Ragha menuruni tangga sembari memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berat setelah semalam terjadi keributan, untuk kesekian kali. Dengan hasil akhir yang selalu sama, tidak pernah menemui titik temu.
Keningnya berkerut mendapati Adara yang masih duduk santai di ruang tengah, mengenakan piyama panjangnya. Kedua tangannya memegang setoples cookies, bungkusan coklat berserakan, lengkap dengan mulutnya yang penuh, sibuk mengunyah. Satu yang menjadi kesimpulan Ragha pagi ini, Adara belum mandi.
Ini sudah pukul tujuh kurang lima belas menit. Tentu saja Ragha dibuat tidak mengerti dengan pemandangan tidak biasa ini, sangat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.
“Kamu nggak ke kantor?” tanyanya pelan. Mengambil duduk di sebelah Adara, seraya menelisik sang istri yang hanya meliriknya kemudian kembali sibuk dengan kegiatannya. Satu respon wajar setelah keduanya kembali mendebatkan sesuatu yang sama semalam.
“Dara,” panggilnya lagi, karena setelah beberapa detik berjalan Adara tidak juga mengeluarkan suara.
“Nggak.”
Jawaban singkat yang menimbulkan senyuman miris. Ragha mencoba memahami rasa tidak menyenangkan yang melingkupi hati Adara saat ini. Tidak ingin kembali berdebat, apalagi di waktu sepagi ini. Ragha memilih melupakan sejenak pertengkaran mereka semalam. Mencoba mencairkan kerasnya hati Adara dengan sikapnya yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Kamu datang bulan makanya jadi garang begini?” Satu usaha terucap lancar. Berharap respon Adara akan baik dan tidak menimbulkan pertengkaran yang lebih parah.
Adara beralih tatap. Melotot tajam pada Ragha yang sibuk dengan ketidaktahuannya. Salahkah?
“Ya, kenapa? Aku cuma nanya, kok tumben kamu belum siap-siap ke kantor. Ini udah hampir jam tujuh, Sayang.”
Sialan! Kenapa juga Adara harus bersemu di saat seperti ini? Padahal Adara berniat marah-marah pada suaminya, yang secara tidak langsung menyentil harga dirinya. Dan juga, Adara tidak akan melupakan kemarahannya yang meluap semalam.
“Cuti, tiga hari,” jawabnya ketus. Kembali mengalihkan tatapannya ke arah depan. Tujuan utamanya tentu bukan untuk menonton tampilan layar di depan sana. Adara hanya menghindari tatapan mematikan suaminya. Serta menyembunyikan rona merah yang dengan tidak tahu malunya muncul begitu saja.
“Kamu termasuk anak baru ‘kan di kantormu? Udah bisa ambil cuti memang? Kalau di kantorku nggak akan aku kasih izin cuti seenaknya. Gimana mau lihat kinerja kamu, kalau belum apa-apa udah ambil cuti.”
Ragha memang menyebalkan! Bisa-bisanya kembali memojokkan Adara yang posisinya memang sudah terpojok. Membuat amarahnya kembali meluap. Tapi Adara mencoba meredam itu. Mungkin Ragha tidak bermaksud memojokkannya. Lelaki itu hanya sedang menjelaskan perbedaan kantor tempat Adara bekerja dan kantor keluarga yang dipimpin oleh Ragha.
“Aku buat kesalahan kemarin, nggak fokus. Dikasih cuti tiga hari buat nenangin diri.”
Ragha mengangguk-angguk paham. “Enak dong, jadi punya waktu lebih untuk ngurus suami.”
See, bahkan Ragha begitu santai dalam menanggapi keluhan Adara. Benar-benar menyebalkan. Apakah lelaki ini tidak ingat jika semalam keduanya sudah saling melempar kalimat tajam? Disertai pelototan juga kondisi hati yang belum kembali tertata.
Ingin marah? Tentu saja. Adara bahkan berniat mencakar wajah suaminya, kebetulan kuku tangannya belum dipotong. Sayangnya, kondisi hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Membuatnya enggan untuk sekadar membalas kalimat godaan Ragha.
“Dara.”
Mendengus sebal, hanya deheman sebagai respon. Adara sedang tidak ingin bermain-main sekarang.
“Dara.”
“Apa?”
“Lihat sini. Nggak sopan kamu, suami lagi bicara kamu cuek begitu.”
Terpaksa, Adara mengalihkan tatapannya. Masih belum bersahabat. Adara benar-benar lelah dengan semua hal yang bergerumul di kepala, memenuhi hati, dan mencoreng harga diri. Sayangnya, Ragha bukan suami yang peka untuk hal seperti ini. Entahlah, salahnya yang tidak mau berbagi atau Ragha yang terlampau cuek.
Adara mengernyit bingung saat Ragha mengulurkan dasi. Ragu, tentu saja. Bahkan kegiatan semacam ini, memakaikan dasi, memilihkan kemeja, sampai pada menyiapkan sarapan untuk Ragha adalah hal yang sudah sangat lama tidak ia lakukan.
Adara selalu berpikir, jika kegiatan yang sudah-sudah bukan lagi tugasnya. Semenjak hubungan keduanya merenggang dan kian jauh, Adara tidak lagi memiliki keberanian untuk mencampuri urusan Ragha dalam segala hal.
“Kamu nggak buru-buru ke kantor, ‘kan? Suamimu minta tolong.” Kalimat Ragha begitu halus, lelaki itu juga menyunggingkan senyuman manis sembari mengangguk beberapa kali. Mencoba meyakinkan Adara agar mau meraih uluran dasinya. Dan ya, beberapa detik setelahnya, Adara meraih dasi itu. Bergerak maju, mendekati Ragha agar lebih mudah dalam memasangkan dasi.
Debaran jantung itu kembali, menggedor di balik rongga d**a. Ada getaran aneh, yang sudah sangat Adara kenal sebelumnya. Sama seperti getaran yang dulu sering kali ia rasakan saat kebersamaannya dengan Ragha. Disusul rona kemerahan yang menghiasi pipi saat tatapannya tanpa sengaja menelusuri pahatan tegas wajah suaminya.
Adara sampai mengalihkan pandangannya dan berdehem pelan. Sekadar menetralkan atas rasa lama yang begitu menenangkan. Namun sayangnya tidaklah lagi berguna, lantaran kedua tangan Ragha yang merambat, memeluk pinggangnya erat. Membuat jarak keduanya lebih dekat, bahkan Adara sedikit terdorong ke depan karenanya.
Tahu betul, Ragha sedang memperhatikannya dari jarak yang begitu dekat. Belum lagi napas hangat sang suami yang menerpa wajahnya, membuat suasana di pagi hari menjadi sedikit berbeda.
Adara mencoba mengabaikan itu. Sibuk sendiri dengan simpul dasi sang suami. Tidak mau terperosok lebih jauh dalam pesona mematikan seorang Ragha Ganendra. Karena Adara sadar, dirinya yang lemah akan kesulitan dalam melepaskan ikatan itu.
Mendesis sebal begitu kegiatan memasangkan dasi tidak kunjung usai. Adara tersesat. Sudah terlalu lama tidak melakukan kegiatan semacam ini membuatnya lupa. Dan terjebak dalam pengaplikasian yang tidak kunjung menemui titik terang.
“Kenapa?”
Suara rendah yang sedikit serak itu menyapa rungu Adara. Yang sialnya, terdengar begitu … ehm, seksi. Membuat Adara menggigit bibir bawahnya, menahan rasa aneh di dalam hati yang terus meletup-letup.
“Aku lupa cara pakainya, maaf,” ucapnya. Wajahnya terangkat, membuat jarak keduanya lebih-lebih dekat dibanding sebelumnya. Adara tidak hentinya meruntuk diri sendiri di dalam hati, karena langkah yang diambilnya salah. Membuat Adara terjebak, sibuk dengan pengagumannya akan sosok suaminya.
Ya Tuhan, kenapa Ragha terlihat lebih tampan dari yang terakhir kali? Kenapa tatapannya seolah menyiratkan kalimat perintah agar Adara terus tunduk di bawah kuasanya?
Sayang seribu sayang, hati Adara yang lemah tidak mampu menahan luapan kerinduan itu. Tidak mampu menepis wajah tampan sang suami yang kini mengikis jarak. Sampai di detik berikutnya, Adara kembali kehilangan oksigen yang sebelumnya ia hirup dengan percuma. Sama-sama meresapi perasaan yang kian membumbung. Seolah mendorong keduanya untuk berbuat lebih jauh, seperti dulu, sebelum semua menjadi serumit ini.
Beruntungnya, Adara masih memiliki cukup kesadaran. Membuat sepasang tangannya bergerak menolak, mendorong Ragha untuk menghentikan semuanya. Sebelum Adara terperosok kian jauh dan membuatnya menjadi satu-satunya yang menyesali semuanya.
“Kenapa?” Ragha kembali bertanya. Jelas kesal karena Adara menghentikan kegiatannya.
“Mas bisa terlambat ke kantor.”
Bukan. Bukan kalimat itu yang seharusnya terlontar. Adara seharusnya memberi kalimat yang lebih tajam. Kalau bisa sampai menodai harga diri Ragha. Agar lelaki itu kesal dan berakhir meninggalkannya. Atau yang lebih ekstrem, beri pukulan atau tamparan maut di sebelah pipi.
Sayangnya, Adara sudah terperosok. Otak dan tubuhnya kembali ingkar dengan keinginan hati. Terbukti dari kedua tangannya yang sudah sibuk meremas kerah kemeja Ragha, sebagai pelampiasan rasa membingungkan yang membuat kepalanya tidak mampu berpikir benar.
Ragha menyematkan senyuman yang terlampau manis. Berhasil membuat Adara merasa seperti gadis kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. “Aku bisa menunda pekerjaan, kalau kamu mau menghabiskan satu hari ini dengan aku.”
Kalimatnya terlampau sederhana. Tapi entah bagaimana seperti magnet dari segala kata yang membuat Adara tidak mampu berkata, tidak mampu berkutik, tidak mampu memilih. Karena pilihannya hanya satu dan harus Adara patuhi. Menghabiskan satu hari dengan Ragha.
Hati kembali meragu, namun otak dan tubuh enggan bekerja sama. Entah bagaimana, sepasang tangan Adara melakukan pergerakan yang jelas berlawanan dengan keinginan hati. Membuat keduanya kembali dihinggapi perasaan menggetarkan di tengah rasa rindu yang membuncah.
Satu yang Adara sadari, otak dan tubuhnya kembali mengkhianati isi hati, untuk kesekian kali.
***