Tangan Adara menggantung di knop pintu. Ragu, tentu saja. Mengingat semua kegiatannya dengan Ragha yang nyaris menghabiskan ‘satu hari’.
Ragha memang gila. Bisa-bisanya mengurungnya selama seharian ini di dalam kamar dengan kegiatan yang, ya … begitulah. Tidak mungkin Adara jelaskan lebih lanjut. Adara bahkan harus menahan laparnya lantaran tidak makan siang.
Jam dinding sudah menunjuk angka tujuh. Itu artinya, Bibi sudah menyiapkan menu makan malam. Atau mungkin, Dhia sudah duduk diam, sendirian di kursi makan. Sembari menatap menu makan malam yang tersaji dengan begitu rapi. Hanya tinggal menunggu si tuan rumah yang tidak kunjung memunculkan diri.
Salahkan saja Ragha yang tidak tanggung-tanggung dalam menghabiskan waktu. Belum lagi tanda kemerahan yang nampak jelas di bagian lehernya, membuat Adara harus kembali mengulur waktu untuk menutupi semua tanda itu. Benar-benar Ragha!
“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana, Dara?”
Adara menoleh, mendapati sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tampilan yang membuat Adara kembali bersemu. Ragha mengenakan bathrobe abu-abu, dengan sebelah tangan sibuk mengusap rambutnya yang basah.
Oke, sepertinya kesalahan kali ini bukan berasal dari penampilan sang suami. Hanya saja, otaknya yang mulai tidak baik dalam memproses suatu kejadian. Bahkan Adara sudah menelisik lebih jauh pada d**a bidang suaminya yang terlihat sedikit … sangat sedikit.
Ayolah, Adara, lupakan sejenak mengenai berapa banyak pack yang terbentuk di perut Ragha. Yang saat ini dibutuhkan perutnya adalah makanan. Benar-benar makanan!
Seringaian itu muncul begitu saja. Sudah mengerti dengan respon Adara yang begitu menggemaskan di matanya. Pipi bersemu, bibir mengerucut, dan sebelah tangan yang beberapa kali memukul kepala. Sepertinya otak jernih Adara mulai keruh lantaran ajaran tidak baik suaminya.
“Jangan dipukul,” ucap Ragha setelah meraih sebelah tangan Adara. Membuat gerakan memukul itu terhenti. Digantikan dengan kecupan singkat beberapa kali, yang berhasil membuat bulu-bulu halus di sekitar leher Adara meremang. Ya Tuhan, jangan lagi.
“Mas, aku lapar.”
Adara berniat menyampaikan kalimatnya dengan sentakan galak, bukan malah bisikan lemah yang sedikit serak. Benar-benar, sudah terjadi keanehan pada raga dan jiwanya. Bolehkah untuk yang satu ini Adara melimpahkan kesalahan pada Ragha?
Ragha mengangguk paham. Sebelah tangannya terulur, meraih knop pintu di belakang tubuh Adara. “Kamu bisa turun,” ucapnya tanpa beban. Sedangkan Adara kembali bersemu. Sukses menimbulkan kerutan di kening.
“Nggak mau turun sendiri.”
“Kenapa?” Pertanyaan menyebalkan yang terucap dengan senyuman tertahan. Tanpa Adara berbicara panjang lebar untuk penjelasan pun, Ragha sudah mengerti.
“Mas,” rengek Adara dengan wajah memelas. Ragha tertawa dibuatnya. Meraih sang istri, memendamkan wajah memerah Adara pada d**a bidangnya. Kembali memberi ciuman lembut di rambut panjang itu. Tempat yang sama, yang biasa digunakan untuk memendam wajahnya ketika lelah dari kegiatan panjang berujung kebahagiaan itu. Hah … sudah, cukup! Jangan sampai otak Ragha berkelana lebih jauh dan kembali menggunakan waktu makan malam sang istri.
“Sebentar, aku pakai baju dulu.”
Selang lima menit, Ragha kembali hadir tepat di hadapan Adara, sudah lengkap dengan pakaian santainya. Merangkul sang istri dan mengajaknya keluar kamar untuk makan malam.
Sepertinya pilihannya untuk turun bersama Ragha adalah sebuah kesalahan. Karena tatapan tiga manusia di meja makan berhasil menimbulkan rona kemerahan di pipi. Belum lagi Dhia yang sudah senyum-senyum aneh membuat Adara merasa begitu malu.
Kondisi berbeda terjadi pada Ragha. Lelaki itu hanya mengangkat sebelah alisnya dan mengambil duduk di salah satu kursi. Langsung sibuk mengambil makanan tanpa memperhatikan sang istri yang sudah sibuk bersemu.
Dhia berdehem berkali-kali, jelas tujuannya untuk menggoda Adara. “Mbak udah selesai produksinya?”
Adara tersedak lantaran pertanyaan terang-terangan dari Dhia. Ragha dengan sigap memberi segelas air, sebelah tangannya mengusap punggung Adara lembut, sekadar menenangkan. Sementara itu, sepasang matanya melotot tajam pada Dhia, menyiratkan perintah untuk tidak menyampaikan kalimat ajaib lainnya. Ya, Ragha sadar betul, adik bungsunya adalah salah satu manusia aneh yang pintar berbicara.
“Maaf, Mbak,” ucap Dhia dengan wajah menyesal. Adara tersenyum lembut seraya menggeleng. Tidak apa-apa. Lagi pula ini bukan kesalahan Dhia. Adara yang terlalu terkejut dalam menanggapi kalimat tidak tertebak itu.
“Mulutku emang suka nggak direm kalau bicara. Maaf banget ya, Mbak Dara. Jujur aja, aku excited banget waktu siang tadi dengar suara Mbak yang manggil-manggil Mas Agha, kayaknya sakit banget ya, Mbak? Sampai ngabisin satu hari lagi. Mas Agha emang produktif banget, Mbak. Nggak mau kehilangan waktu gitu aja. Bagi Mas Agha waktu adalah uang. Nggak nyangka aja kalau dia juga pakai prinsip itu untuk berhubungan ….”
Suasana meja makan berubah canggung begitu Dhia sadar dari kalimat panjangnya. Tersenyum malu, dengan tatapan meminta maaf. Jika saja Ragha tidak berdehem keras, mungkin Dhia masih akan melanjutkan kalimatnya, menjadi lebih panjang, menjadi lebih jelas.
“Hehe … sori,” ucapnya lagi. Setelahnya Dhia memilih menunduk, sibuk menikmati menu makan malamnya. Mencoba tidak peduli dengan pipi Adara yang memerah padam.
Sementara itu, Ragha tersenyum tipis, meraih kepala Adara mendekat. Memberi ciuman sayang di kening istrinya. “Nggak apa-apa,” bisiknya.
“Aku juga sama excitednya seperti Dhia. Aku tunggu kabar baiknya, Sayang,” lanjutnya dengan sebelah tangan yang mengusap perut Adara. Satu perlakuan yang berhasil menimbulkan rona kemerahan itu semakin parah dan tanpa bisa mengelak, Adara merasakan hatinya menghangat.
Ragha dan Dhia adalah paket lengkap untuk ikatan persaudaraan.
***
Adara masih mematung, menatap kepergian mobil suaminya dari balkon. Ada tatapan tidak rela juga perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam hati. Tapi berusaha Adara tepis.
Pikiran negatif. Selalu seperti itu setiap kali Sana datang, mengatakan maksudnya untuk menjemput Ragha. Alasannya sama seperti yang sudah-sudah, undangan makan malam dari sang mama.
Dalam hal ini, Adara merasa posisinya tidak terlalu penting. Status ‘istri’ yang disandangnya tidak begitu berguna. Kalau pada praktiknya, Ragha tidak membutuhkan izinnya untuk hal semacam ini.
Langkahnya terayun, menuju meja rias di sudut lain. Duduk diam, dengan pikiran yang semakin liar. Keraguan dan kecemburuan yang bertemu, menimbulkan satu perasaan tidak menyenangkan. Memaksa tangannya untuk meraih bungkusan pil yang separuhnya sudah kosong, menyisakan 14 bulatan kecil.
Kalimat berisi satu harapan mendalam itu berdengung di telinga. Disusul senyuman lembut yang juga membuat hati Adara menghangat. Nyaris kembali melayang pada angan-angan semu yang tidak seharusnya kembali hadir di kepala.
Adara menggeleng. Mengusap perutnya, mengikuti gerakan lembut Ragha. Adara bahagia bukan main mendapati sikap suaminya, tadi. Tapi sesaat, rasa itu hancur, melebur, berubah menjadi kegundahan.
Adara sempat ingin menghentikan penggunaan salah satu alat kontrasepsi ini. Tahu betul, Ragha menginginkan anak darinya. Namun sayangnya, rasa tidak menyenangkan itu kembali. Membuatnya urung menyerahkan hatinya pada sang suami.
Jika saja nanti Adara sudah jatuh sepenuhnya, Ragha bisa saja menghempaskannya. Ingat lagi, ikatan itu terbentuk bukan karena cinta. Adara hanya perempuan biasa, masih banyak perempuan mengagumkan di luar sana. Sangat mudah untuk Ragha mencari yang lebih.
Takut, jika nanti Adara mengandung, masalah akan semakin rumit. Adara lelah dengan kebencian Mama. Enggan membagi rasa sakit itu dengan anak yang nantinya ia kandung. Lebih baik begini, daripada anaknya lahir tanpa rasa cinta yang seharusnya.
“Maaf, Mas,” ucapnya lirih.
Adara membenci ketika melihat senyuman Ragha, usapan lembutnya di perut, atau pancaran matanya yang menyiratkan harapan. Merasa dirinya begitu jahat, karena tanpa Ragha sadari, Adara yang membuat harapan itu tidak kunjung menemui titik temu. Membiarkannya menggantung, tanpa pernah tahu kapan akan terkabul.
***