26. Kehadiran Sahabat Lama

1741 Words
Tidak ada kegiatan lain yang ia lakukan sejak tadi. Hanya berdiam diri di dalam ruangannya sembari memutar-mutar bolpoin dalam genggaman. Tumpukan pekerjaan yang biasanya menjadi fokus utama kini ia abaikan begitu saja. Lebih memilih untuk memutar otak, mengingat-ingat lebih jelas, sembari mencerna kalimat yang Mama ucapkan pagi tadi. “Jika kamu nggak mau menyerah sendiri, Mama yang akan membuat kamu menyerah.” Ragha tidak bisa berbohong jika kalimat Mama pagi tadi sukses membuat fokusnya berantakan. Yang biasanya ia akan mengabaikan banyak hal begitu menghadapi pekerjaan, kini lain cerita. Ragha menyadari jika ancaman Mama tidak pernah main-main. Dan Mama kembali menunjukkan taringnya dengan seenaknya memberi batas waktu untuk hubungannya dengan Adara. Ragha percaya jika ia mampu melewati beragam ancaman yang Mama tunjukkan untuknya. Termasuk jika Mama mulai bermain curang dengan menghadirkan perempuan lain di hidupnya. Karena Ragha yakin dengan perasaan yang ia miliki. Ia mencintai Adara dengan sepenuh hatinya. Ia tidak akan menyerah dengan mudah hanya karena masalah yang memang sudah berkoar sejak awal cerita. Hanya saja, Ragha mengkhawatirkan satu hal, Adara. Ya, Adara. Ragha memang yakin dengan dirinya sendiri. Ia juga bukan tipe orang pemikir yang akan terus fokus dengan ingatan menyebalkan tanpa bertindak menolak. Tapi Ragha tidak bisa menjamin jika Adara akan melakukan hal yang sama. Ragha tahu persis bagaimana Adara. Istrinya itu jauh lebih sering mengandalkan pemikirannya dan berfokus pada hal-hal buruk yang mengganggu. Ragha hanya takut, Adara akan menyerah jika terus-menerus mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Selain itu, Ragha juga mengkhawatirkan mental Adara. Adara sudah hidup dalam kegelapan sejak usianya masih sangat muda. Terbiasa menatap hal-hal buruk di depan mata. Dan hal itu terjadi berkali-kali. Lalu sekarang, masalah itu tidak kunjung usai. Malah kian menyulut amarah setiap harinya. Jika saja Adara lelah dengan semuanya dan memutuskan untuk berhenti, Ragha tidak yakin hidupnya akan baik-baik saja. Ia begitu mencintai Adara. Sampai tidak pernah memikirkan bagaimana kehidupannya jika Adara tidak lagi mengisi bagian sisinya. Jika Adara memutuskan untuk pergi dan menghilang dari kehidupannya. Apa Ragha akan sanggup? Kehancuran itu pasti akan kembali menghampiri. Dan Ragha tidak pernah sanggup untuk kehancuran yang sama di lain waktu. Ia pernah hancur, dulu, sesaat setelah Adara mendorongnya menjauh, menolak untuk diperjuangkan. Namun saat itu Ragha masih sanggup untuk memperjuangkan dan akhirnya Adara kembali padanya. Tapi untuk saat ini, jika Adara lelah dan memilih menyerah, bukankah akan menjadi satu kesalahan jika Ragha memaksakan kehendaknya? Ragha mengusap wajahnya kasar. Enggan membawa pemikiran buruk itu untuk terus hinggap dan melingkupi kepalanya. Ia akan bertahan dan membuat Adara terus bertahan di sisinya. Itu janjinya. Getaran ponsel yang menandakan panggilan masuk mengusiknya. Sesaat hal-hal buruk yang hadir, perlahan pergi. Digantikan dengan lengkungan senyuman begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Mas.” Sapaan halus yang mengisi pendengaran. Mengalirkan rasa tenang yang menerobos masuk ke dalam hatinya. Ragha sampai harus memejamkan matanya sembari bersandar nyaman di kepala kursi, guna meresapi suara lembut Adara yang selalu ia suka. Suara lembut ini sempat berubah ketus dalam beberapa waktu kemarin. Kebiasaan bertukar kata melalui telepon pun jarang sekali dilakukan. Ragha sempat meragu jika Adara akan kembali ke hidupanya lagi. Namun beruntungnya, ia berhasil membalik posisi dan membuat Adara kembali. Dan Ragha enggan kehilangan Adara untuk yang kedua kalinya. “Iya, Sayang.” “Mas aku lagi ada di restoran dekat kantor Mas. Mau makan siang bareng?” tanyanya dengan nada ceria. Tanpa diminta Ragha kembali tersenyum tipis. Sungguh menyenangkan mendengar alunan lembut suara Adara. Dan hal ini benar-benar membuatnya kian merasa takut untuk kehilangan. “Loh, tumben?” “Iya, aku tadi ada janji sama Rhea. Mas ingat ‘kan sahabatku yang dari SMA itu? Yang selalu belain aku kalau aku ada masalah sama senior gara-gara suka kasih coklat di jok motor Mas. Dia juga pernah nonjok Mas di hari itu.” Ragha terdiam untuk beberapa saat. Tidak segera memberi jawaban pada Adara yang menunggu. Tapi setelahnya, Ragha mengangguk beberapa kali sembari berucap, “ya, aku ingat. Cewek tomboy itu, ‘kan?” Adara tertawa sejenak. Mungkin berpikir, dari sekian banyak karakter Rhea, kenapa Ragha harus mengingat bagian tomboynya. “Rhea sekarang udah nggak tomboy, Mas. Dia udah cantik, biasa pakai dress, bahkan bisa pakai high heels. Udah jadi cewek beneran.” Ragha turut tersenyum mendengar Adara bercerita. “Dan kamu tahu, aku nggak peduli sama sekali untuk hal-hal yang kamu sebut barusan, Dara.” Tawa Adara terdengar lagi. “Jadi Mas mau ke sini nggak?” “Nggak ganggu kamu dan Rhea memang? Aku takutnya kalian masih mau reunian terus aku ganggu deh. Aku bisa jamin kalau Rhea yang berubah jadi cewek beneran nggak akan menghilangkan kemampuan bela dirinya. Aku nggak mau dipukulin gara-gara ganggu waktu kalian.” Adara tidak bisa menahan tawanya. Ragha juga bisa mendengar Rhea yang mengumpat karena mendengar kalimatnya. “Gue udah mau balik ke kantor. Buruan, Gha. Atau gue tinggalin istri lo nih. Diambil orang mampus lo,” sahut Rhea marah-marah. Nada bicaranya masih sama seperti terakhir kali Ragha bertemu perempuan itu. Sosok sahabat terbaik untuk istrinya. Yang selalu menemani kala Adara terjatuh. Termasuk kejadian saat Adara hampir menyerah dan hendak bunuh diri. Rhea ini yang membawanya kembali dan memeluk Adara erat-erat. Rhea dan ibunya bahkan menampung Adara untuk beberapa bulan. Sampai memastikan Adara dan mentalnya kembali baik-baik saja. Ibun yang perhatian setiap harinya selalu memberi nasihat halus untuk Adara. Merawat Adara selayaknya anak sendiri. Membuat Adara perlahan bisa menerima kembali keadaannya dan memilih bangkit untuk melanjutkan kehidupan. Ragha masih mengingat jelas pesan Ibun saat ia meminta restu untuk menikahi Adara saat itu. “Jaga Adara selagi kamu mampu. Tapi kalau suatu saat kamu lelah dengan keberadaan Adara, dan tidak lagi mampu menjaga, tolong lepaskan Adara. Adara berhak untuk bahagia.” Satu pesan yang sampai saat ini masih Ragha usahakan. Karena ia sebenarnya tahu jika Adara lelah dengan hubungan keduanya. Tapi Ragha enggan menyerah dan melepaskan Adara semudah itu. Selama ia masih memperjuangkan kebahagiaan Adara, juga selama Adara belum mengatakan rasa lelahnya, Ragha tidak akan melepaskan genggaman tangan mereka dan membiarkan Adara pergi. Tanpa banyak berpikir lagi, Ragha langsung mengiyakan dan memutus panggilan itu. Beranjak dari duduknya untuk segera menemui sang istri yang mengajaknya makan siang. Momen langka lainnya yang dulunya sangat sulit untuk ia dapat. Begitu sampai di restoran dekat kantornya, Ragha langsung mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Adara. Matanya menangkap satu perempuan yang sedang mengisi meja di bagian ujung bersama perempuan lainnya. Sedang melambaikan tangannya dan tersenyum begitu lebar. Ragha langsung melangkah mendekati dua perempuan itu sembari memasang senyuman yang sama. Ragha langsung mengusap lembut kepala Adara setelah mengambil duduk di kursi kosong sebelahnya. Sempat bersalaman juga dengan Rhea. Benar kata Adara, Rhea sudah jauh berbeda dari Rhea saat di bangku perkuliahan, tepat terakhir kali Ragha bertemu. “Lo apa kabar?” tanya Ragha hanya untuk berbasa-basi. Rhea yang sebelumnya sedang menyeruput es teh langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan yang tidak Adara mengerti. “Ck, gue baik. Kayak nggak pernah ketemu gue aja lo pakai nanya kabar,” celetuk Rhea. Oke, nampaknya hanya penampilan Rhea yang berubah. Tidak untuk cara bicaranya. Adara langsung menatapnya kebingungan. Ia tidak salah dengar ‘kan? Ia tahu Rhea memang sering kali menyampaikan kalimat-kalimat tidak terduga juga mengumpat tidak jelas. Tapi yang kali ini benar-benar di luar dugaan Adara. Sampai membuatnya kebingungan. “Kalian sering ketemu sebelumnya?” tanya Adara untuk menjawab kebingungannya. Respon yang didapat membuat Adara semakin keheranan. Ragha dan Rhea sama-sama gelagapan seolah baru saja tertangkap basah setelah membuat kesalahan. Namun Adara enggan berprasangka buruk dulu. Keduanya adalah orang penting dalam hidup Adara. Tidak mungkin ‘kan keduanya menyembunyikan sesuatu yang besar dari Adara? “Ya nggak pernah. Rhea ‘kan tinggal di luar kota selama ini. Kamu juga jarang ketemu, ‘kan? Apalagi aku.” Ragha menyampaikan kalimatnya dengan tenang. Sebelah tangannya juga mengusap rambut Adara lembut. Belum lagi senyumannya yang meyakinkan. Membuat Adara mengangguk percaya. Keduanya tidak begitu akrab. Bahkan dua tahun lalu, saat Ragha datang ke Ibun dan meminta restu, Rhea sempat menentang. Bukan tanpa alasan, Rhea membenci Ragha karena sudah menghamili Adara di luar ikatan pernikahan yang sah. Menganggap Ragha sebagai laki-laki yang hanya bisa membuat Adara menangis. Namun, karena Adara mencintai Ragha dan memang sudah terlanjut hadir bayi mungil di perut Adara, akhirnya Rhea mengiyakan juga. Walaupun terus melayangkan ancaman pada Ragha. Jika saja Ragha kembali menyakiti Adara, maka Ragha harus berhadapan dengan Rhea. Karena alasan itu juga Adara tidak pernah menceritakan hubungan pernikahannya dengan Ragha selama dua tahun ini pada Rhea. Adara hanya enggan membebani Rhea. Juga sedang berusaha menutupi kesalahan dalam rumah tangganya. Karena apapun yang terjadi di dalam rumah tanggannya tidak seharusnya diumbar-umbar pada orang lain. “Ck, Dar, lo kayak nggak tahu gue aja. Terakhir kali gue ketemu dia waktu lo nangis-nangis gara-gara dia. Walaupun pada akhirnya gue kasih restu, gue masih nyimpen dendam itu sama laki lo. Jadi nggak usah basa-basi segala pakai nanya kabar.” Adara menghela napas lega. Baru menyadari sifat Rhea yang seperti ini. Ragha menghela napas malas. “Gue nggak basa-basi, Rhe. Emang pertanyaan apa lagi yang perlu diajukan untuk kali pertama ketemu sama orang, setelah pisah lama?” Decihan sebal itu dijadikan respon andalan oleh Rhea. “Udah hampir jam setengah dua nih. Gue duluan ya, Dar. Jaga diri, kalau ada apa-apa hubungi gue. Termasuk kalau lo dibuat nangis-nangis sama cowok satu ini.” Adara mengangguk seraya terkekeh pelan. Saling berbalas peluk dengan Rhea. “Kalau ada waktu ketemu lagi ya. Gue masih kangen.” Rhea mengangguk. “Gue pamit ya.” Memasang senyuman manis pada sahabatnya itu. Tapi begitu beralih pada Ragha, tatapannya langsung berubah menyebalkan. Membuat Ragha menghela napas panjang dan menimbulkan suara tawa dari Adara. “Gue duluan. Jagain teman gue. Awas lo macem-macem.” Setelahnya Rhea benar-benar melangkah menjauh dengan tergesa. Mungkin buru-buru mengejar waktu untuk kembali ke kantor. Menyisakan Ragha dan Adara yang bersiap untuk makan siang. “Dia udah lama pulang?” tanya Ragha di sela kegiatan makan siangnya. Adara menggeleng. “Baru sekitar tiga bulanan. Tapi baru ketemu aku sekarang. Kemarin dia sibuk banget ngurusin lamaran kerja jadi aku nggak mau ganggu.” Ragha mengangguk-angguk saja. “Mas, kalau kapan-kapan aku ke rumah Rhea boleh nggak? Kangen Ibun.” Ragha tersenyum lembut. Memberi afeksi menenangkan di sebelah pipi istrinya. “Kita bisa ke sana sama-sama. Aku juga mau ketemu beliau.” Adara tersenyum lagi. Terlihat begitu riang nan manis. Membuat hati Ragha dihinggapi kesejukan yang tidak terkira. Melihat Adara tersenyum lebar, sebagai luapan rasa bahagianya, adalah salah satu impiannya. Ia hanya berharap, semoga ia selalu bisa membawa Adara untuk bahagia bersamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD