Dari luar gerbang sekolah, Oris berlari secepat mungkin menuju gedung olahraga. Pikirannya kalang kabut sesaat setelah membaca pesan dari Ranjiel beserta belasan panggilan tak terjawab dari anak-anak GAS yang lain.
Oris menghentikan langkahnya sesaat untuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Lalu kembali berlari tanpa memperdulikan sapaan dari teman-temannya yang berpapasan disepanjang lorong sekolah, hingga Oris tiba didepan gedung olahraga.
Pria itu kembali berlari dan masuk ke UKS tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dengan napas yang memburu dan peluh memenuhi tubuh dan wajahnya, Oris berjalan menghampiri Rhea yang sedang terduduk di atas brankar dengan wajah yang masih terlihat pucat pasi.
Oris memejamkan matanya sesaat seraya menarik napas lega melihat Rhea yang sudah sadarkan diri.
“Oris … “ lirihnya.
Pria itu berjalan mendekat dan memeluk Rhea sangat erat.
“Maafin gue Rhe,” bisik Oris.
“Ini gara-gara Tuti, bukan salah lo Ris,” sahut Rhea.
Oris melepas pelukannya, lalu melepas jaketnya dan menyampirkannya pada bahu Rhea.
“Tuti? Lo diapain sama nenek lampir itu?” tanya Oris.
“Gue didorong Tuti,” jawab Rhea pelan saat kembali teringat apa yang dilakukan Tuti padanya.
Oris mengangguk paham. “Ko kalian bisa berantem gitu?”
“Dia yang ganggu gue duluan, gue bener-bener gak terima sama omongan dia yang bilang gue gak ada apa-apanya tanpa lo dan anak-anak GAS,” sahut Rhea.
Oris yang mulai naik pitam berbalik dan mulai melangkahkan kakinya, tetapi langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Raga, Ami dan Theo yang masuk ke ruang UKS.
Melihat wajah Oris yang memerah karena menahan kesal, Raga menahan bahu Oris, tetapi Oris menghempaskan tangan Raga.
“Ris!!” panggil Raga,
Oris tak menghiraukan panggilan Theo dan Raga. Sedangkan Ami sedang berusaha mencegah Rhea untuk melepas infusan di tangannya.
“Rhea! Lo apa-apaan sih? Lo masih belum pulih,” ujar Ami.
“Gue mau nyusul Oris, Mi. Gue gak mau Oris kena masalah. Cuma gue yang boleh balas dendam gue sama si Tuti, bukan Oris,” tekan Rhea seraya melepas paksa infusan ditangannya hingga darah berceceran di lantai keluar dari bekas infusannya.
Ami, Theo dan Raga yang sudah sangat tau sifat Rhea yang keras kepala akhirnya menyerah, membiarkan Rhea berjalan menyusul Oris dengan jalannya yang masih sempoyongan. Sedangkan ketiga temannya itu hanya mengikutinya dari belakang.
“Si Rhea emang batu. Dua makhluk itu emang gak bisa dicegah kalau udah emosi. Oh god, kalau mereka bukan sahabat gue, gue bakal biarin mereka lakuin apa yang mereka mau tanpa harus ngerasa khawatir kaya gini,” gerutu Raga.
“Tangan Rhea terus netesin darah Aga, gimana dong?” panik Ami seraya menatap Rhea yang sedang berjalan tak jauh dari mereka.
“Itu Oris?” tanya Theo dengan mata yang memincing berusaha memperhatikan dengan seksama pria tinggi didepan pintu masuk gedung olahraga.
Ami, Theo dan Raga bergegas berlari menyusul Rhea yang juga sudah berlari lebih dulu dari mereka menghampiri Oris dan Tuti.
“Si Tuti emang pembuat onar,” gerutu Theo.
***
Oris mencengkram kerah baju Tuti dengan kedua tangannya. Kedua sudut matanya memerah, menahan seluruh amarahnya. Untungnya, gedung olahraga saat ini sedang lengang jadi Oris bisa dengan bebas menyudutkan Tuti.
“Oris,” gumam Tuti yang terkejut melihat Oris yang untuk pertama kalinya terlihat sangat marah.
“Apa yang lo mau dari Rhea hah?” tanya Oris dengan suara yang mulai bergetar.
Tuti dengan wajah tanpa dosa, berpura-pura tak tahu dan balik bertanya pada Oris. “Emang gue salah apa?”
Oris mendengus kesal mendengar pertanyaan Tuti yang seakan-akan dirinya tidak bersalah sedikitpun. Pria itu semakin marah hingga mendorong Tuti dan menguncinya pada tembok oleh lengan kekar Oris.
“Oris!” teriak Rhea dari belakang.
Oris menoleh sesaat ke belakang lalu kembali menatap tajam pada Tuti yang masih dihimpit oleh lengannya.
Rhea menarik lengan Oris hingga Oris menyerah dan melepaskan Tuti. Pria itu menjauhkan diri dari si nenek lampir dan berteriak, melepaskan amarahnya yang tertahan demi tidak melukai Rhea.
Namun diluar dugaan, Rhea menghampiri Tuti yang sedang merapihkan pakaiannya dan menampar wajah gadis menyebalkan itu dengan sekuat tenaga.
Theo, Raga dan bahkan Oris seketika menatap Rhea terkejut, sedangkan Ami menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Itu balasan dari gue. Gue gak akan biarin Oris ngotorin tangannya buat balas kelakuan lo sama gue, karena itu gak bisa membuat rasa sakit hati gue sama lo berkurang. Ini belum seberapa Tuti. Tunggu pembalasan lainnya dari gue,” tekan Rhea seraya berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Tuti.
Gadis itu meraih tangan Oris dan menariknya agar ikut kembali ke ruang UKS diikuti oleh ketiga anak-anak GAS lainnya.
“Rhea luar biasa,” gumam Ami.
***
“gimana sekarang Rhe? Udah baikan?” tanya Ami setelah mereka tiba di ruang UKS.
Rhea kembali merebahkan dirinya di atas brankar dan mengangguk.
“Gue udah lebih baik,” jawab Rhea sambil melirik Oris yang tak berbicara sepatah katapun setelah tiba di ruang UKS.
Theo, Raga dan Ami yang menyadari mereka butuh ruang untuk berbicara empat mata, saling menatap bergantian.
“Kita ada kelas nih bentar lagi, kita cabut ya. Rhe lo harus cepet pulih, minggu depan kita hangout,” pamit Ami yang diiyakan oleh Theo dan Raga.
Rhea tersenyum seraya mengangguk.
“Makasih iya udah jengukin, gue kayanya nanti pulang langsung ke asrama. Gue bener-bener pengen istirahat,” sahut Rhea.
“Yaudah hari ini lo istirahat total aja, Kita cabut iya. Ris, jagain Rhea,” Pamit Raga.
Oris hanya mengangguk sesaat sebelum ketiga sahabatnya meninggalkan UKS. Kini hanya tinggal berdua disana masih tanpa suara.
Rhea hanya terdiam dan memainkan darah yang sudah mengering ditangannya, sedangkan Oris masih masih duduk membelakangi Rhea.
“Siap yang selamatin gue?” tanya Rhea memecah keheningan.
Oris tak menyahut, ia hanya membalikkan tubuhnya hingga menggadap pada Rhea.
Rhea menghela napas dalam-dalam lalu menarik tangan Oris agar pria itu mendekat. “Ini bukan salah lo kok Ris.”
“Gue gagal ngelindungin lo Rhe, gue bakal bales dendam sama Tuti, liat aja nanti.”
“Gak perlu!! Gue udah puas bisa nampar muka si Tuti Alakadambra itu. Lo gak harus sampai hati buat bales dendam sama Tuti. Dengan lo berada disisi gue, itu udah lebih dari cukup buat bales dendam ke Tuti,” sahut Rhea.
Oris hanya terdiam menatap Rhea dan malah terfokus pada bibir manis Rhea dan menelan kasar ludahnya.
“Ris?” tegur Rhea yang segera menatap lekat pada Oris.
Oris yang kaget terlihat gelagapan, cowok itu malah bertemu tatap dengan Rhea dan jantungnya berdetak tak karuan.
“Lo gak apa-apa?” tanya Rhea.
Bukannya menjawab, Oris malah mendekatkan wajahnya. Cowok itu mengecup bibir Rhea tanpa melumatnya.
Rhea yang mendapat serangan tiba-tiba itu membelalakkan mata, benda kenyal yang kini beradu dengan bibirnya terasa sangat lembut. Keduanya sama-sama diam, tak ada kata atau tindakan yang mereka lakukan.
Brakkk …
“RHEAAAAAAA … HUAAAA LO MASIH IDUP, GUE SENENG!” teriakan itu menggema keras di ruang UKS.
Oris segera melepaskan ciumannya, menatap ke arah pintu sambil memegang bagian bibirnya.
Rhea masih belum mengumpulkan jiwanya secara sempurna, cewek itu tanpa sadar mengangkat tangan dan menyentuh bibirnya. Kenapa rasanya aneh? Kenapa jantungnya berdegup dan darahnya berdesir?
“Orissss … Oris ciuman ama Rhea? Beneran? Ini bukan mimpi, kan?” cevar Lia.
“L-Lia,” ujar Rhea tanpa sadar.
***