3. Perkenalan dengan Tuan Besar

1130 Words
Saat makan malam Aruna membantu Bu Menik menghidangkan makanan yang telah mereka masak bersama tadi di meja makan. Di ruang makan sudah ada Nyonya Hafsah dan Jingga yang sedang duduk menunggu sajian makan malam untuk mereka berdua. "Kamu suka pembantu barunya, Sayang?" tanya Nyonya Hafsah pada cucu laki-lakinya. Jingga mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Dia yang kelihatan suka banget sama aku, Oma," jawabnya dengan memasang wajah pura-pura angkuh. Aruna yang tiba di ruang makan sambil mendorong troli berisi sajian makan malam untuk kedua majikannya sampai menahan senyum mendengar omongan Jingga yang menurutnya begitu lucu itu. "Dari mana kamu tahu? Memangnya dia bilang langsung sama kamu?" tanya Nyonya Hafsah penasaran. "Nggak juga, sih, Oma." "Trus kamu tahu dari mana, Jingga?" Jingga menoleh pada Aruna yang kini sudah berdiri di sampingnya sambil meletakkan mangkuk sup asparagus kesukaan Jingga. "Aku bisa lihat dari caranya menatapku, Oma," jawab Jingga jujur. Aruna merasa tersanjung dan dipuji oleh Jingga . Dia semakin menyukai pemuda kecil yang menurutnya memiliki attitude sangat baik dibanding anak laki-laki seumurannya. Dan tentunya memiliki hati yang baik dan jujur. Setelah selesai makan malam Aruna dan Bu Menik membereskan meja makan. Membawa kembali mangkuk serta piring-piring besar berisi sajian makan malam yang hanya disentuh sedikit oleh kedua majikannya. Di dapur Aruna menikmati selada romaine yang menurutnya sangat enak dan tidak pernah dia jumpai sebelumnya. Kata Bu Menik semua bahan makanan yang ada di rumah ini adalah barang-barang berkualitas tinggi. Tentunya juga dengan harga yang tidak ramah bagi kantong masyarakat menengah ke bawah seperti Aruna. "Ini semua akan dibuang. Sebaiknya kita nikmati dulu sampai puas," ujar Bu Menik menunjuk semua makanan yang kini sudah berpindah tempat di atas meja dapur. "Kalau memang begitu, saya nggak akan menolak," jawab Aruna sambil mengambil sebuah oyster yang terkenal karena harganya yang sangat fantastis untuk ukuran orang-orang rendahan seperti Aruna. Aruna mencoba kerang tersebut setelah melihat cara Bu Menik menikmati seafood tersebut. Setelah melihat ekspresi Bu Menik yang menunjukkan kenikmatan rasa dari makanan tersebut barulah Aruna berani ikut mencoba makan. Dan benar saja kedua mata Aruna berbinar sambil mengunyah oyster yang sudah berpindah ke mulutnya itu. Sebelum tidur malam seperti biasa Aruna akan mencuci muka dan menggosok giginya di kamar mandi. Saat Aruna dan Bu Menik sedang menggosok gigi, terdengar suara klakson mobil dari arah pintu gerbang. "Dia datang juga akhirnya," ujar Nyonya segera mengakhiri acara menggosok giginya. "Siapa?" tanya Aruna bingung. "Tuan Batara itu. Cepat bersiap, Aruna! Pakai kembali seragammu! Saya akan memperkenalkanmu padanya sekaligus melayani kebutuhannya," ujar Bu Menik tergesa, membuat Aruna jadi kalang kabut dibuatnya. Bu Menik bergegas mengenakan seragamnya begitu juga dengan Aruna. Setelah semua beres mereka bergegas turun ke bawah untuk menyambut kedatangan tuan rumah yang sebenarnya di rumah ini. Di pintu rumah tidak hanya Bu Menik dan Aruna saja yang menyambut kedatangan tuan rumah, tetapi juga Jingga melakukannya bersama mereka. Aruna melambaikan tangan ke arah Jingga, akan tetapi pemuda kecil itu tidak membalas malah justru melengos. Aruna tidak tersinggung apalagi marah dengan sikap dingin anak asuhnya itu. Seorang pria bertubuh atletis dengan tinggi 185 cm dan wajah tampan rupawan khas pria asia timur muncul dari balik pintu rumah yang telah terbuka lebar. Jingga segera berlari ke pelukan sang ayah begitu melihat kemunculan pria tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh Jingga, pria itu membalas pelukan anak laki-lakinya tak kalah hangat. "Dia orang yang Tuan minta untuk saya temukan keberadaannya," ujar Bu Menik sedang memperkenalkan Aruna pada majikannya. Batara tampak menghela napas penuh kelegaan saat menatap Aruna. Sebuah senyum penuh arti muncul di wajah Batara saat Aruna memperkenalkan dirinya dengan kepala tertunduk. "Perkenalkan nama saya Aruna, Tuan," ujarnya sopan. Batara mengangguk paham kemudian melanjutkan langkah memasuki rumah lebih dalam sembari menggendong Jingga. “Mulai sekarang Aruna akan bekerja di rumah ini sebagai pembantu rumah tangga, Tuan,” jelas Bu Menik sesampainya di ruang keluarga. “Saya tidak pernah meminta kamu menjadikannya seorang pembantu, bukan?” ujar Batara dingin. Ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan keramahan pada Bu Menik. "Dia juga yang akan menjadi pengasuh untuk Tuan Muda. Nyonya Hafsah yang memintanya untuk melakukan pekerjaan rumah yang lain selain mengasuh Tuan Muda." "Dad, benarkah dia yang akan merawatku? Apa dia akan lebih baik dari Oma dalam merawatku?" tanya Jingga dalam gendongan Batara. "Ah, ya. Aruna itu masih muda. Lihatlah, tubuhnya kecil dan umurnya baru 20 tahun. Memangnya dia tidak bersekolah? Kenapa malah menjadi pengasuhku?" Jingga terus berceloteh dalam gendongan Batara, membuat ayahnya itu sampai menoleh untuk melihat kembali sosok Aruna yang terus dibicarakan oleh anak laki-lakinya itu. “Apa kamu sungguh sudah tahu tentang dia sampai sejauh itu? Kamu tertarik padanya, Boy?” goda Batara dengan senyum tertahan. Pertanyaan Batara yang ditujukan pada Jingga sontak membuat pipi Aruna menghangat hingga membuat gadis itu tertunduk malu. Bu Menik yang melihat adegan itu menyikut pangkal lengan Aruna agar menghentikan aksi yang menurutnya tidak sopan. “Aku tidak mencari tahu, Dad. Dia sendiri yang menceritakannya padaku. Sepertinya dia yang tertarik padaku,” balas Jingga. “Kamu tampan. Gadis manapun pasti akan mudah tertarik padamu, Boy.” “Namaku Jingga Permana, Dad. Stop panggil aku dengan sebutan itu,” ujar Jingga kesal. “Tapi Dad suka memanggilmu dengan nama itu.” “Terserah Dad sajalah,” jawab Jingga malas. “For your information, aku tidak menyukai perempuan yang jauh lebih tua dariku. Dia lebih pantas untukmu, Dad.” “Oh, ya? Menurutmu begitu?” Jingga mengangguk cepat lalu menyeringai sembari menunjukkan gigi susunya yang putih dan tersusun rapi. Batara hanya menggeleng takjub pada kata-kata yang menurutnya tak patut diucapkan oleh anak seumuran Jingga, lalu mengacak puncak kepala Jingga yang masih berada di gendongannya. Aruna kembali tersenyum tersipu melihat interaksi kedua laki-laki beda usia di hadapannya ini. Sekali lagi Bu Menik memberinya peringatan supaya tidak bersikap seperti itu. Aruna buru-buru menghapus senyum jenis itu di wajahnya. Mereka berdua mengikuti langkah Batara Aruna ke ruang keluarga dengan wajah serius. Sesampainya di ruang keluarga Bu Menik meminta Aruna berhenti melangkah di jarak lima meter dari sofa yang diduduki oleh Batara dan Jingga. "Kenapa berdiri di sana? Kemarilah, duduk di sini!" ujar Batara pada Aruna sembari menunjuk salah satu sofa kosong. Aruna tidak bergerak. Dia mengira Batara sedang berbicara pada Bu Menik. Beberapa detik kemudian dia mendapat kode dari Bu Menik supaya menuruti perintah Batara. Masih dengan wajah bingung Aruna bergerak ke arah sofa yang tadi ditunjuk oleh majikannya itu. Batara terus menatap Aruna. Dari tatapan menilai karakter seseorang hingga tatapan penuh minat. Sementara itu Aruna terus menunduk ketakutan karena ditatap secara intens oleh majikan laki-lakinya. Jemarinya gemetaran karena dia merasa khawatir telah membuat kesalahan sampai harus dipanggil seperti ini. Tak lama kemudian Batara tersenyum dan tertawa kecil sembari menepuk pundak Jingga . "Jingga, sampaikan pada Oma kalau Dad sudah pulang," ujar Batara pada Jingga, tapi tatapannya tidak lepas dari Aruna. "Oke, Dad!" ujar Jingga lalu bangkit berdiri dari sofa yang didudukinya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD