Di ruang tamu Nyonya Hafsah, Bu Menik, Aruna dan Jingga menyambut kedatangan Cantika. Sementara Batara masih berada di kamarnya. Dia enggan menyambut Cantika seperti yang dilakukan oleh penghuni rumah lainnya.
Nyonya Hafsah menyambut kedatangan Cantika dengan antusias. Keduanya bahkan berbincang dengan sangat atraktif seolah tidak ada orang lain di sekitar mereka. Tak lama kemudian perhatian Nyonya Hafsah teralihkan oleh tarikan Jingga di ujung blousenya. Cantika juga akhirnya menyadari keberadaan Jingga berlutut di hadapan anak laki-laki itu. Cantika mengulurkan tangannya sembari tersenyum. Akan tetapi Jingga tak merespon dan menoleh ke arah Nyonya Hafsah.
“Ayo, beri salam pada Tante Cantika,” ujar Nyonya Hafsah lembut.
Baru kemudian Jingga membalas jabat tangan Cantika. Meski Cantika telah menunjukkan senyum terbaiknya, Jingga sama sekali tak membalas senyuman itu meski hanya senyum tipis. Ekspresinya kini bahkan jauh lebih dingin ketika Aruna datang untuk pertama kalinya di rumah ini.
Kaki Aruna mulai pegal-pegal karena dia berdiri sudah lebih dari setengah jam di jarak tertentu sambil menunggu sang majikan yang hanya bisa dilihat punggungnya saja karena saat ini dia berdiri di jarak tertentu dari arah pintu utama. Tatapan Aruna tidak lepas dari menatap kemolekan tubuh perempuan yang kata Bu Menik akan menjadi salah satu majikannya itu.
Tak lama kemudian perempuan yang sedari tadi menjadi pusat perhatian Aruna itu menghadap padanya. Cantika berjalan dengan anggun sekaligus angkuh. Perempuan itu mengenakan setelah pakaian yang mempertontonkan bentuk dan kulit tubuhnya. Aruna terkagum-kagum melihat kulit perempuan yang putih bersih bak porselen ditambah dengan kecantikan alami yang tetap terpancar meski wajahnya sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Aruna sampai melihat kulit punggung tangannya yang dulunya berwarna kuning langsat kini sedikit menggelap karena pengaruh perubahan cuaca yang cukup ekstrim dari daerah asalnya dan kota perantauannya. Sebenarnya Aruna memiliki paras yang manis dan tidak membosankan. Hanya saja kurang perawatan karena memang bukan berasal dari keluarga kaya raya seperti keluarga Batara ataupun Cantika.
"Cantik banget," gumam Aruna penuh kekaguman dalam hatinya. Dia sedikit merasa kecil saat ini. Dalam arti perumpamaan juga dalam artian secara fisik karena memang dia harus sedikit mendongak ketika tubuh Cantika yang tinggi semampai itu kini sedang berdiri tepat di hadapannya. Padahal dia sudah mengenakan sepatu dengan hak yang cukup menambah tinggi badannya, tapi tetap saja tidak bisa menyamai tinggi badan Cantika. Aruna sudah pernah bertemu dengan banyak perempuan cantik selama hidup di kota metropolitan ini. Namun kecantikan perempuan di hadapannya ini berbeda. Ada raut wajah sinis, manja dan berkelas.
"Jadi kamu pengasuh baru Jingga? Apa benar kamu yang sudah menyelamatkan Jingga dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu?" tanya perempuan berambut lurus sebahu sembari menilik penampilan Aruna dari ujung rambut sampai kaki.
"Benar, Mbak. Saya Aruna," ujar Aruna sopan.
Bu Menik tiba-tiba menekan tangan Aruna sambil berbisik. "Jangan panggil Mbak. Panggil beliau dengan sebutan Nona. Namanya Nona Cantika."
"Maafkan kesalahan saya, Nona Cantika."
“Kamu belum memberitahunya tentang siapa saya?” tanya Cantika sembari menatap sinis pada Bu Menik. Wanita itu hanya menunduk bersalah. “Bu Menik? Sudah aku bilang jangan menganggapku orang lain!” hardik Cantik kesal.
“Bu Menik tidak bersalah, Nona. Saya saja yang kurang mencari tahu tentang anggota keluarga rumah ini,” ujar Aruna.
“Saya akan menjelaskan padanya nanti, Nona,” timpal Bu Menik.
"Ya, sudah. Bekerjalah yang baik. Kamu bisa ada di sini berkat rekomendasi Bu Menik. Saya menghargai bantuan kamu, Bu Menik. Jauh-jauh ke kota untuk mencarikan orang yang telah menyelamatkan Jingga sekaligus dipercaya mengasuh Jingga."
Bu Menik hanya mengangguk hormat sebagai respon. Sementara Aruna hanya tersenyum kikuk karena tak tahu harus bagaimana menanggapi kata-kata itu. Tak lama kemudian Nyonya Hafsah sudah berada di samping Cantika lalu mengajaknya ke ruang keluarga. Keduanya lalu mengobrol sembari menunggu Batara ikut bergabung. Sedangkan Jingga hanya menjadi pendengar setia.
Setengah jam berlalu sudah banyak hal yang dibicarakan oleh Cantika dan Nyonya Hafsah. Termasuk membicarakan tentang asal usul Aruna yang didapat Nyonya Hafsah dari Bu Menik. Entah untuk alasan apa Cantika menunjukkan ketertarikan pada latar belakang Aruna. Dia mencari tahu lebih banyak lagi dari yang bersangkutan dengan cara memanggil Aruna ke ruang keluarga dan memberikan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh Aruna. Di tengah kebingungan Nyonya Hafsah dengan sikap Cantika yang tidak biasa terdengar derap langkah sedang menyusuri anak tangga dari lantai dua rumah ini. Ketiganya mendongak dan memberikan respon yang berbeda-beda. Namun pandangan Batara hanya tertuju pada satu titik yakni Aruna yang hanya sekilas menatapnya lalu tertunduk kembali dan bergegas meninggalkan ruang keluarga untuk kembali ke dapur.
“Aku dengar kamu tadi terlibat cekcok sama pihak Wedding Organizer?” tanya Batara setelah duduk di sofa single yang menjadi pusat dari ruang keluarga.
“Mereka bekerja nggak maksimal. Udah tahu hari pernikahan kita tinggal satu setengah bulan lagi, tapi masih aja ada yang nggak beres,” keluh Cantika.
Tak lama kemudian Aruna datang sembari membawa nampan berisikan minuman dingin dan camilan hendak disajikan di meja bundar yang ada di ruang keluarga. Tatapan Batara yang tadinya menghadap ke arah Cantika detik itu juga mengarah pada kedatangan Aruna. “Kamu terlalu dalam memikirkan masalah pernikahan,” ujar Batara lalu mengalihkan pandangannya kembali pada Cantika.
“Aku mau pesta pernikahan kita berjalan dengan sempurna tanpa ada kesalahan sedikitpun. Aku mau menunjukkan sebuah momen pernikahan yang sakral sekaligus spektakuler,” ujar Cantika sembari terkekeh geli.
“Kenapa nggak sekalian aja bikin pesta rakyat?” balas Batara.
“Enak aja. Aku malah pengennya pesta seperti di cerita-cerita animasi yang pernah aku tonton. Itu adalah dream wedding-ku, Batara.”
Kemudian Batara tertawa renyah. Membuat matanya menyipit dan menunjukkan sebuah lesung pipit yang cukup dalam padahal laki-laki itu tidak tertawa terlalu lebar. Aruna terkesima melihat salah satu ekspresi Batara yang belum pernah dilihatnya selama dua minggu bekerja di rumah ini. Namun ada satu hal yang membuat Aruna tertegun. Lesung pipit Batara tidak ada pada foto-foto yang biasa dipandangi Aruna selama ini setiap kali mendapat tugas membersihkan bufet yang ada di ruang keluarga. Padahal laki-laki yang ada di foto itu tertawa juga seperti Batara saat ini, bahkan mungkin cenderung lebih lebar dan lebih lepas. Tapi Aruna tidak menemukan lesung pipit seperti milik Batara.
Namun kesadaran Aruna segera kembali mendengar suara Nyonya Hafsah menegurnya supaya segera meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja. Aruna menuruti perintah Nyonya Hafsah. Saat meletakkan cangkir teh ke hadapan Batara, ekspresi laki-laki itu sudah kembali datar. Lesung pipit yang tadi sempat dikaguminya lenyap entah kemana.
“Kamu jangan menertawakanku seperti itu. Aku benar-benar ingin menjadi ratu sehari saja,” ujar Cantika sambil menunjukkan ekspresi cemberut manjanya.
“Nggak perlu mengadakan pesta pernikahan, kamu juga sudah jadi ratu di dalam keluarga besarmu.”
“Kamu itu terlalu kaku. Nggak asyik diajak ngobrol hal beginian. Ya, kan, Aruna?” kemudian Cantika melempar pertanyaan pada Aruna.
“Kenapa jadi bawa-bawa Aruna? Yang mau menikah itu aku dan kamu. Bukan aku dan Aruna.”
Aruna tiba-tiba merasa kerongkongannya kering dan ada yang mengganjal untuk segera dikeluarkan. Sehingga dia terbatuk pelan seolah sedang tersedak sesuatu. Dia pun pamit undur diri dari ruang keluarga.
“Aruna itu belum menikah. Dulu kalau ada kesempatan untuk kuliah, dia pengen kuliah di jurusan pendidikan anak usia dini. Dia pengen jadi guru TK. Sepertinya dia memang pengasuh yang tepat untuk Jingga.”
“Apa hubungannya jurusan kuliah dengan mengasuh anak?” timpal Batara.
“Kelihatannya dia suka anak kecil. Jingga aja kayaknya udah mulai nempel sama dia.”
“Baguslah kalau dia bisa akrab dengan Jingga. Jadi meringankan bebanmu nanti sebagai ibu sambung untuk Jingga,” komentar Batara, pelan, tenang tapi cukup dalam maknanya.
~~~
^vee^