Di dapur Aruna menghampiri Bu Menik sambil bertanya iseng, "Bu Menik bilang Tuan Besar adalah seorang pria yang dingin dan arogan. Tapi aku sama sekali nggak menemukan dua sifat itu dalam diri Tuan Batara,” komentar Aruna. “Beliau juga ramah padaku dan Bu Menik. Apa Bu Menik bermaksud membuatku takut padanya, sampai menceritakan hal-hal yang tidak sebenarnya tentang Tuan Batara?”
Bu Menik menunjukkan ekspresi tidak suka pada ucapan Aruna padanya yang terkesan menuduh dirinya sedang menjelek-jelekkan Batara. “Terkadang dia bisa berubah dari iblis menjadi seorang malaikat saat dia berhadapan dengan sesuatu yang disukainya,” jelas Bu Menik yang membuat Aruna bingung.
“Maksudnya apa?”
“Tidak semua hal di rumah ini harus kamu ketahui. Lebih baik tidak tahu apa-apa daripada terjadi sesuatu yang mengerikan dalam hidupmu suatu hari nanti. Cukup bekerja dengan baik, jujur dan tulus. Maka kamu akan tenang dan nyaman berada di sini. Dan tentunya mendapatkan banyak uang dari hasil kerjamu.”
“Baik, Bu Menik,” jawab Aruna. “Ngomong-ngomong Nyonya, Tuan Muda dan Tuan Besar ruman ini sudah diperkenalkan pada saya. Tapi dari sejak saya datang tadi nggak kelihatan istrinya Tuan Batara," komentar Aruna.
Bu Menik menatap ke dalam bola mata Aruna kemudian berkata, "Istri Tuan Batara meninggal saat melahirkan bayinya," jawab Bu Menik sambil menghirup aroma serta mencicipi teh buatannya.
Aruna berdecak pelan lalu tersenyum getir. “Kata-kata yang Bu Menik ucapkan itu seakan-akan anak yang dilahirkan oleh istri Tuan Batara bukan anak Tuan Batara juga,” ucapnya lalu terkekeh pelan.
“Kenyataannya memang seperti itu,” ujar Bu Menik singkat dan membingungkan. "Cepat bawa ke atas!" perintahnya pada Aruna sembari mengedikkan dagu ke arah nampan berisi set teko serta cangkir teh. Tak ketinggalan sepiring ceper potongan buah-buahan. "Punya kamu di gelas yang itu," kata Bu Menik, sembari menunjuk gelas di dekat rak penyimpanan tanpa berniat menjelaskan sesuatu di balik kata-kata yang baru saja diucapkan wanita itu.
Aruna tak bertanya-tanya lagi meskipun dia masih penasaran pada banyak hal. Dia segera mengangkat nampan tersebut lalu membawanya ke lantai atas, tempat kamar majikannya berada. Dengan hati-hati Aruna melangkah menapaki anak tangga satu persatu. Aruna perlu berhati-hati memang, karena lantai di rumah ini seluruhnya berbahan granite yang licin dan mengkilap.
Saat hendak masuk kamar yang kedua daun pintunya dalam keadaan terbuka, tak sengaja Aruna melihat Batara sedang melepas jas yang membalut tubuh pria itu. Aruna juga tak sengaja mencuri dengar obrolan majikannya dengan seseorang di telepon.
"Bagaimana harimu? Menyenangkan? Atau justru membosankan?" tanya Batara sambil membuka kancing lengan kemejanya.
"Ya, begitulah. Nggak ada hal menarik hari ini karena kamu sama sekali nggak menghubungiku," jawab suara perempuan di telepon dengan malas. Aruna bisa mendengar suara perempuan itu dengan jelas karena Batara mengaktifkan pengeras suara ponselnya dan meletakkan benda pipih tersebut di atas meja kopi.
Saat Batara menoleh ke arah pintu kamar dia melihat kedatangan Aruna. Matanya tak lepas dari melihat lekuk tubuh gadis belia itu. "Sepertinya kamu butuh healing," balas Batara tapi matanya tak lepas dari menatap Aruna.
"Ya, ya, ya. Kamu benar. Sepertinya aku butuh healing. Kapan-kapan kita liburan bareng yuk, Beb. Staycation di private villa salah satunya."
Batara tersenyum pada Aruna. "Nanti ya. Kalau ada waktu aku pasti ajak kamu staycation di private villa bareng Jingga," ujar Batara.
"Aku maunya kita berdua aja, Baby."
"Tapi aku punya anak. Kita sudah sepakat. Kemanapun kita pergi Jingga harus ikut."
"Padahal anak itu bukan anak kandung kamu. Tapi kamu sayang banget sama dia. Bagaimana pada anak kandungmu sendiri nanti, Beb. Jadi nggak sabar punya anak dari kamu,” ujar perempuan di balik panggilan telepon tersebut sembari terkekeh. “Tapi anak itu juga penyebab kita jadi nggak punya waktu berduaan untuk bersenang-senang,” keluhnya lagi.
"Tutup mulutmu, Cantika!” hardik Batara penuh amarah. “Kamu bisa melakukannya kapan saja bersama teman-temanmu. Aku akan mengirimimu uang yang bisa kamu gunakan untuk bersenang-senang dengan teman-temanmu. Katakan saja berapa yang kamu butuhkan!"
"Aku nggak butuh uangmu!” teriak Cantika ikut tersulut emosinya gara-gara ucapan Batara. “Yang aku butuhkan itu kamu, Batara. Apa kamu mulai lupa kalau aku ini tunanganmu?"
"Aku lagi nggak pengen berdebat, Cantika. Sudah dulu ya. Aku mau mandi lalu istirahat."
Obrolan majikannya dengan perempuan bernama Cantika terpaksa didengar oleh Aruna yang sedang berdiri di samping sofa sambil memegang nampan berisi teh pesanan Batara. Namun sepertinya Batara sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Batara lalu meminta Aruna meletakkan nampan di atas meja. Setelah itu Batara membiarkan Aruna meninggalkan kamarnya. Suasana hati laki-laki itu berubah drastis dari saat menyambut Aruna beberapa waktu yang lalu. Sementara Aruna yang tidak paham pada maksud perbincangan itu bergegas keluar sebelum dianggap sengaja menguping pembicaraan orang lain.
~
Pagi ini suasana dapur sibuk seperti biasanya. Bu Menik tampak fokus menyiapkan sarapan untuk para majikannya. Sementara Aruna menyiapkan kopi sebagai pendamping makanan berat dalam setiap menu sarapan di rumah ini.
Ketika Aruna sedang menunggu mesin kopi selesai melakukan tugasnya membuat secangkir kopi, samar-samar ia mendengar alunan musik biola yang perlahan mulai menggema di hampir seluruh penjuru rumah. Aruna sangat menyukai instrumen seperti biola hingga piano sejak kecil. Dia senang mendengar ada yang bermain biola sepagi ini, seolah permainan musik tersebut ditujukan khusus untuknya.
"Itu siapa yang lagi main biola?" tanya Aruna pada Bu Menik yang sedang menyiapkan baki berisi menu sarapan untuk Batara dan Nyonya Hafsah.
“Kamu kan, orang desa. Gimana bisa tahu kalau itu suara biola?”
Aruna tertawa kecil mendengar ucapan Bu Menik tentang dirinya. “Bu Menik, ish… Saya ini cuma berasal dari desa, bukan berasal dari peradaban meganthropus electus,” ujarnya sembari terkekeh. “Lagian meski tinggal di desa, bukan berarti saya nggak tahu apa-apa.”
"Biji wijen!" ujar Bu Menik, bukannya merespon ucapan Aruna.
Aruna meraih botol berisi biji wijen lalu menaburkannya secara perlahan di atas piring berisi makanan yang akan disantap oleh majikannya. Alunan dawai biola terus menggema di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Membuat suasana hati Aruna berada di titik paling baik. Dia tersenyum lebar mendengarnya.
Bu Menik heran melihat ekspresi wajah Aruna seperti orang yang baru saja memenangkan lotre. "Tunggu apa lagi? Bawa nampan ini keluar!" perintah Bu Menik karena Aruna malah bengong dengan tatapan menerawang.
Aruna tersadar lalu segera bergerak meraih nampan besar berisi menu sarapan untuk majikannya. "Sarapan ini untuk siapa? Lalu harus saya bawa ke mana?" tanya Aruna bingung.
"Ini sarapan untuk Tuan Batara. Kamu ikuti saja asal suara biola itu," jawab Bu Menik malas.
Dengan sedikit langkah tergesa dia membawa nampan besar tersebut keluar dapur. Bu Menik sampai menasehati gadis itu supaya hati-hati pada langkahnya. Sesampainya di ruang keluarga Aruna kebingungan mencari asal suara dawai biola yang terus mengalun menggema di dalam rumah besar ini. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menajamkan telinganya, Aruna menebak suara biola itu berasal dari sebuah ruangan yang berada di bawah tangga utama. Menuruti instingnya Aruna berjalan hati-hati menuju ruangan tersebut. Dia tersenyum senang karena tebakannya benar. Di dalam ruangan itu dia melihat Batara sedang bermain biola dengan khusyuk sampai memejamkan kedua matanya. Pakaiannya sudah rapi hendak berangkat ke kantor.
"Pagi, Tuan," sapa Aruna saat memasuki ruangan.
Batara membuka kedua matanya lalu menoleh ke arah pintu tanpa menghentikan permainan biolanya. Ia menunduk dengan senyum tipis seolah sedang membalas sapaan Aruna. Sambil terus bermain biola pandangannya tak putus menatap penampilan Aruna yang pagi ini memakai seragam asisten rumah tangga serba hitam dan celemek putih yang melingkar di pinggang. Dilihatnya Aruna yang meletakkan nampan berisi sarapan untuknya dengan hati-hati. Ada sesuatu di dalam diri Aruna yang menarik perhatian Batara sejak pertama kali melihat gadis itu.
Diam-diam Aruna mencuri pandang pada majikannya yang tengah memainkan biola. Sambil memindahkan piring dan cangkir dari nampan ke atas meja, pandangan Aruna hampir tak putus dari memandangi Batara yang kini sudah kembali fokus pada biolanya. Ada rasa kagum yang tumbuh dalam diri Aruna pada duda satu anak itu. Namun dia sadar tidak boleh membiarkan rasa kagum itu tumbuh subur menjadi rasa yang lain. Setelah menyelesaikan tugasnya Aruna keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati khawatir mengganggu konsentrasi majikannya.
Saat berada di depan pintu ruang musik yang tengah tertutup rapat Aruna memeluk nampan yang telah kosong sambil tersenyum lebar. Entah apa yang kini tengah ia bayangkan sampai-sampai harus tersenyum tersipu seperti itu.
~~~
^vee^