Beberapa menit kemudian Batara terbangun. Dia mendapati Aruna sedang tertidur di sampingnya. Dia tersenyum menatap wajah ayu dan menenangkan Aruna ketika terlelap. Perlahan dia membelai pipi Aruna dan menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang jatuh di atas pipinya. Aruna sama sekali tidak terganggu oleh sentuhan Batara. Tak ingin mengganggu Aruna yang sedang tertidur Batara memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari sisa percintaannya dengan Aruna.
Saat keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian Batara mendapati posisi tubuh Aruna sudah berubah. Gadis itu berbalik badan membelakangi kamar tidur Batara yang selama ini tidak pernah dimasuki oleh siapapun tanpa seizinnya. Batara tersenyum melihat punggung terbuka Aruna karena tidak tertutup oleh selimut. Namun senyum itu sirna ketika Batara melihat ada noda merah di atas ranjangnya.
“Darah apa itu?” tanya Batara pada dirinya sendiri. Wajahnya tampak kebingungan sendiri saat berjalan ke arah ranjang.
Batara duduk di pinggiran ranjang sembari mengangkat selimut yang berada dekat noda darah. Perbuatannya itu membuat Aruna berbalik badan dan terkejut saat mereka beradu tatap.
“Tuan Batara? Apa saya tertidur di tempat tidur ini?” tanya Aruna menarik selimut guna menutupi tubuhnya yang kini dalam kondisi tanpa sehelai benangpun.
Batara mengangguk pelan. Dia mengulurkan tangan untuk membelai wajah Aruna yang tampak ketakutan. “Apa ini pertama kalinya untukmu?” tanya Batara.
“Apanya, Tuan?” tanya Aruna bingung.
“Apa kamu tidak pernah melakukan hal seperti yang kita lakukan tadi dengan laki-laki lain sebelum saya?”
Aruna mengangguk cepat. “Iya, saya tidak pernah melakukannya dengan siapapun. Meski saya pernah pacaran, tapi saya tidak mengizinkan pacar saya menyentuh area intim saya,” jelas Aruna takut-takut.
“Kenapa kamu tidak bilang, Aruna?” Wajah Batara tiba-tiba mengetat seperti menahan sebuah emosi.
“Saya sudah mencoba mengatakannya tadi. Tapi Tuan Batara tidak menghiraukan.”
“Oh, Gosh! Harusnya kamu lebih kuat lagi menahan saya dan memberitahukan kondisimu yang masih perawan.”
“Maafkan saya, Tuan. Harusnya saya melakukan itu,” ujar Aruna dan air matanya pun tidak terbendung lagi. Dia menangis tersedu sembari memeluk selimut. Ada penyesalan besar dalam dirinya yang membuatnya tak henti merutuki kebodohannya sendiri.
Batara tidak pernah sanggup melihat seorang perempuan menangis. Apalagi dia yang menjadi penyebab seseorang menjatuhkan air matanya. Batara menarik Aruna ke dalam pelukannya. Dia membelai rambut panjang Aruna dengan penuh kelembutan.
“Saya juga salah karena telah membuatmu menyerahkan mahkotamu pada pria b***t seperti saya. Bisakah kamu berhenti menangis dulu? Saya tidak bisa berpikir melihat kamu menangis seperti ini,” pinta Batara dengan penuh kelembutan.
Aruna mengangguk pelan. Dia menarik diri dari pelukan Batara. Dia membersihkan air mata yang sudah terlanjur membasahi pipinya dengan kedua punggung tangannya.
“Apa kamu mau berjanji untuk tutup mulut atas apa yang telah kita lewati hari ini?” tanya Batara.
“Ya, Tuan. Saya janji asal Tuan juga mau berjanji sesuatu.”
“Apa?”
“Tuan tidak memecat saya dan mengusir saya dari rumah ini. Saya masih ingin terus bekerja di sini dan menjadi pengasuh untuk Jingga. Saya janji setelah ini akan menjaga jarak dari Tuan. Maaf karena saya telah melewati batas.”
“Cukup, Aruna! Dalam hal ini bukan hanya kamu saja yang salah. Saya bahkan lebih bersalah. Jadi kamu tidak perlu menjaga jarak dari saya. Bersikaplah sewajarnya seperti tidak terjadi sesuatu di antara kita. Kamu bisa, kan?”
Aruna mengangguk polos. Batara tersenyum lega melihat Aruna bisa diajak kompromi seperti ini. Dia akan memikirkan kelanjutannya nanti. Sekarang yang mesti dilakukan adalah membereskan kekacauan di kamarnya sebelum siapapun datang ke rumah.
“Apa saya tadi menyakitimu?” tanya Batara.
“Awalnya iya. Tapi lama kelamaan tidak, Tuan,” jawab Aruna dengan wajah tersipu..
“Bisakah mulai sekarang jangan panggil saya dengan sebutan Tuan? Dan bisakah kita berbicara lebih santai?”
“Saya tidak berani. Nanti Bu Menik dan Nyonya Hafsah akan menghukum saya karena menganggap telah bersikap kurang ajar,” ujar Aruna sembari menunjukkan ekspresi kekanakan.
Batara tertawa lepas. Membuat lesung pipit yang tersembunyi di balik pipinya terlihat jelas. “Kamu itu lucu juga ya,” kata Batara lalu mencubit pelan pipi Aruna. “Ya, maksudku itu jangan di depan orang banyak. Kalau kita hanya berduaan aja.”
“Tuan bisa aja,” balas Aruna lalu menunduk malu.
Aruna tidak menyangka kalau jalan hidup mengantarnya ke ranjang hangat milik ayah dari anak yang tanpa sengaja telah diselamatkan olehnya. Sekarang ia merasa seperti wanita yang tidak memiliki harga diri karena mau-mau saja digoda oleh majikannya yang memiliki anak bahkan akan menikah lagi untuk kedua kalinya. Namun menyesalpun kini sudah tiada arti. Semua sudah terlanjur terjadi atas kesadarannya sendiri. Menangis pun tak ada arti.
“Ngomong-ngomong kamu bisa bangun dari tempat tidur, Aruna? Noda merah itu perlu dibereskan supaya tidak ditemukan oleh siapapun.” Pertanyaan itu mengejutkan Aruna yang sedang melamun.
“Bisa, Tuan. Biar saya aja yang membereskan kamar, Tuan.”
“Cukup Batara aja, oke!”
“Tapi tetep aja nggak sopan. Tuan Batara jauh lebih dewasa usianya daripada saya.”
“Nggak masalah. Mulai sekarang kalau kita hanya berduaan aja, panggil aku Batara dan kita akan bicara lebih santai.”
“Baiklah kalau kamu memaksaku, Batara.”
Batara kembali tertawa lepas. “Kamu cepat belajar ternyata ya. Aku suka itu,” ujar Batara lalu menepuk pelan puncak kepala Aruna sebelum turun dari ranjang.
Jantung Aruna berdebar cepat mendapat perlakuan semanis itu dari Batara. “Sekarang aku akan membersihkan seluruh badanku lebih dulu sebelum membersihkan kamar ini. Tapi bolehkah aku menggunakan kamar mandi di kamar ini aja?” tanya Aruna menyingkirkan apa pun pikiran konyol yang berseliweran di otaknya.
“Tentu boleh. Apa mau sekalian dimandiin?” goda Batara.
Aruna menggeleng cepat. Dia meringis membayangkan hal yang baru saja disarankan oleh Batara. Ketika hendak turun dari ranjang Aruna memekik pelan karena tiba-tiba merasakan rasa nyeri di sekitar s**********n hingga pahanya.
“Ada apa?” tanya Batara sambil berjalan tergesa mendekati ranjang.
“Nggak tahu. Tapi terasa nyeri di bagian kewanitaanku kalau dibuat bergerak,” ujar Aruna sambil menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri.
Batara mengangguk paham. Dia lalu mengambil posisi tepat di samping tubuh Aruna. Badannya membungkuk hendak menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh gadis itu. Namun Aruna menolak dengan halus.
“Kamu mau ngapain?” tanya Aruna bingung.
“Katanya nyeri. Dari pada kamu kesakitan jalan ke kamar mandi mending aku gendong aja. Tapi selimutnya pinggirin dulu ya,” jelas Batara.
“Hah? Tapi aku nggak pakai apa-apa sekarang,” tolak Aruna.
“Aku sudah melihat semuanya. Ayo, disingkirkan dulu selimutnya biar aku lebih mudah gendong kamu,” ujar Batara penuh pengertian.
“Tapi kamu tutup mata ya.”
“Ya, nabrak-nabrak nanti yang ada.”
“Kalau gitu aku aja yang tutup mata kamu. Nanti dikasih sedikit celah biar nggak nabrak-nabrak.”
Tak mau membuang waktu lebih lama lagi Batara mengangkat tubuh Aruna dan menggendongnya ala bridal style menuju kamar mandi. Aruna melingkarkan kedua tangannya di batang leher Batara. Seperti yang dikatakannya tadi, salah satu tangannya ia gunakan untuk menutup kedua mata Batara dengan sedikit celah agar Batara tidak salah langkah.
Sesampainya di kamar mandi Batara meletakkan tubuh Aruna di dalam bathtub yang terisi air hangat dan juga sabun beraroma maskulin kesukaan Batara yang memang disiapkan untuk dirinya dan Aruna berendam. Lalu tiba-tiba saja Aruna kembali meringis seperti orang kesakitan.
“Sakit banget ya?” tanya Batara sambil duduk di pinggiran bathtub.
Aruna mengangguk malu-malu. Rasa nyeri yang dirasakan tadi memang semakin menyiksa saat pusat tubuhnya menyentuh air dan tanpa ragu ia tahu kalau mulai detik ini sudah tidak bisa disebut perawan lagi. Mungkin ada luka lecet di kulit bagian kewanitaannya dan terasa perih ketika terkena air.
“Maaf ya, kalau aku menyakiti kamu. Sakit itu terasa karena kamu baru pertama kali melakukan hubungan seksual. Ke depannya tidak akan terasa sakit lagi. Tapi justru nikmat dan bikin kamu ketagihan,” jelas Batara sambil menyentuh dagu Aruna.
“Kamu bisa saja,” jawab Aruna tersipu malu. “Tapi aku takut, Batara.”
Sebenarnya ada rasa cemas dan gelisah lebih besar yang menghantui pikiran Batara saat ini. Batara tidak menyangka kalau perempuan yang baru saja ditidurinya masih perawan. Hal itu sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya. Dia merasa harus bertanggung jawab karena telah merusak masa depan seorang gadis. Namun apa yang bisa ia lakukan sekarang? Semuanya tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu singkat, sementara dalam waktu beberapa minggu ke depan pernikahannya dengan Cantika akan berlangsung. Sial! Ini gara-gara dia sendiri yang tak bisa menahan hasratnya. Dia benar-benar telah tergoda penyelamat anaknya. Namun dia berusaha tampil tenang di hadapan Aruna demi tidak membuat gadis itu terus merasa bersalah karena kesalahan yang mereka buat bersama-sama dan penuh kesadaran juga tentunya.
“Sssh… udah nggak ada yang perlu ditakutkan selama kamu ada di dekatku,” ujar Batara kemudian melepas handuk yang melilit pinggangnya dan ikut bergabung bersama Aruna di dalam bathtub. Hatinya merasa resah dan berharap dengan berendam sambil memeluk Aruna bisa menemukan ketenangan.
Demi Tuhan, baru kali ini Batara merasakan sebuah penyesalan yang begitu dalam setelah meniduri perempuan. Sebejat-bejatnya Batara, dia tidak pernah meniduri seorang perawan. Selama ini dia hanya pernah berhubungan intim dengan perempuan yang pernah tidur dengan laki-laki selain dirinya, bahkan termasuk Cantika yang sudah tidak perawan ketika mereka berhubungan seksual untuk pertama kalinya.
~~~
^vee^