Satu jam telah berlalu sejak kepergian Jingga berangkat ke sekolah dengan sopir pribadinya. Namun Batara belum menunjukkan tanda-tanda memanggil Aruna minta dipijat seperti permintaannya pagi tadi. Awalnya Aruna gelisah menunggu sembari membayangkan bagaimana cara yang benar memijat Batara tanpa menunjukkan kalau dia sedang grogi. Waktu terus berlalu, lama kelamaan Aruna mulai santai dan merasa tidak perlu ada yang dipikirkan. Ia pun memilih melanjutkan membersihkan perabotan-perabotan yang berada di sekitar tangga menuju kamar Batara. Melupakan permintaan pijat yang diungkapkan Batara pagi-pagi tadi.
Menjelang pukul sepuluh pagi terdengar suara derap langkah menuruni tangga secara perlahan tapi pasti. Hal tersebut membuat Aruna refleks menoleh ke arah tangga. Ia mendapati Batara yang tampak setingkat lebih segar dari pagi tadi saat menemui Aruna di dapur. Aroma sampo dan sabun yang mulai Aruna hapal wanginya menguar di hampir seluruh ruangan yang dekat dengan arah tangga.
“Aruna?” Suara dalam Batara terdengar sebelum benar-benar turun dari tangga.
Mendengar namanya dipanggil, Aruna bergegas menghadap kepada tuan besarnya. Ia meninggalkan aktivitasnya sedang merapikan ruang penyimpanan di bawah tangga. “Ya, Tuan? Anda membutuhkan apa?” tanya Aruna sopan.
“Bisa mulai pijat saya sekarang?” tanya Batara dengan tutur kata yang terlampau lembut saat berbicara dengan sosok perempuan yang tidak memiliki ikatan apa pun dengannya.
“Bisa, Tuan. Saya cuci tangan sekaligus ganti seragam karena seragam yang ini kotor, Tuan.”
“Oke. Kalau gitu saya tunggu di kamar saja ya.”
“Jadi di kamar Tuan Batara?” tanya Aruna berusaha meyakinkan dirinya kalau tidak salah dengan yang didengarnya pagi tadi. “Bukankah tidak boleh ada siapapun yang boleh memasuki kamar itu tanpa seizin Tuan Batara?”
“Saya yang mengajak itu berarti saya telah memberi izin.” Batara balik badan lalu kembali menaiki tangga, kembali ke kamarnya lagi.
“Tuan tidak mau sarapan dulu?” tanya Aruna.
Batara hanya mengibaskan tangannya tanpa berbalik badan apalagi menghentikan langkahnya menaiki tangga, sebagai tanda ia menolak tawaran sarapan yang diberikan oleh Aruna.
Aruna segera kembali ke kamarnya untuk membersihkan badann yang dipenuhi keringat dan debu. Sebelum berangkat tadi pagi Bu Menik menugaskannya untuk membersihkan ruang penyimpanan yang terletak di bawah tangga. Seorang diri tanpa bantuan siapapun. Aruna menggosok rambut dan tubuhnya menggunakan sabun yang dipesannya lewat Ranti. Sabun yang sangat diidam-idamkannya dari sejak pertama kali menginjakkan kaki di ibukota.
Setelah bersih Aruna hanya mengenakan deodoran untuk menghindari bau ketiak sebelum menggunakan seragamnya. Sementara parfum ia merasa belum perlu karena aroma sabun dirasa cukup untuk membuatnya wangi selama memijat majikannya itu. Selain khawatir majikannya kurang suka dengan aroma parfum miliknya yang beraroma khas wanita, ia juga takut Batara salah paham disangka ingin menggoda majikannya.
Aruna mendorong pintu kamar Batara yang tidak terkunci hingga terbuka. Lampu kamar tidak ada satupun yang dinyalakan. Cahaya matahari mengalir masuk melalui jendela yang terbuka, seberkas sinarnya menyebar menerangi tempat tidur di tengah kamar. Setelah berada di dalam kamar Aruna berinisiatif menutup pintu kamar Batara hingga rapat tapi tanpa menguncinya.
Batara berbaring telentang di tempat tidur, hanya mengenakan boxer tanpa selimut, kaos, kimono atau apa pun itu untuk menutupi tubuhnya. Meski kedua mata tertutup, tapi pria itu tidak tertidur. Dan Aruna tahu itu. Aruna mendengar deru napas cepat yang mengisyaratkan kalau Batara masih terjaga, tak peduli seberapa besar usaha Batara untuk membuat dirinya terlihat seperti orang tertidur lalu mengejutkan Aruna.
Aruna meletakkan botol minyak zaitun yang biasa dia gunakan untuk memijat tangan dan kakinya sendiri ketika merasa pegal dan otot kaku, di atas meja terdekat lalu melanjutkan langkah menuju tempat tidur. Batara terbaring seperti seorang pangeran dalam film fantasy kerajaan yang pernah Aruna tonton semasa kecilnya. Sebelum membangunkan Batara, Aruna ingin menatap wajah majikannya itu sepuasnya. Bentuk wajahnya terpahat sempurna. Sampai-sampai Aruna berpikir mungkin dewa sedang tersenyum saat menciptakan Batara selama berada di dalam kandungan ibunya.
Setelah puas memandangi wajah tampan Batara, barulah Aruna berdeham kemudian menyentuh bahu majikannya itu perlahan. “Tuan? Jadi dipijat?” tanya Aruna sambil menepuk pelan bahu Batara.
Mata Batara terbuka. Ia memandang Aruna tanpa ada kesan baru terjaga dari tidur di matanya. “Tentu saja. Posisi saya harus bagaimana?” tanyanya sambil menegakkan badannya.
“Dimulai dari punggung saja,,” ujar Aruna sopan.
“Baiklah. Kamu duduk sini. Tidak mungkin memijat sambil berdiri seperti itu bukan?” ujar Batara sambil menepuk ruang kosong di samping pinggangnya.
Wajah Aruna menghangat dan dia berdeham untuk melegakan napasnya yang tiba-tiba tercekat di tenggorokan. “Tapi lebih baik berdiri saja, Tuan,” jawab Aruna sungkan.
“Anggap saja ini perintah, Aruna.”
“Baik, Tuan,” jawab Aruna lalu duduk di samping Batara.
Seragam asisten rumah tangga yang dikenakan Aruna terkesan monoton, tapi ini kali pertama Batara melihat seorang perempuan bisa tampak menggoda hanya dengan mengenakan baju formal seperti itu.
Batara tersenyum penuh arti saat memergoki Aruna sedang memandangi dadanya yang telanjang, lalu turun ke perut dan berakhir celana boxer ketat yang menggantung rendah di pinggulnya.
“Tuan Batara bisa tengkurap sekarang,” ujar Aruna memerintah Batara tapi tetap tidak meninggalkan kesan sopan.
Batara mengangguk lalu menuruti ucapan Aruna. Setelah Batara telungkup Aruna mulai mengolesi tubuh Batara dengan minyak yang dibawanya tadi. Pijatan Aruna dimulai dengan sentuhan-sentuhan lembut lalu perlahan sentuhan lembut tersebut berubah menjadi tekanan yang terus meningkat kekuatannya seiring tangannya bergerak di atas punggung lebar milik Batara.
“Gimana, Tuan? Apa sudah lebih nyaman badannya?” tanya Aruna sambil memijat bagian betis Batara.
“Iya, lumayan. Kamu jago mijat juga ya. Belajar atau bisa sendiri secara otodidak?” tanya Batara.
“Ibu saya seorang tukang pijat desa. Saya belajar dari beliau.”
“Apa kamu pernah memijat seperti ibu kamu sebelumnya?”
“Belum pernah, Tuan. Ibu saya tidak mengizinkan saya melakukan hal itu. Saya disuruh main-main sepuasnya tanpa perlu memikirkan pekerjaan dan fokus sekolah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ibu saya. Tapi nyatanya pandemi telah…”
Aruna membekap mulutnya sendiri dan memejamkan mata dengan paksa. Setiap kali mengingat momen ia harus kehilangan seluruh keluarganya air mata pasti dengan mudahnya mengalir turun di pipinya.
“Menghancurkan…” suaranya terhenti akibat isakan. “Impian ibu saya itu,” ujar Aruna akhirnya bisa menyelesaikan kalimatnya itu.
Aruna mencoba untuk menghapus air matanya. Batara berbalik dan menegakkan tubuhnya. Ia menarik tubuh mungil Aruna ke dalam dekapan hangatnya. Batara membawa Aruna berbaring di atas tempat tidur dan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. Tidak ada hal apa pun yang dipikirkan Batara saat ini. Yang terlintas di pikirannya hanyalah ingin memberikan ketenangan dengan cara apa pun pada Aruna yang sedang bersedih mengenang kepergian orang terkasih. Dia tahu bagaimana rasa sedih dan sakitnya ditinggal selama-lamanya oleh orang terkasih secara mendadak dan tanpa pamit seperti yang dialami oleh Aruna. Rasanya begitu sakit, perih tapi tak berdarah. Terlebih ketika orang tersebut meregang nyawa tepat di depan mata bahkan dalam dekapan kita yang masih diberikan usia lebih panjang hingga saat ini.
~~~
^vee^