Dokter Tampan

1072 Words
Di sebuah ruangan besar yang serba putih kini tengah berdiri tegap tubuh tinggi dengan bahu lebarnya menghadap ke arah luar jendela kaca besar di ruangan itu. Melihat indahnya mentari sore yang sebentar lagi akan tenggelam dengan tangan kanan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Setelan jas dan celana hitam dengan kemeja putih yang serba lengan panjang sangat mendukung penampilannya. Seperti biasa rambutnya di tata rapi menyamping namun kali ini ia bertambah manis dengan kaca mata bulat yang dikenakannya. "Ternyata dia tidak menghubungi ku sampai sekarang! Aku sengaja menghilang pun belum tentu akan di cari." Gumamnya yang masih fokus menatap ke sana entah ke arah mana dia memandang tapi yang jelas pikirannya kini tengah tertuju pada seorang mahasiswi semester akhir yang baru saja dikenalnya itu. Suara ketukan pintu pun terdengar yang langsung menyadarkan dari lamunannya. "Permisi pak, ini dokumen yang harus pak dokter tanda tangani silahkan di cek dulu!" ucap seorang wanita dengan setelan baju kantornya yang rapi, rambut panjangnya seperti biasa ia sanggul dengan cantik dan berikan tambahan aksesoris bunga mawar. Wanita yang bisa di bilang sangat cantik dengan bentuk tubuh yang sempurna di hadapan lawan jenisnya tapi tak pernah sedikit pun berhasil menarik perhatian lelaki manis itu. "Letakkan saja di atas meja!" ucap pria itu dingin namun dengan nada yang lembut tanpa menoleh arah sumber suara. Dengan wajah kecewa wanita yang seumuran dengannya itu berjalan mendekati meja yang dimaksud pimpinannya itu dan hembusan nafas kasarnya terdengar samar-samar ditelinga Imam. "Dia selalu saja seperti itu pada ku, memangnya kurang apa sih aku sampai-sampai ia seperti tak pernah melihat keberadaan ku di sini. Hanya dia lelaki yang tak tertarik pada ku di rumah sakit ini. Apa sesusah itu menaklukkan hati seorang direktur muda rumah sakit ini." Gerutu wanita itu dengan rasa kesal di hatinya. Ia meninggalkan ruangan serba putih itu dengan rasa kecewanya lagi dan lagi. Raden Imam Hussain dokter yang sangat muda dan memegang jabatan tertinggi di rumah sakit swasta terbesar di kota kecil itu. Di usianya yang baru menginjak 22 tahun ia sudah menjabat sebagai seorang direktur rumah sakit tersebut. Tentu Mataram masih bisa di bilang kota kecil karena tak sepadat dan seluas kota Jakarta tempat kelahirannya. "Apa aku harus menghubunginya sekarang?" Imam kembali bermonolog dengan dirinya sendiri. "Ah biarkan saja dulu. Sebaiknya aku menelpon Anisya atau Yusuf saja." Pria itu pun menjawab pertanyaannya sendiri. Imam pun berjalan ke arah meja kerjanya melirik sekilas ke arah dokumen yang tadi di serahkan oleh sekertaris itu, lalu mengambil ponsel yang ada di dalam laci miliknya. Dengan sentuhan lembut ia mengusap layar ponsel tersebut dan menghubungi salah satu kontak di sana. "Assalamualaikum Cup, kamu lagi di mana?" ucapnya ketika sambungan telepon terhubung. "Wa'alaikum salam, biasa Mam di kampus, baru selesai Konsul. Kenapa tumben nelpon jam segini?" tanya Yusuf diseberang sana. "Oh tidak ada. Apa ayu bersama kalian?" tanya Imam lagi, tentu Imam akan menyebut kalian karena di mana ada Yusuf pasti ada Anisya juga di sana. Dua sejoli itu memang tidak bisa terpisahkan kecuali kalau mereka sudah kembali pulang ke rumah masing-masing setelah selesai dengan kegiatan mereka di luar. "Nah dia gak ke kampus hari ni Mam, mungkin besok dia datang. Tumben nanyain Ayu lagi ke aku, kan kamu bisa langsung hubungi dia." Ujar Yusup. "Ah ya aku belum sempat menghubunginya dua hari ini. Apa dia tidak menanyakan keberadaan ku?" Imam penasaran apa Ayu akan menanyakan dia kepada dua orang itu. "Tidak Mam." Jawab Yusuf singkat. "Oh ya sudah terimakasih ya. Kalau begitu aku tutup dulu telpon. Assalamualaikum." Imam pun berpamitan dan memutuskan sambungan telpon singkat itu. Kini ia kembali dengan pikirannya, meraih kursi kebesarannya dan duduk bersandar di sana. Jari jemarinya ia mainkan dengan mengetukkan satu persatu jarinya secara bergantian di atas sandaran tangan kursi tersebut. "Ternyata ia juga tidak menanyakan keberadaan di Yusuf maupun Anisya." Gumamnya. Untuk beberapa detik berlalu ia masih sibuk memikirkan gadisnya itu lalu dengan cepat ia merubah posisi bersantainya dan meraih dokumen di atas meja yang ada di hadapannya. Membuka dan membaca lembar demi lembar barisan tulisan di sana. Dua hari lagi ia akan kembali ke Jakarta, pekerjaannya di sini sebentar lagi akan selesai. Sejak empat bulan ini ia menjabat sebagai pimpinan rumah sakit di sana, pekerjaan yang sebenarnya tak pernah ia inginkan. Ia lebih senang berada di ruang operasi dan berkunjung untuk menemui setiap pasien yang ditanganinya, dari pada berhadapan dengan dokumen dan orang-orang itu. Tapi apalah kuasanya yang tak bisa membatah permintaan sang Papa, mau tak mau ia harus menuruti keinginan orang tuanya itu. ***** "Lidya silahkan ke ruangan saya!" perintahnya melalu sambungan telpon yang ada di atas meja kerjanya itu. Tanpa menunggu jawaban dari sekretarisnya itu Imam memutuskan sambungannya. Tak perlu menunggu sampai beberapa menit berlalu, Lydia kini sudah mengetuk pintu ruangannya. "Permisi pak." Ucap lembut dan manja wanita itu yang kini berjalan berlenggak lenggok ke arahnya. Imam sungguh sangat tak suka melihat wanita yang seperti itu, ia bisa melihat kalau sekretarisnya itu sangat berusaha keras untuk mencuri perhatiannya. Sejak pertama kali mereka bertemu, Imam bahkan memindahkan ruangan Lydia ke luar dari ruangannya. Karena ia tak mau di ganggu wanita yang hanya pintar berpura-pura dan mengincar perhatian lawan jenisnya. "Dokumen sudah selesai saya periksa dan tanda tangani. Kamu juga sudah boleh pulang, lain kali tak perlu menunggu sampai seperti ini. Kalau sudah jamnya pulang dan kamu tidak ada pekerjaan lagi yang harus di selesaikan kamu bisa langsung meninggalkan kantor ini!" pesan Imam yang sudah kesekian kalinya di ulang-ulang, dokter muda itu juga tak pernah bosan mengingatkan wanita di hadapannya itu. Namun Lydia menganggap perintah dari pimpinannya itu adalah sebuah perhatian kecil yang membuatnya besar kepala. Sungguh Imam memperingati karena memang ia tak suka kalau Lydia ikut-ikutan diam dan menunggunya di sana. Dengan perasaan bahagianya Lydia tersenyum dan mengambil dokumen yang di acungkan oleh pujaan hatinya itu. Tapi Imam bahkan sama sekali tak melihat ke arahnya. "Terimakasih pak." Ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat. "Keluar dan pulang lah!" perintah Imam dingin. "Pak dokter gak pulang juga?" malah sempat-sempatnya wanita sok cantik itu bertanya. "Ini saya mau pulang. Kalau begitu saya duluan ya!" Ucap Imam yang langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan Lydia begitu saja di ruangan itu dengan wajah acuhnya. "Kasian kasian di cuekin lagi kan kamu Lyd. Makanya jangan besar kepala dulu!" seolah-olah ada suara yang keluar dari pikiran Lydia sendiri untuknya. Entah sudah ke puluhan bahkan ratusan kalinya ia mendapat perlakuan seperti itu dari pria yang satu itu. Namun Lydia tetap saja mencoba lagi dan hanya berakhir dengan hasil kecewa dan rasa marahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD