6. Luka Hati Adara

1678 Words
Adara masih setia membuka lebar matanya. Lelahnya fisik karena pekerjaan di tambah kondisi hatinya yang memburuk, tidak membuatnya segera menaiki ranjang dan menarik selimut untuk terlelap. Satu cara ampuh untuk menghilangkan beragam beban yang dipikul pundaknya. Justru Adara memilih untuk tetap terjaga sembari menikmati secangkir kopi di meja makan, seorang diri. Asapnya yang mengepul dan membawa aroma harum membuatnya merasa tenang. Memang tidak mampu menghilangkan beban berat yang dipikulnya. Tapi setidaknya, Adara bisa merasakan efek relaksasi yang membuat suasana jauh lebih baik dari sebelumnya. Jarum jam bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang terlalu larut untuk menikmati secangkir minuman pemberi efek anti kantuk. Adara tahu esok hari akan ada efek buruk berupa tidak bersemangat bangun dan menjalani hari dengan lesu. Namun bukan masalah besar. Adara sudah terlampau biasa menjalani hari-harinya dengan kaki terseok berat. Lagi pula, ia sudah memulai masa cutinya esok hari. Mau tidur seharian pun bukan masalah besar. Dhia tidak berada di rumah malam ini. Sore tadi, Dhia izin akan menginap di rumah temannya yang baru saja kehilangan sang mama. Karena Dhia memiliki hubungan yang begitu erat dengan temannya itu, maka menjadi satu kewajiban untuk terus berada di sisinya kala sedih menghampiri. Karena memang begitulah seharusnya. Sedangkan Bibi dan Pak Rozi mungkin sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi. Bekerja seharian tentu membuat tubuh letih dan ingin segera diistirahatkan. Membawa keduanya cepat-cepat ke alam mimpi untuk memulihkan tubuh yang lelah. Dengan harapan, esok bisa kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Menyisakan Adara seorang diri yang mengisi kekosongan ruangan dalam rumah. Menikmati setiap pergerakan sang waktu dengan beragam hal buruk yang hadir dan menari-nari di kepalanya. Menimbulkan efek menyesakkan dalam d**a, membuka luka lama untuk menganga lebih lebar. Membawa rasa sakit yang semakin parah untuk setiap detiknya. Tapi nampaknya, Adara sudah terlalu hapal dengan rasa yang selama ini ia derita. Bukan menjadi masalah besar yang harus membuatnya lemah. Karena sejak awal memang ia sudah terlalu akrab dengan hal-hal yang menggerogoti isi hatinya. Suara langkah kaki menggema tepat di belakangnya. Menimbulkan satu suara baru di tengah keheningan yang mengisi seluruhnya. Membawanya perlahan mendekat ke arah Adara yang masih enggan menoleh. Disusul harum khas yang sudah sangat Adara hapal. Tanpa menoleh dan memastikan, Adara sudah tahu jika yang hadir adalah Ragha. Lelaki itu muncul setelahnya. Masih mengenakan kemeja kerja dengan dua kancing teratasnya yang terbuka, tanpa dasi, tanpa jas yang pagi tadi membalut rapi di sana. Wajah tegasnya yang datar nan dingin kini nampak lesu. Ditambah rambutnya yang teracak. Membawa satu fakta jika Ragha lelah setelah menghabiskan satu harian ini di kantor. Tidak ada sapaan selamat malam, sambutan, atau hal lain sejenisnya. Adara memilih mengabaikan eksistensi Ragha yang jelas nampak dalam pandangannya. Fokusnya hanya tertuju pada secangkir kopi yang sudah ia minum separuhnya. Helaan napas kasar itu membuat Adara mengangkat pandangannya. Mendapati Ragha yang sudah mengambil duduk tepat di hadapannya. Baru saja menenggak segelas air putih, menyisakan gelas bening tanpa isi. “Kenapa belum tidur?” tanya Ragha lirih. Adara kembali mengalihkan fokus. Enggan bertatapan dengan mata tajam Ragha yang selalu membuatnya nampak menyedihkan. Adara mengakui, mau sekeras apapun ia berusaha, Ragha akan selalu menempati posisi nomor satu sebagai juaranya. Adara menggeleng pelan. “Belum ngantuk,” jawabnya singkat. Sebelah tangannya kembali sibuk mengaduk secangkir kopi yang mulai dingin. Tidak lagi sehangat tadi, tidak lagi semenenangkan tadi. Sama seperti suasana malam ini yang berubah dingin begitu Ragha hadir dan mengisi kekosongan. Ragha kembali menghela napas kasar. Melirik tidak suka ke arah cangkir kopi Adara. Tidakkah Adara tahu hari sudah malam? Bukannya memendam diri di balik selimut dan tidur nyenyak malah memilih menyesap kopi yang akan membuatnya terjaga sepanjang malam. “Kamu seharian kerja, tubuh kamu butuh istirahat, Dara.” Adara terkekeh pelan. Ia bisa mendengar dengan jelas ada nada tidak suka di balik suara Ragha yang pelan. Satu hal yang menurut Adara tidak perlu lagi menjadi sesuatu yang mengganggu Ragha, mengingat status keduanya hanyalah tertulis di atas kertas. Dan mungkin sebentar lagi akan benar-benar berakhir. Adara hanya perlu menunggu sedikit lebih lama untuk benar-benar lepas dari ikatan menyesakkan ini. “Mas nggak perlu sampai sepeduli ini. Masih banyak hal penting yang harus Mas pikirkan. Abaikan keberadaanku dan segala yang aku lakukan. Karena aku memang bukan lagi prioritas dalam hidup Mas.” Tangan Ragha terkepal kuat. Mencoba meredam amarahnya yang tiba-tiba hadir setelah kalimat yang Adara sampaikan seolah tanpa beban. Ragha sadari betul, hari sudah malam. Ia tidak mungkin membuat keributan dan membangunkan seluruh penghuni rumah. Walaupun jika terjadi keributan pun, Ragha yakin, Bibi dan Pak Rozi tidak akan berani hadir dan menghentikan semuanya. “Dara, ini udah malam dan aku nggak mau berantem.” Ragha masih mencoba bersabar. Menahan kuat-kuat api amarah yang hampir menyulut keluar. Hari ini benar-benar melelahkan. Mengurusi pekerjaan yang menggunung, yang berhasil memutar otaknya untuk bekerja keras. Ragha juga harus menghabiskan separuh malam untuk menyelesaikan pekerjaan agar tidak kian menumpuk. Tapi begitu sampai rumah, ia hanya disandingkan keberadaan Adara dengan kalimatnya yang tidak jelas. Omong kosong yang sama, seperti yang selalu ia dengar di hari-hari lalu. Adara mengangguk. Ada dengusan sinis yang tertangkap jelas di indra pendengaran. Satu hal yang cukup mengganggu dalam pandangan Ragha. “Mas memang selalu menganggap aku begitu. Semua keributan yang terjadi di antara kita akan selalu menjadi salahku sendiri.” Ragha tersenyum miris menatap Adara yang masih menunduk di hadapannya. Enggan merespon kalimat tajam itu. Karena wajah Adara terlalu menarik perhatiannya. Mengagumi setiap ekspresi yang nampak di wajah cantik itu. Senyumnya, tawanya, wajah kesalnya, pelototan tajam yang justru nampak begitu menggemaskan. Sayangnya, seiring waktu berjalan, ekspresi yang selalu menjadi favorit itu kian menghilang. Berganti dengan wajah Adara yang datar, tanpa ekspresi. Adara terlalu menjaga jarak. Itu yang Ragha rasakan setelah hari itu. Saat masalah besar yang menjadi akar keretakan mulai muncul di permukaan. Membuat keindahan berubah dalam sekejap mata. Mengubur perasaan mendalam yang dulu sempat mekar. Dan entah sampai kapan perasaan itu akan terus terpendam ... semakin dalam. Sampai tanpa sadar menghilang, tanpa jejak berarti. “Mas,” panggil Adara dengan suara lirih. Ragha menatapnya dengan tatapan tanya yang terlihat jelas. Menunggu kalimat tajam lainnya yang mungkin akan terucap dan kembali menancapkan duri yang kian menyesakkan dadanya. “Sampai kapan kita akan terus terjebak dalam hubungan ini? Aku udah dapat pekerjaan dan bisa menghidupi diriku sendiri. Mas nggak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku lagi. Aku bisa mengurusi hidupku sendiri.” Adara menghentikan kalimatnya sejenak. Sekadar mengamati wajah Ragha yang sudah mengeras untuk menahan amarahnya. Juga tangannya yang bertengger di atas meja sudah terkepal. Menunjukkan urat-urat halus yang mampu membuat Adara bergidik ngeri. Ia tahu, ia sedang membangunkan api amarah yang sebelumnya redam dalam kediaman. Namun untuk kali ini, Adara tidak ingin berhenti. Ia lelah dengan hari-hari yang dijalaninya. Ia enggan menyerah sebelum benar-benar lepas dari Ragha. “Lagi pula, bayi yang menjadi alasan kita terikat udah nggak ada. Dia nggak rela lahir dari seorang perempuan yang hadirnya hanya untuk menghancurkan rencana indah orang lain. Mas udah nggak punya alasan untuk tetap mempertahankan aku di sini.” “Bisa kamu berhenti sekarang?” Kalimat tegas itu lolos. Wajah Ragha sudah memerah padam dengan guratan amarah yang nampak jelas. Lagi-lagi menimbulkan suara tawa sinis dari Adara. “Kenapa? Mas belum puas membuat hidupku menderita? Mas nggak pernah tahu gimana aku menjalani hari-hariku dengan rasa sakit yang semakin menyiksa setiap harinya. Mas juga tahu secara jelas kalau Mama membenci keberadaanku, ‘kan? Mau sampai kapan Mas egois dan membiarkan aku hidup seperti ini?” Pada akhirnya Adara berteriak marah. Mengungkapkan segala perasaan tidak menyenangkan yang selalu mengisi keseluruhan hatinya. Meluapkan kemarahan yang selama ini ia pendam dalam-dalam agar tidak meluap keluar. Namun semakin lama, semakin menumpuk dan tidak mampu lagi Adara pendam. Semua hal buruk itu terus menyiksanya. Dan Adara ingin segera bangkit dari persakitan ini. “Kamu yang egois, Dara. Berhenti sekarang dan lihat lebih jelas. Bukan hanya kamu yang menderita dalam cerita ini, aku juga.” Adara tertawa. Air matanya menetes dan membuatnya mengusap dengan kasar. Ia benci. Ia selalu benci untuk terus terlihat lemah di hadapan Ragha. Ia membenci dirinya yang begitu cengeng sampai menunjukkan air matanya. Padahal Ragha masih terus tegar di posisinya. Menampilkan raut datar andalan, tanpa pernah terpengaruh oleh kalimat-kalimat yang Adara lontarkan dengan penuh amarah. “Maka dari itu akhiri semuanya. Mas bisa hidup sesuai apa yang Mas mau, begitu juga dengan aku.” Ragha segera beranjak. Menyudahi pembicaraan tidak berujung yang selalu menyulut amarahnya. Ia lelah dan ia tahu Adara sama lelahnya. Bukan sekarang waktu yang tepat untuk membicarakan semaunya. Karena jika Ragha tetap di posisinya dan melanjutkan pembicaraan, hubungan tidak jelas ini akan semakin berantakan. “Lagi?” Adara berteriak marah. Menghentikan langkah Ragha yang hampir sampai pada tangga pertama. Adara sudah berdiri dan menatap punggung Ragha nyalang. Ia selalu tidak suka untuk terus menggantung pembicaraan dan membuatnya kian menyedihkan setiap harinya. Tidakkah Ragha mengerti perasaannya? “Mau sampai kapan Mas menghindar begini? Mau sampai kapan Mas menyiksa aku dalam hubungan ini? Mas hanya perlu memutus semuanya dan kita selesai. Kenapa Mas terus mempersulit semuanya?” Ragha berbalik. Tatapannya masih sama tajam dengan helaan napas yang nampak jelas. Menyoroti Adara yang belum sembuh dari luapan kemarahan. Jika bisa, Ragha ingin beranjak dan menghampiri Adara. Membawanya ke dalam pelukannya dan membisikkan kalimat-kalimat menenangkan. Namun kondisi keduanya teramat tidak memungkinkan. Ragha tidak bisa menyulut emosi Adara agar semakin nampak jelas. “Bisa tunggu sebentar lagi?” tanyanya lirih. Ragha menahan kuat-kuat emosinya agar tidak hadir dan menyakiti Adara lebih dalam lagi. Ia tahu Adara lelah. Emosi yang kini nampak juga bagian dari luapan rasa lelahnya. “Sampai kapan?” Suara Adara melirih. Tatapan sendunya seolah menancapkan banyak luka dalam hati Ragha. Satu hal yang selalu membuat Ragha merasa jika keberadaannya adalah kesalahan. Adara tidak pernah bahagia berdiri di sisinya. Justru kian tersakiti dan menderita. “Sampai aku bisa menemukan alasan yang tepat untuk melepas kamu pergi.” Setelah kalimatnya, Ragha berbalik dan pergi. Menyisakan Adara yang kembali meneteskan air matanya dalam kesendirian. Menikmati keheningan yang mencekam dalam buliran air mata yang menetes kian deras. Menyiratkan satu persakitan mendalam, yang sudah ia rasa sejak waktu yang lama. Adara kalah. Lagi-lagi Adara kalah memperjuangkan luka hatinya yang kian melebar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD