28. Sisi Wajah Adara

2428 Words
Adara pikir, setelah hatinya kembali dihancurkan dua tahunan ini, ia tidak akan lagi layak merasakan apa itu bahagia. Tapi nyatanya tidak demikian. Setelah berlarut-larut dalam masalah yang kian menggerogoti isi hati, membuatnya nampak tidak ada apa-apanya dibandingkan hadangan masalah yang besar itu, pada akhirnya ia tetap bisa tersenyum. Alasannya sederhana, bisa kembali mengisi ranjang tidur bersama Rhea dan Ibun. Saat remaja dulu, kegiatan semacam ini sering kali dilakukan. Posisinya tetap sama, Ibun berada di tengah, sedangkan Adara dan Rhea mengisi sisi kanan dan kiri Ibun. Bercerita sepanjang malam sampai mulut kelelahan dan mata tidak lagi mampu menahan kelopak. Sampai akhirnya ketiduran dengan posisi saling memeluk. Adara merasakan kehangatan yang sama. Bersama Rhea dan Ibun membuatnya kembali bahagia. Jika saja alasan ini sudah ia temukan di sela kehidupannya yang tidak jelas, tentu Adara akan menemui Ibun sejak awal. Tentu bukan untuk menyampaikan keluh kesahnya. Melainkan untuk menerima kasih sayang yang selalu ia rindukan. “Sudah lama sekali ya sejak terakhir kali.” Ibun yang memulai percakapan. Adara di sisi kanan mengangguk, mengiyakan. Ia juga merasa jika kegiatan semacam ini sudah sangat, sangat lama sekali. Sampai rasanya ia terlampau merindukan masa-masa itu. Walaupun mental Adara belum baik benar, setidaknya saat itu ia merasa aman dengan keberadaan Rhea dan Ibun. Sementara Rhea di sisi kiri sudah hampir terpejam lantaran kelelahan bekerja seharian. Belum lagi harus menambah waktu lembur. Tapi begitu mendengar suara Ibun yang mengalun lembut, karena memang Ibun adalah sosok ibu yang anggun, sangat berbeda dengan Rhea si tomboy, mata terpejam itu kembali terbuka. Menahannya agar tidak kembali terpejam. Karena ia juga merasakan kerinduan yang sama. “Kalian tahu, apa yang Ibun dan ibu-ibu lain paling takutkan dalam hidup?” Rhea bergerak untuk membenarkan posisinya yang kurang nyaman. Sebelah tangannya melingkari perut Ibun, sama seperti yang Adara lakukan sebelumnya. Menimbulkan lengkungan senyum yang lebih lebar, karena Ibun merasakan anak-anaknya kembali hadir setelah masa-masa sepi itu. Rhea yang berada di luar kota untuk kuliah dan pekerjaan, sementara Adara yang harus ikut suaminya dan tinggal bersama suaminya. “Rhea nggak tahu karena Rhea belum pernah jadi ibu.” Jawaban pintar dari Rhea si sarkas. Ibun sempat berdecak samar, namun selanjutnya terkekeh karena Adara mengajukan jempol dan keduanya saling bertos ria. “Kehilangan anak, mungkin.” Adara menjawab dengan suara lirih. Sangat lirih sampai Rhea harus mengangkat kepalanya dan memastikan jika memang Adara yang bersuara. Ibun yang berbaring di sebelah Adara tentu bisa mendengar suara Adara lebih jelas. Membuatnya menatap Adara dengan tatapan yang tidak mudah diartikan, untuk beberapa waktu berjalan. Seolah menyampaikan makna lain yang tidak bisa Rhea tangkap dengan mudah. Ya karena dalam hal ini, ia lah satu-satunya yang belum pernah berstatus sebagai ibu. Jika Ibun, sudah jelas memiliki Rhea sebagai putri kandung, dan kehadiran Adara yang melengkapi formasinya. Sementara Adara juga pernah memegang peran sebagai ibu. Walaupun hanya diberi waktu untuk beberapa bulan saja. Setelahnya, semesta belum mengizinkan. Mungkin kondisi belum memungkinkan untuk Adara merawat seorang anak. Tapi walaupun hanya beberapa bulan saja, tetap saja, Adara pernah menjadi seorang ibu. Maka dalam hal ini, Adara juga tentu tahu ke mana arah pembicaraan yang Ibun buka. Ia juga tahu apa yang paling ditakutkan oleh Ibun juga ibu-ibu lain, termasuk Adara di dalamnya. “Rhea nggak mau lanjut kalau berakhir nangis-nangisan. Please, bos dan kerjaanku di kantor aja udah bikin nangis. Jangan ditambahin lagi dong.” Kalimat protes Rhea sukses menimbulkan suara tawa. Terdengar renyah walaupun tidak nyaring. Ibun sampai mengusak gemas rambut Rhea yang dibiarkan memanjang setelah lulus kuliah. Dulu rambut Rhea hanya sebatas bahu, tanpa poni. Sering kali hanya diikat kuda, menyisakan helaian rambut tipis yang berantakan. Namun, begitu memasuki dunia kerja, Rhea memanjangkan rambutnya dan akhir-akhir ini baru menambahkan poni yang menutupi dahinya yang lebar. Oke, nampaknya Rhea menambah poni di dahinya untuk alasan menutupi dahinya yang lebar. Bukan untuk membuat penampilannya terlihat lebih feminim. Walaupun Rhea berhasil mendapatkan keduanya, menutupi dahi lebar dan penampilan yang feminim. Jika sudah mengenakan pakaian kantor seperti yang nampak di hadapan Adara siang tadi, berkemeja panjang yang dimasukkan ke dalam rok span sebatas lutut. Mengenakan high heels yang tidak begitu tinggi. Tas wanita di bahu kiri. Juga rambutnya yang dibiarkan tergerai dengan sedikit bergelombang tanpa hiasan. Orang-orang mungkin akan berpikir Rhea adalah perempuan feminim yang menjaga penampilan. Tidak tahu saja jika di balik gayanya yang terbaru, Rhea ahli dalam bela diri. “Maaf, maaf, kayaknya aku yang bakalan feel sad paling awal kalau pembahasannya udah begini. Janji kali ini nggak akan nangis kenceng.” Rhea melotot memperingati. “Beneran, awas lo nangis kejer. Gue keluarin dari rumah!” ancam Rhea sok galak. Ibun langsung melerai keduanya. Karena posisi Ibun yang berada di tengah membuat telinganya pengang. Apalagi kalau sudah ribut, Rhea tidak akan mengontrol volume suaranya. “Kembali ke topik bahasan, Bun.” Rhea sudah kembali berbaring di sisi kiri Ibun. Kembali melingkarkan sebelah tangannya di perut Ibun. “Benar seperti yang Dara bilang. Ketakutan terbesar ibu-ibu terutama Ibun adalah kehilangan anak.” Wajah Adara berubah muram walaupun ada senyuman yang tersemat di sana. Senyuman sendu yang membuat Rhea cemberut sebal. Hal paling menyebalkan dalam hidup ini adalah melihat orang-orang di sekitarnya menangis dan sedih. Sungguh, jika hidup ini memang hanya sementara, kenapa harus ada kepedihan? Tidak bisakah menciptakan kebahagiaan saja, supaya hidup yang hanya sementara ini bisa menyematkan kenangan yang indah-indah saja? Tentu saja tidak. Karena kepedihan ada untuk membuat manusia lebih tahu yang namanya bersyukur. Jika hidup ini hanya ada bahagia saja, banyak orang-orang yang melupakan eksistensi Tuhan dan tidak kenal yang namanya syukur. Tapi dengan adanya kepedihan, di saat Tuhan memberi kesempatan untuk bahagia, akan ada rasa syukur yang membuat rasa bahagia itu lebih bermakna. “Bukan kehilangan anak karena diambil Tuhan. Karena jelas setiap diri dari kita yang memiliki nyawa pasti akan kembali mati. Tapi kehilangan karena anak yang sudah Ibun lahirkan, Ibun besarkan dengan sepenuh hati, Ibun beri gizi terbaik, Ibun beri kasih sayang, harus segera tumbuh dan cepat-cepat pergi dari rumah.” Kedua anak perempuan Ibun termenung. Tidak memberi respon lebih banyak melalui rentetan kata yang biasanya hadir tanpa diminta. Keduanya hanya diam sembari mendengarkan baik-baik. “Ibun memiliki dua kekhawatiran. Yang pertama, kalau anak Ibun bisa menemukan kehidupannya di tempat lain dan bahagia. Ibun takut akan dilupakan. Karena itu adalah patah hati yang paling mematahkan. Dan yang kedua, kalau anak Ibun tidak mendapat kesempatan untuk hidup dengan baik, terjatuh dan tersungkur karena kenyataan, Ibun khawatir nggak bisa menolong karena jarak. Karena itu, Ibun dan kebanyakan ibu-ibu di luar sana selalu menginginkan anak-anak mereka tetap berada di rumah. Walaupun sudah tumbuh dewasa. Karena bagi Ibun dan mungkin bagi ibu-ibu kebanyakan, berada di dekat anak-anak adalah cara terbaik untuk bahagia.” Ibun menghela napas sejenak. Sebelah tangannya mengusap sebelah pipi Adara dengan lembut. Sangat lembut sampai Adara hampir hanyut. “Dan perasaan semacam itu juga berlaku untuk Ayah, juga kebanyakan bapak-bapak di luar sana.” Air muka Adara sudah berubah sejak cerita ini bahkan baru memasuki sesi perkenalan. Wajahnya memerah padam menahan amarah yang tiba-tiba hadir dan melingkupi hatinya. Perasaan marah, kesal, pedih, juga sedih. Adara tidak sempat menelisik perasaan mana yang lebih mendominasi. Karena semuanya seolah bercampur aduk membuatnya kian tidak mengerti. Ia membenci keberadaan ayahnya. Adara jelas mengetahui hal itu sejak usianya muda. Bukan hanya membenci sebatas benci biasa. Tapi benar-benar benci sampai rasanya Adara ingin pergi sejauh-jauhnya agar tidak mampu dijangkau ayahnya. Namun, kala kalimat Ibun terdengar halus dan menyapa pendengaran, Adara bisa merasakan ada yang menghimpit kuat hatinya. Menimbulkan sesak yang lebih parah daripada sesak yang ia rasakan sebelumnya. Untuk detik berikutnya, Adara sudah sibuk membiarkan air matanya menetes deras, membasahi pipinya. Ibun dan Rhea tidak banyak berkata lagi setelah itu. Hanya bergerak memeluk sembari memberi usapan sayang di kepala Adara. Rhea juga berpindah tempat menjadi di sebelah kanan Adara. Mengubah posisi Adara menjadi di tengah-tengah. Saling memeluk untuk mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. Saling mengusap guna memberitahukan jika mereka memiliki satu sama lain. Tidak ada yang namanya kesendirian dalam kesedihan. Dengan begitu sepi tidak akan berani menghampiri. Dan kesedihan tidak akan terlalu lama menghinggapi. Karena poin terpenting dari hidup ini bukan tentang siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling sedih. Tapi tentang siapa yang bisa saling menopang satu sama lain. Turut tertawa kala bahagia, juga menyediakan tempat mengadu kala bersedih. Dengan begitu, nampaknya hidup ini akan berputar sesuai dengan yang seharusnya. Seimbang dengan dua sisi sama berat. Tidak lagi berat sebelah, tidak lagi menghasilkan timbangan yang tidak seimbang. *** Ragha tahu, dengan ia pulang sendirian malam ini, adalah salah satu cara jitu untuk menarik amarah sang mama keluar. Sama dengan membiarkannya berteriak nyaring di malam sunyi yang dingin. Yang tentu saja akan membangunkan seluruh penghuni rumah karena suara pekikannya yang tidak baik didengar telinga. Tapi Ragha juga jauh lebih tahu, dengan membiarkan Adara tidak ikut pulang sama dengan membiarkan sang mama marah-marah tanpa perlu menyakiti hati. Dan Adara akan mendapatkan kembali semangat hidupnya setelah mendapat kasih sayang yang selama ini dirindukan. Untuk kembali ke kehidupan menyebalkan ini dengan bekal yang lebih lengkap, dengan kondisi hati yang jauh lebih siap. Untuk itu, Ragha tidak perlu memikirkan banyak hal jika sang mama benar-benar akan melayangkan tatapan tajam yang menusuk, diikuti kalimat panjang yang mencengangkan. Telinganya sudah cukup kuat untuk mendengar dan matanya masih cukup bisa bertahan sampai Mama memutuskan berhenti berbicara. Setidaknya itu yang terpikirkan dalam kepalanya. Benar saja seperti dugaannya barusan, begitu ia hendak menaiki tangga di ujung ruang tengah, Mama sudah hadir sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. Nampak sangat galak dan menyebalkan. Sama seperti yang Ragha lihat untuk tahun-tahun sebelumnya. Matanya menelisik ke arah belakang Ragha, mungkin mencari keberadaan Adara yang tidak terlihat. Dan ketika Mama tidak mendapati keberadaan Adara, seharusnya hanya ada senyuman senang penuh kemenangan. Karena pada akhirnya apa yang Mama usahakan mulai membuahkan hasil baik. Adara tidak lagi seenaknya nampak di depan matanya. Tapi Ragha justru mendapati tatapan berbeda dari Mama. Yang jujur saja, tidak bisa ia definisikan dengan mudah. “Dari mana?” Pertanyaan normal yang sering kali ditanyakan jika sang anak pulang terlambat. Ini sudah pukul sepuluh malam dan Ragha baru saja menginjakkan kakinya di rumah. Padahal seharusnya Ragha pulang lebih awal karena Bibi harus pulang kampung. Ia juga tidak memiliki pekerjaan tambahan yang membuatnya harus berada di kantor lebih lama. Tapi malah pulang larut dan tidak turut serta dalam makan malam. Mungkin meja makan malam ini terasa sangat dingin karena hanya diisi oleh Mama dan Dhia. “Dan juga, di mana perempuan itu?” lanjutnya. Ragha tidak ingin berharap banyak terhadap penerimaan sang mama pada Adara. Namun kali ini, ia bisa melihat tatapan Mama yang nampak berbeda. Bukan tatapan tajam juga decihan sebal. Melainkan tatapan mencari-cari yang sedikit sekali adanya kekhawatiran. Tapi hal ini merupakan kemajuan pesat, walaupun hanya terdapat sedikit sekali kekhawatiran. Mengingat sikap Mama yang tidak pernah baik selama ini, semenjak Ragha hadir di rumah sembari mengenalkan Adara sebagai calon istrinya. “Agha baru dari rumah Bu Rindang untuk mengantar Adara. Rhea baru aja selesai mengurusi kepindahannya dari luar kota dan perlu ketemu Adara. Dan, Ma, nama istri Agha, Adara, bukan perempuan itu," jelasnya sedikit tidak sopan, karena Ragha sempat membenarkan pengucapan yang Mama gunakan untuk memanggil Adara. Bukan kali pertama memang Mama memanggil Adara dengan sebutan 'perempuan itu'. Karena sejak awal pun, Mama tidak pernah menyebut nama Adara dengan sopan. Sebelumnya juga Ragha enggan mempermasalahkan walaupun hatinya tidak terima. Tapi kali iri rasa-rasanya Ragha harus buru-buru meralat agar tidak keterusan. Kali ini Mama berdecih sebal. Tatapannya menajam, walaupun tidak setajam biasanya. “Kamu tahu kalau Mama nggak pernah peduli dengan namanya, hidupnya, bahkan keberadaannya di sini. Seharusnya kamu nggak perlu mempermasalahkan sebutan yang Mama pakai untuk perempuan itu. Dan satu hal lagi, apa perempuan itu nggak tahu kalau Bibi pulang kampung hari ini? Seharusnya dia pulang ke rumah ini dan menggantikan tugas Bibi. Bukan malah keluyuran nggak jelas.” “Ma, Adara bukan keluyuran nggak jelas. Dia berkunjung ke rumah Bu Rindang, ibu angkatnya. Dan Agha rasa, Mama nggak punya hak untuk mengomentari ini, itu, karena yang berhak atas diri Adara, Agha, Ma. Suaminya. Lagi pula dia pergi untuk menemui ibunya, bukan hal yang seharusnya dipermasalahkan.” Oke kali ini Ragha lebih keterlaluan. Jika saja Adara tahu, mungkin Ragha akan dimarahi karena seenaknya marah-marah pada Mama. “Dia ke sana mau mengadu sama ibunya, kalau diperlakukan nggak baik sama ibu mertuanya? Atau sudah sadar kalau tempatnya bukan di sini?” Jika saja Ragha belum mempersiapkan diri untuk ini, mungkin ia sudah termakan emosi yang lebih parah. Beruntungnya, selama perjalanan pulang, ia terus mempersiapkan diri untuk menghadapi Mama dan kalimat-kalimat panjangnya. Juga terus mengingatkan diri supaya tidak terbawa amarah dan berkahir menyakiti mamanya sendiri. “Nggak sama sekali. Daripada mengadu sampai menjelek-jelekkan Mama di belakang, Adara justru memilih untuk memuji-muji Mama dan mengarang banyak cerita indah tentang Mama. Agar ibunya bisa merasa lega, karena beliau kira, ibu mertua Adara bisa menerima putrinya dengan baik.” Mama tersenyum miring. Nampak misterius dan menakutkan, jika yang menjadi lawan bicara adalah Adara. Sayangnya, kali ini Mama justru menghadapi putra sulungnya yang sudah paham bagaimana sang mama. “Perempuan itu memang bermuka dua, ‘kan? Wajar kalau dia pandai mengarang cerita.” Ragha mengepalkan tangannya kuat-kuat, guna menahan amarah yang siap meluncur keluar. Hari sudah malam, tubuhnya lelah, matanya mengantuk. Mamanya memang pandai menarik emosinya di waktu semalam ini, yang seharusnya sudah ia gunakan untuk tidur, mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan. Melemaskan ototnya yang kaku. Juga membiarkan otaknya berhenti bekerja untuk semalam. “Ya, Adara memang bermuka dua. Sampai Agha harus mencari-cari tahu sendiri kesedihannya yang dia kubur dalam-dalam. Selama ini yang Adara tunjukkan di depan orang-orang hanya wajahnya yang ceria, seolah tanpa beban. Sampai banyak yang mengira kalau hidupnya memang benar-benar bahagia. Sementara itu, wajahnya yang satunya lagi, dia sembunyikan rapat-rapat, dari orang terdekat sekalipun. "Adara cuma mau menunjukkan wajahnya yang satunya itu saat dia sendirian, menangis lirih sampai meraung untuk meluapkan perasaan mengganggu yang dia telan sendirian. Dan Mama tahu, Mama adalah sumber rasa sakit terbesar untuk Adara. Tapi dia masih bisa mengarang cerita indah tentang Mama yang memperlakukan Adara dengan baik, Mama yang menerima kehadirannya dengan bahagia, atau Mama yang ini dan itu, sampai ibunya hanya bisa tersenyum lebar karena merasa lega. Apa sampai sejauh ini, Mama masih akan terus membuat Adara menyembunyikan wajahnya yang sebenarnya, dengan terus menyakiti?” Mama sukses terdiam. Bukan, Mama bukannya kehilangan kata. Karena Mama jelas seorang wanita tulen yang memiliki kecerdasan verbal seperti wanita kebanyakan. Mama hanya merasa ada yang ganjil di hatinya begitu Ragha selesai dengan kalimat panjangnya. Hal baru yang tidak pernah hadir sebelumnya. Nampak seperti rasa kasihan, iba, atau hal lainnya yang sejenis. Yang Mama sendiri tidak bisa Mama deskripsikan lebih jelas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD