kebiasaan orang itu.” “Nggak sering. Tapi sudah beberapa kali dan selalu tidur di kamar dekat kamar Daddy. Aku pernah melihatnya masuk kamar Daddy tengah malam.” “Kenapa Jingga keluar kamar tengah malam?” “Aku lapar karena nggak makan dengan benar saat makan malam. Tapi waktu mau cari sesuatu di dapur malah lihat itu.” “Apa Jingga suka terbangun saat tengah malam seperti itu?” “Hanya kalau terlalu lapar. Nenek melarang pengasuh-pengasuh sebelumnya menyimpan camilanku di dalam kamar. Kata Nenek itu perintah Daddy.” “Gitu ya? Roti sebungkus saja juga nggak boleh ya?” Jingga mengangguk dengan wajah sendu. Aruna tak kuasa melihat ekspresi itu. Membuatnya tak bisa menahan diri lagi untuk memeluk Jingga. “Saya janji akan memastikan Jingga makan malam dengan benar supaya nggak terbangun tengah malam karena kelaparan. Kalaupun terbangun Jingga nggak perlu sungkan untuk membangunkan saya,” ujar Aruna tulus. “Kenapa kamu baik padaku?” tanya Jingga tiba-tiba. “Berika jawaban selain karena aku anak majikanmu.” Aruna tersenyum lembut. “Saya menyukaimu karena Jingga anak yang baik. Jingga nggak mudah marah dan bersikap sopan pada saya,” jawab Aruna. “Aku mempelajarinya dari Daddy. Kata Daddy kalau kita ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain maka kita juga harus bersikap sopan pada mereka. Bersikap sopan tidak akan membuat harga diri kita jatuh. Seperti itu kira-kira yang dikatakan Daddy.” “Benarkah itu? Berarti Daddy maksud saya Tuan Besar adalah telah berhasil memberikan pelajaran yang baik pada Jingga.” “Apa Daddy merasa beruntung punya anak sepertiku?” “Tentu saja. Kenapa Jingga bertanya seperti itu?” “Entahlah, terkadang aku merasa Daddy seperti membuat jarak denganku.” “Mungkin itu cuma perasaan Jingga saja.” Jingga mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Mungkin,” katanya. Terdengar sebuah ketukan dari pintu kamar disusul suara Bu Menik yang meminta Aruna dan Jingga segera ke beranda karena mobil yang membawa Cantika sudah memasuki halaman rumah dan sedikit lagi sampai di depan rumah. Aruna dan Jingga menjawab dengan kompak, “Ya, Bu!” lalu terkekeh pelan bersama. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD