27. Tempat Pulang Adara

2259 Words
Udara malam hari menyapa, menusuk memasuki lengannya yang terbuka. Langit cerah yang membiru siang tadi sudah berganti menjadi warna gelap dengan hiasan kerlipan kecil yang indah. Wajah-wajah semangat disertai senyuman yang menyapa pagi tadi sudah berubah menjadi wajah lusuh yang lelah. Bekerja satu harian ini sukses membuat tubuh-tubuh itu kelelahan. Hanya menghasilkan suara pamitan ramah yang saling bersahutan, setelahnya kembali ke rumah masing-masing untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah. Adara adalah satu bagiannya. Melambaikan tangannya pada rekannya yang terakhir pulang. Baru saja memasuki taksi dan membawanya menjauh dari pelataran kantor. Menjadikannya satu-satunya yang tersisa. Dibandingkan yang lain, kondisi Adara masih jauh lebih baik. Senyuman yang mengembang sejak pagi masih terus terpantri di bibirnya. Menghasilkan lengkungan yang indah, yang selalu menjadi alasan Ragha untuk turut tersenyum. Pagi tadi, Rhea menjadi alasannya untuk tersenyum. Setelah berpisah lama karena pendidikan, keduanya kembali dipertemukan dengan kondisi yang sudah lebih dewasa. Apalagi untuk Rhea yang sudah banyak berubah, pun dari segi penampilan. Adara sempat dibuat tercengang, nyaris tidak percaya saat baru saja melihat penampilan Rhea yang paling baru. Karena memang selama ini, keduanya hanya sekadar berbalas pesan atau bertukar kata melalui telepon. Setiap kali Adara meminta panggilan video, Rhea selalu menolak. Dan sekarang Adara tahu alasannya. Adara masih mengingat jelas bagaimana kelakuan Rhea semasa remaja dulu. Si tukang ribut yang pemberani. Rhea nyaris membantai semua kakak kelas perempuan yang genit dan suka mencari muka. Nyaris tidak ada hari tanpa keributan yang disebabkan oleh Rhea. Adara merasa sangat bersyukur karena dipertemukan dengan perempuan baik hati seperti Rhea. Walaupun kelakuannya bar-bar tidak karuan, tapi sebenarnya hati itu bersih, putih. Rhea yang tomboy dengan kelakuannya bisa menangis terisak begitu melihat Adara yang hampir bunuh diri. Saat itu, Rhea bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tidak bisa menjadi teman yang baik untuk Adara. Sampai tidak tahu mengenai mental Adara yang tergoncang lantaran banyak hal buruk hadir di hidupnya. Sejak hari itu, Rhea berubah menjadi lebih memperhatikannya. Tidak pernah membuatnya kesepian. Rhea tahu semua cerita hidup Adara. Termasuk perasaan mendalam pada Ragha. Di saat dunia seolah tidak memberi bagian untuknya, juga dirinya yang tidak percaya diri untuk keberadaan Ragha di hidupnya, Rhea menjadi satu-satunya yang mendukungnya. Selalu memberinya semangat, jika Ragha sama seperti manusia lainnya. Jadi bukan hal yang tidak mungkin untuk Adara menggapai Ragha. Tidak heran jika Rhea menjadi sangat marah saat tahu Ragha menyakitinya kala itu. Saat ia hadir dengan tangisan pilu karena kehamilannya. Rhea yang masih berada di luar kota untuk sesi akhir masa perkuliahannya, harus pulang untuk menenangkannya. Sekaligus melayangkan tamparan kasarnya pada Ragha. Melampiaskan rasa kesal, marah, juga kebenciannya. Tidak terima karena Adara yang sudah dijadikannya sahabat baik, yang dilindungi sampai harus mengorbankan dirinya untuk masuk BK setiap hari, malah disakiti sedemikian rupa oleh laki-laki. Dan parahnya laki-laki itu adalah laki-laki yang sama seperti yang Adara harapkan untuk hadir di hidupnya. Rhea hanya tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya menjadi Adara. Pandangannya selalu indah setiap kali menatap Ragha. Seolah Ragha adalah lelaki sempurna yang tidak memiliki celah. Namun sayangnya, keindahan itu justru dihempaskan dengan begitu mudah oleh Ragha. Dan bodohnya, setelah kejadian itu, rasa cinta Adara tidak serta merta berubah menjadi benci. Adara tetap pada posisinya, mencintai Ragha dengan sepenuh hati. Hal itulah yang menjadi alasannya. Adara tidak pernah menceritakan kondisi rumah tangganya yang berantakan pada Rhea. Ia tidak mau membuat Rhea kembali marah dan terbebani. Karena Adara sudah bisa mengira-ira respon seperti apa yang akan Rhea tunjukkan jika Adara sampai menyampaikan semuanya. Lagi pula sekarang hubungannya dan Ragha sudah baik-baik saja. Apa yang terjadi dua tahun lalu hanyalah salah paham. Hubungan yang masih berusia muda, kurangnya komunikasi, juga faktor eksternal yang menghimpit. Membuat keduanya terus diam di posisi masing-masing karena tersesat. Beruntungnya, Ragha bisa cepat-cepat menemukan jalan keluar. Tepat sebelum Adara memutuskan untuk melepaskan ikatan di antara mereka. Jika tidak, mugnkin saat ini keduanya sudah berpisah. Menjadikan hubungan indah itu sebagai masa lalu. Mengubah status suami istri menjadi sebatas mantan. Yang mana erat kaitannya dengan hal-hal buruk yang menyebalkan. Senyuman Adara kian mengembang begitu mobil Ragha berhenti di pelataran kantor. Tidak lama pintu itu terbuka dan menampilkan Ragha yang tengah tersenyum ke arahnya. Adara berjalan mendekat, dihadiahi pelukan hangat yag menenangkan. Pelukannya teramat erat. Sampai-sampai Adara memejamkan matanya karena terlalu menikmati. Tapi begitu sadar tempat, Adara langsung mendorong Ragha menjauh. “Kenapa?” tanya Ragha tidak terima. “Kita masih di luar, di tempat umum pula. Nggak baik, Mas. Melanggar etika.” Ragha tertawa renyah. Satu tawa yang Adara dapati di awal mula hubungan mereka, jauh sebelum menikah. Tawa itu juga sempat hilang selama dua tahun ini. Digantikan dengan suara tegas yang tidak menyenangkan sama sekali untuk didengar. Adara jauh lebih menyukai Ragha yang seperti ini. Dan berharap Ragha dua tahun lalu tidak akan kembali menghampiri hidupnya. Ia sudah terlalu lelah menghadapi banyak hal menyebalkan sejak dulu. Dan ia enggan kembali tenggelam di tempat yang sama. Bergerak mengusap rambut Adara gemas. Setelahnya kembali mengajukan pertanyaan. “Langsung jalan?” Adara mengangguk. Senyumannya mengembang lebih indah. “Ayo. Aku nggak sabar ketemu Ibun. Tapi kita mampir toko kue dulu ya, Mas. Beliin Ibun brownies. Aku masih ingat, Ibun suka banget makan brownies.” Ragha hanya mengangguk. Tidak ingin menolak, juga tidak ingin mengganggu kebahagiaan Adara. Melihat Adara yang terus menyunggingkan senyumannya adalah satu hal yang patut disyukuri. Karena hal semacam ini sangat jarang nampak di matanya. Selagi hal baik, dan tidak bertentangan, juga mampu menimbulkan lengkungan senyum yang sama, Ragha akan selalu megusahakannya. *** Pelukan hangat yang selama dua tahun ini menghilang kembali ia rasakan. Disertai usapan sayang di puncak kepala. Adara memjamkan matanya erat. Menikmati hangatnya kasih sayang yang selalu ia rindukan. Namun harus Adara tahan lantaran suasana hatinya yang memburuk beberapa bulan ke belakang. Ibun memang selalu bilang, jika Adara menghadapi masa-masa sulit di tengah perjalanan, Adara boleh datang ke rumah kapan saja. Ibun akan mendengarkan segala keluh kesah Adara. Walaupun mungkin Ibun tidak bisa memberi solusi, setidaknya Adara merasa ia tidak sendirian. Namun selama dua tahun ini, ia sengaja tidak mengunjungi Ibun. Adara hanya menelepon dan berkirim pesan. Sama seperti apa yang ia lakukan pada Dhia. Kondisinya sedang benar-benar buruk. Adara enggan menambah beban untuk Ibun. Ibun juga menganggapnya seperti anak sendiri. Memberi kasih sayang yang teramat tulus. Adara hanya merasa tidak seharusnya terus mengadukan semua yang ia rasa pada Ibun dan Rhea. Biarkan keduanya menganggap jika Adara baik-baik saja selama ini. Karena melihat keduanya tersenyum seraya beryukur atas kehidupannya sudah lebih dari cukup. Selain itu, Adara sudah banyak menyusahkan Ibun dan Rhea selama ini. Padahal keduanya bukanlah keluarga kandung Adara. Hanya sebatas teman satu sekolah yang begitu peduli padanya. Juga memiliki sosok ibu yang tidak kalah peduli. Dengan ditemani kala susah saja, Adara sudah banyak bersyukur. Tidak seharusnya ia melunjak seenaknya dan membagikan sesuatu yang seharusnya tidak menjadi beban tambahan untuk Ibun dan Rhea. “Ibun, Dara kangen,” ucap Adara yang masih berada dalam dekapan Ibun. Ungkapan normal kala bersua dengan orang terkasih yang sudah pisah lama, lantaran kesengajaan, dan baru bisa bertemu lagi sekarang, saat kondisinya sudah jauh lebih baik. Masih belum mau melepaskan pelukan satu sama lain. “Sama, Nak. Ibun juga kangen sekali sama kamu. Dara nggak pernah mau nemuin Ibun selama ini.” Adara terkekeh pelan saat Ibun seolah merajuk padanya. Tapi senyuman itu tidak pernah surut. Membuat wajah Ibun yang sudah tidak lagi muda, nampak beberapa keriput ringan di sebelah mata, kening, juga pipi bagian atas, tetap nampak cantik dan menyenangkan untuk dipandang. “Dara ‘kan rutin kasih kabar.” “Iya, Ibun paham. Dua anak Ibun ‘kan memang sudah dewasa dan sibuk sendiri-sendiri.” Adara tahu ini sindiran halus. Bukan untuk menyakiti hati. Ibun hanya menginginkan Adara dan Rhea lebih sering meluangkan waktu untuk datang. Seperti saat keduanya remaja dulu. “Yuk masuk dulu, Nak Ragha mari masuk.” Keduanya memasuki rumah bercat putih bersih dengan dua lantai yang memiliki halaman luas nan hijau itu. Sebuah tempat yang pernah Adara gunakan sebagai tempat pulang. Kala ia tidak memiliki tempat lain yang bisa menerimanya. Tempatnya melepas lelah, kepedihan, sampai menyuarakan tawanya dengan lantang. Bersama Ibun dan Rhea yang selalu menemaninya. “Rhea belum pulang, Bun?” tanyanya setelah duduk di sofa ruang tamu. Ia juga tadi sempat mengirimkan pesan pada Rhea untuk kedatangannya, namun Rhea belum membaca pesannya. Dan saat ia sudah sampai pun, Rhea belum juga terlihat batang hidungnya. “Belum. Lembur katanya.” Adara mengangguk paham. Rhea memang baru bergabung dengan salah satu perusahaan besar di kotanya. Sebenarnya setelah lulus dua tahun lalu, Rhea sudah bergabung dengan perusahaan di luar kota. Di kota yang sama dengan tempatnya berkuliah. Namun beberapa waktu terakhir Ibun mulai mengeluh dan enggan sendirian. Membuat Rhea mengalah dan memilih pulang. Rhea memang tepat waktu dalam menyelesaikan kuliahnya. Setelah lulus juga langsung mendapatkan pekerjaan. Karena memang Rhea fokus dengan apa yang dikejar. Tidak seperti Adara yang sempat gagal masuk perkuliahan selama dua tahun berturut-turut hanya untuk masuk ke fakultas yang sama dengan Ragha. Mengingat hal itu membuat Adara malu. Rhea sudah menghabiskan dua tahun lebih awal untuk menyelami dunia kerja. Pernah tinggal jauh dari Ibun juga untuk mencari pengalaman. Sedangkan Adara masih baru dalam pekerjaan. Pun masih sering membuat kesalahan karena tidak fokus. Bahkan sempat menerima jatah cuti tiga hari lantaran tidak fokus dan merusak jalannya pekerjaan. Padahal ia termasuk anak baru di kantornya. Mungkin benar adanya satu nasihat lama yang sering didengarnya dulu. Kalau ingin berhasil dalam pendidikan, jangan libatkan laki-laki di dalamnya. Begitu nasihatnya. Karena Adara sendiri mengalami hal itu. Keberadaan Ragha dan perasaan Adara yang melambung membuatnya berkali-kali gagal dalam pendidikannya. Tidak seperti Rhea yang lancar-lancar saja dalam menjalani hidup. Hidupnya nampak baik-baik saja dan menyenangkan. Tidak seperti Adara yang terus-menerus dihadapkan pada masalah. “Ibun apa kabar?” Pertanyaan yang biasa diajukan ketika baru saja bertemu, setelah berpisah lama. Tapi sungguh, untuk pertanyaan kali ini bukan sekadar basa-basi belaka, seperti apa yang Ragha lakukan untuk Rhea siang tadi. Adara bertanya karena ia benar-benar ingin tahu kabar Ibun. “Baik, Nak. Dan Ibun harap kabar kamu juga selalu baik.” Adara tersenyum tipis. “Dara juga baik-baik aja selama ini.” “Ibun lega dengarnya. Dara nggak ngerepotin Nak Ragha, ‘kan?” tanya Ibun beralih pada Ragha. Mengharapkan jawaban yang bisa membuat hatinya menghela lega. Sebenar-benarnya lega, bukan hanya kata-kata saja. Karena dari jawaban Ragha nanti, Ibun bisa memastikan jika Adara benar-benar hidup baik-baik saja selama dua tahun ini. Ragha tersenyum sesaat. Menatap Adara yang juga sedang menatapnya. Melalui tatapan matanya, Adara seolah menyampaikan untuk menutupi semua yang terjadi dua tahunan ini. “Nggak kok, Bun. Dara nggak merepotkan sama sekali. Kami juga hidup baik-baik saja selama ini. Saya masih memegang dan terus mengusahakan janji yang saya sampaikan dulu.” “Bagus kalau gitu. Ibun ini khawatir sama kamu loh, Nak. Dua tahun nggak nemuin Ibun. Sampai Ibun mikir macem-macem kalau udah terjadi apa-apa sama kamu. Tapi kamu nggak mau ngomong sama Ibun. Makanya sengaja menghindar.” Adara hanya bisa berdecak kagum dalam hati. Ibun benar-benar seorang ibu sejati. Padahal Adara tidak menyampaikan apa-apa, tapi Ibun bisa berkata demikian. Seolah bisa mengetahui kondisi Adara selama dua tahun ini, tanpa perlu Adara menyampaikan banyak kata untuk menjelaskan. Tidak ada respon lain, hanya senyuman tipis yang manis. Adara enggan berkata bohong lebih banyak lagi. Ia tidak mau Tuhan marah dan memberinya hidup yang sulit. Kehidupannya sudah cukup sulit selama ini, dan ia enggan bertambah sulit lagi. “Ibun percaya kalau Nak Ragha menepati janjinya. Dan terima kasih ya, Nak, sudah menjaga Dara dengan baik selama ini.” “Sudah tugas saya, Bun. Saat saja hadir dan meminta restu saat itu, juga saat Ibun mengizinkan kami menikah, Adara dan hidupnya sudah menjadi tanggung jawab saya. Termasuk rasa bahagianya.” Senyuman tulus itu melebar. Memancarkan ketenangan bagi siapa saja yang melihat. Sayangnya, Adara justru merasa tidak enak hati, karena keduanya berhasil menyampaikan kebohongan demi kebohongan guna menutupi hal buruk dua tahunan ini. Meskipun begitu, Adara harap kebohongan kali ini tidak akan dicatat sebagai kesalahan. Karena selain berbohong, keduanya juga sedang menjaga aib rumah tangga mereka. Agar tidak keluar dan terdengar di telinga orang lain, termasuk Ibun sekalipun. Malam yang kian larut tidak membuat Adara dan Ibun berhenti bercerita. Keduanya saling bertukar banyak kata yang tidak sempat tersalurkan secara langsung dua tahunan ini. Sembari menikmati perputaran waktu yang terasa lebih cepat saat kembali bertemu untuk melepas rindu seperti ini. Adara yang belum mau berpisah dengan Ibun, juga malam yang kian larut, membuat Ragha mengambil keputusan yang diiyakan oleh Adara. Untuk malam ini Adara akan menginap di rumah Ibun. Lagi pula besok libur kerja, jadi tidak akan ada keributan di pagi hari yang mengharuskan Adara cepat-cepat bersiap. Ragha enggan mengganggu kesenangan Adara saat ini. Biarkan istrinya tertawa lebar sebagai pelampiasan rasa bahagia. Karena ia tahu, selama keduanya berada di rumah Mama, tawa Adara tidak pernah terdengar semenyenangkan ini. Jadi untuk kali ini saja, selama masih diberi kesempatan, Ragha akan membiarkan istrinya untuk menikmati waktu kebersamaan itu. Sementara itu, Ragha harus kembali pulang. Selain tidak mungkin menginap di rumah Ibun, yang mana hanya ada para perempuan di sini, termasuk kehadiran Rhea si bar-bar, ia juga harus menjaga Mama yang hanya berdua bersama Dhia. Karena Bibi memang sudah menghubunginya sore tadi untuk pulang kampung, untuk mengurusi ibunya yang sakit. Dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan, selama Bibi belum kembali, Adara yang akan menjadi sasaran empuk untuk Mama. “Take your time, fokus sama kamu dan kebahagiaan kamu. Jangan pikirin hal-hal yang mengganggu kebahagiaan itu.” Adara mengangguk patuh. Memeluk Ragha sekali lagi sebelum melambaikan tangannya untuk mengantar kepergian Ragha malam ini. Tanpa banyak bertanya, Adara paham maksud kalimat Ragha barusan. Dan selama diberi waktu, ia akan menikmati waktunya dengan baik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD