9. Hadir Untuk Luka

1898 Words
Mama bisa melihat wajah Ragha yang nampak berseri-seri begitu memasuki rumah. Diikuti Sana yang juga memasang senyuman lebar untuk menyambut pelukan Mama. Dua perempuan berbeda usia itu sempat saling menanyakan kabar. Sampai akhirnya melangkah masuk, mengikuti Ragha yang sudah terlebih dahulu berbincang dengan Papa di ruang tengah. “Bawa kabar baik?” tanya Papa seraya melipat koran yang menjadi teman menunggu kehadiran Ragha. Ragha tertawa renyah. Setelahnya menyalami Papa. “Apa kabar, Pa?” tanya Ragha sopan. “Kabar Papa baik. Dan sepertinya kabarmu jauh lebih baik.” Ragha hanya menampilkan senyuman lebarnya. Masih mengingat jelas alasan apa yang membuat hatinya dilingkupi rasa bahagia. Walaupun Ragha berusaha untuk bersikap biasa saja, orang-orang di sekitar akan tetap bisa menangkap aura lain yang memancar jelas. Membuat Mama memincang curiga. Ragha sudah lama terlihat muram. Menahan banyak tekanan yang terjadi di rumah tangganya. Yang tidak bisa dipungkiri jika semua kekacauan itu bersumber dari Mama. Mama tidak pernah setuju dengan pernikahan Ragha dan Adara. Jauh sebelum Adara hadir dan menghancurkan semuanya, Ragha memang sudah terikat dengan seorang perempuan pilihan Mama, Shaqueena Arden namanya. Perempuan yang cantik nan anggun, berpendidikan tinggi, dan berasal dari keluarga berada. Anak dari sahabat lama Mama. Ragha dan Sana juga sudah bersahabat sejak kecil. Namun keduanya harus terpisah dalam jarak saat mencapai usia remaja. Mama sudah menyukai Sana sejak dulu. Untuk pembahasan perjodohan itu pun sudah menjadi perbincangan menyenangkan semenjak keduanya masih kecil. Mama yang penuh ambisi, memasukkan pernikahan Ragha dan Sana sebagai salah satu ambisinya. Yang selalu diusahakan dan besar kemungkinannya untuk terlaksana. Keduanya bertunangan semenjak Ragha memasuki masa akhir perkuliahan. Hubungan keduanya juga nampak baik-baik saja, walaupun Ragha sempat menolak pertunangan itu sejak awal. Tapi lambat laun, Ragha tidak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan. Semua nampak normal, semua nampak baik-baik saja. Hanya saja, Sana memang selalu mengeluhkan perasaan Ragha. Lelaki itu hanya menjalani hubungan pertunangan itu sebagai bentuk baktinya pada Mama. Tidak pernah menyalurkan seluruh hatinya dalam hubungan itu. Sana sudah sering kali hampir menyerah. Mengatakan rasa lelahnya karena dalam hubungan itu hanya ia sendiri yang berusaha. Sementara Ragha tetap diam di posisinya. Namun Mama selalu mengatakan, jika lambat laun Ragha akan jatuh cinta pada Sana. Apalagi Sana memang sudah menemaninya sejak awal. Tidak pernah menyangka, jika malam itu, Ragha justru hadir di rumah keluarga. Membawa seorang perempuan muda ke hadapan orang tuanya. Ragha juga mengakui secara gamblang jika ia sudah melakukan satu kesalahan besar. Ada janin dalam kandungan Adara yang harus dipertanggungjawabkan. Plak …. “Perempuan murahan. Seharusnya kamu tahu di mana kamu berada!” teriak Mama setelah melayangkan tamparan kasarnya di sebelah pipi Adara. Perempuan itu sudah bersimpuh sejak awal sembari mengeluarkan air matanya yang tidak kunjung berhenti. Papa langsung menahan pergerakan Mama. Mencegah perbuatan kasar yang tentu akan menyakiti. Bukan hanya fisik Adara, namun juga lontaran katanya yang melukai hati Adara. “Kamu yang datang dan menggoda anak saya, ‘kan? Katakan sejujurnya, kalau bayi dalam kandungan kamu bukan anak dari anak saya! Kamu hanya perempuan murahan yang memanfaatkan anak saya untuk bertanggung jawab!” Teriakan Mama semakin menjadi. Menorehkan rasa yang lebih pedih di hati terdalamnya. Membuatnya tidak mampu hanya untuk sekadar mengangkat wajah dari tundukannya. Sebelah tangannya meremas kemeja di bagian d**a, guna menghilangkan rasa sesak yang membuatnya kian tersiksa. Sepasang matanya terpejam erat untuk menghentikan air mata yang belum surut sejak tadi. Sembari berusaha menulikan telinganya agar tidak mendengarkan kalimat-kalimat buruk yang membuatnya kian terluka. Adara tidak pernah mau menjadi seperti ini. Hadir menjadi seseorang yang menghancurkan harapan besar orang lain. Membuat mimpi yang ditorehkan sejak awal dengan tinta warna-warni berubah menjadi kelabu. Menyurutkan sebuah keinginan masa lalu menjadi sebuah tamparan akan pahitnya kenyataan. Adara tidak pernah ingin lahir untuk dibenci. Ia berharap bisa mendapatkan luapan rasa cinta setelah kepergian ibunya. Menggantikan cinta yang sejak awal ia rindukan menjadi sebuah cinta yang nyata. Namun nampaknya, Tuhan masih enggan memberi jeda. Adara masih cukup kuat untuk terus menerima hempasan kasar dari kenyataan. Adara masih cukup tangguh untuk berdiri di tengah badai yang menerpa tanpa henti. “Katakan sekarang, siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu?” Mama berteriak lebih keras. Berusaha melepaskan Papa yang sejak tadi memegangi tangannya agar tidak meraih Adara. Dan melayangkan pukulannya bertubi-tubi. Ragha menghela napasnya yang sesak. Meraih Adara dalam rangkulan tangannya. Mencoba melindungi Adara dari amukan kasar sang mama. Juga kalimat-kalimat tidak terduga yang tentu saja menyakiti hati terdalamnya. “Anak yang ada dalam kandungan Dara, anak Agha, Ma. Agha yang harus bertanggung jawab.” Ragha masih mencoba menjelaskan sembari mengusap bahu Adara yang sudah bergetar hebat. Sakit. Sungguh Ragha turut merasakan sakit melihat Adara seperti ini. “Kamu cuma dimanfaatkan sama perempuan murahan ini, Ragha! Sadar kamu siapa dan dia siapa?” Ragha memejamkan matanya sejenak. Mencoba menghilangkan amarah yang hampir saja meluap. Ia sadar, dengan siapa ia bicara. Tidak seharusnya menyertakan amarah dalam pembicaraan ini. “Ragha mencintai Dara, Ma.” Mama berteriak lebih keras. Tidak terima dengan pengakuan Ragha yang tidak terduga. “Nggak! Kamu nggak boleh mencintai perempuan murahan ini!” “Dara bukan perempuan murahan. Dia perempuan yang Ragha cintai, yang akan mengandung anak-anak Ragha, cucu Mama.” Mama semakin menggila. Meraih apapun yang bisa dijangkau tangannya dan melemparkannya dengan asal. Papa yang terus berusaha menahan, beberapa kali menyiratkan Ragha untuk membawa Adara pergi dari sini. Kondisi sedang buruk-buruknya. Mama kembali menggila setelah mendengar kabar yang tidak sesuai dengan keinginannya. Pembicaraan semacam ini tidak akan selesai jika Mama masih dalam kondisi tidak baik. Masih membutuhkan waktu lebih, agar semuanya bisa berjalan baik-baik saja. Pun jika Mama masih mau diajak berbicara dengan kepala dingin. “Dengan atau tanpa restu Mama, Agha akan tetap menikahi Adara.” Setelah mengucapkan kalimatnya, Ragha langsung membawa Adara pergi dari hadapan Mama. Membuat Mama kian menggila dengan teriakan penuh amarah. “Ragha kembali kamu!” “Perempuan murahan, kembalikan anak saya!” *** Mama memejamkan matanya. Mencoba mengusir satu kenangan buruk yang menjadi tonggak awal kehancurannya. Setelah satu kenyataan yang mampu menggerogoti hatinya sebagai seorang istri, Mama harus mendapati kenyataan lainnya yang tidak kalah menyakitkan. Kehilangan anak laki-lakinya untuk perempuan tidak jelas itu. Semenjak perselingkuhan yang Papa lakukan beberapa tahun lalu, kepercayaan Mama mulai memudar dan perlahan hilang. Karena setelah pengakuan secara terang-terangan atas satu pengkhianatan, Papa justru mengajukan permintaan untuk menikahi selingkuhannya. Pada awalnya Mama enggan memberi izin. Terlepas dari segala keangkuhannya, ketegasan, berasal dari keluarga terpandang, dan seorang wanita karir yang sukses, Mama hanya perempuan biasa yang memiliki hati sehalus kapas. Tangisannya juga akan menetes ketika merasa sedih, hatinya juga akan terluka kala terus disakiti. Tapi ternyata, waktu yang Mama beri tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Papa. Bukan kata maaf yang beliau dengar sebagai pengharapan terakhirnya, namun Papa justru sering kali menemui selingkuhannya secara diam-diam. Hal itu menimbulkan luka yang lebih parah di dalam hati Mama. Menumbuhkan satu dendam yang dipendamnya dalam-dalam. Dan akan ia salurkan dengan kejam jika waktunya sudah tiba. Satu hal fatal yang tidak seharusnya tumbuh dalam diri. Jika Mama sudah menganggap perempuan seperti Adara memiliki derajat sama seperti selingkuhan Papa. Hanya bisa hadir di tengah hangatnya keluarga. Menghancurkan ikatan yang sudah rekat lantaran keharmonisan. Menjadi duri yang masuk di tengah-tengah daging dan menimbulkan ngilu yang luar biasa. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meskipun kehadirannya yang tanpa sengaja menghancurkan mimpi indah orang lain, tentu Adara berbeda dengan selingkuhan Papa. Namun sayangnya, Mama yang sudah terlanjur sakit hati tidak bisa memandang hal semacam itu dengan hati yang lebih luas. Semua nampak sama, kehadirannya dengan tujuan yang sama. Penghancur. Ya tidak lebih dari itu. “Adara apa kabar, Ga? Seharusnya kamu ajak sekalian ke sini,” ucap Papa di tengah kegiatan makan malam bersama. Bukan hanya Ragha yang nampak terkejut dengan pertanyaan tidak terduga itu, namun Mama dan Sana juga merasakan hal yang sama. Ragha menghela napas. Menatap ekspresi Mama yang nampak berubah, namun berusaha tidak peduli. Mama masih sesekali mengambilkan lauk dan meletakkannya dengan penuh perhatian ke piring Sana. Menimbulkan senyuman Sana yang saat ini nampak canggung. Sangat berbeda dengan senyuman hangat ketika ia baru datang tadi. “Perempuan itu pasti baik-baik saja. Atau justru kondisinya jauh lebih baik sekarang. Dan juga ….” Mama menjeda kalimatnya sejenak. Hanya untuk memberi tatapan tajam pada Papa dan Ragha. “Tidak seharusnya perempuan itu ada di sini. Ini jelas bukan tempatnya,” lanjut Mama. Wajahnya yang sudah mulai menua dengan beberapa kerutan tidak menghilangkan ketegasan sama sekali. Ragha tersenyum hangat. Mencoba terlihat baik-baik saja di tengah rasa tidak terima yang muncul di dalam hati. Ragha mungkin sudah berkali-kali menorehkan luka di hati Adara. Membuat Adara hampir pergi jika saja Ragha tidak memeganginya lebih erat. Tapi bagaimanapun, perempuan yang selalu mendapatkan perkataan juga sikap tidak menyenangkan dari sang mama adalah istrinya. Ragha tidak bisa mengelak fakta bahwa ia tidak menyukai jika Adara terus menjadi pihak yang disalahkan. “Dara kelelahan, Pa. Dia banyak pekerjaan di kantor. Dara sendiri yang menolak ikut.” Papa mengangguk paham. Sementara Mama berdecih sebelum menyampaikan kalimatnya. “Bagus. Itu artinya dia mulai sadar di mana seharusnya dia berada.” Ini sudah kesekian kali. Papa juga turut merasakan jika apa yang sudah Mama perbuat adalah sebuah kesalahan. Terus larut dalam kebenciannya pada Adara. Padahal dari sorot matanya saja, semua sudah nampak jelas. Jika Adara adalah perempuan baik-baik yang tanpa sengaja tercebur di dalam lubang yang kumuh. Turut serta dalam kesalahan yang tidak pernah diharapkan. Hanya saja, Papa cukup tahu diri. Sebelumnya semuanya baik-baik saja. Tapi kondisi menjadi setidak jelas ini juga lantaran perlakuannya yang salah. “Perempuan yang seharusnya mendampingi kamu itu Sana, Ga. Perempuan baik-baik dari keluarga baik-baik. Berpendidikan tinggi dan bisa diandalkan. Sana bahkan bisa menyeimbangkan kehidupan di rumah dan mengurusi pekerjaan. Bukan perempuan itu yang malah lalai dan mengabaikan kamu. Coba bilang Mama, sudah berapa lama perempuan itu mengabaikan keberadaan kamu? Tidak menjalankan tugasnya sebagai istri. Dia nggak sadar kalau menumpang di rumahmu?” Ini yang tidak Ragha sukai dari kegiatan makan bersama keluarga. Ia sudah tidak lagi menemukan kehangatan yang dulu sempat ada. Tidak ada lagi kegiatan canda tawa yang membuat hatinya menghangat. Merasa begitu beruntung karena terlahir di tengah keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Kini yang tersisa hanya keegoisan di dalam diri masing-masing. Keinginan untuk selalu menang di tengah perdebatan yang kian memanas setiap harinya. Daripada menganggap kegiatan semacam ini sebagai makan malam bersama, Ragha lebih setuju kalau ia sedang mengikuti adu debat. Dengan Mama yang akan selalu keluar sebagai juara. “Dara kerja, Ma. Agha juga nggak masalah untuk itu. Sudah menjadi konsekuensi. Agha yang mengizinkan Dara bekerja, maka waktunya untuk mengurus Agha akan berkurang.” Ragha berusaha sebaik mungkin untuk tidak tersulut emosi. Ia tidak mau jika pada akhirnya Adara lagi yang disalahkan. Ragha adalah anak yang penurut. Tidak pernah menentang permintaan Mama. Ia pertama kali menentang saat membawa Adara ke hadapan Mama dalam kondisi hamil. Sejak saat itu, Adara selalu dilabeli perempuan tidak baik. Karena semenjak kehadirannya, Ragha yang penurut mulai berubah menjadi laki-laki pembangkang. Padahal Ragha melakukannya hanya untuk membela istrinya yang tidak bersalah. “Kalau Sana yang menjadi istri kamu, sudah jelas kamu akan diperhatikan dengan lebih baik lagi.” Ragha tersenyum setelah menghela napas beberapa kali. “Dara bekerja bukan di kantor sendiri, Ma. Dia punya bos dan punya aturan yang harus ditaati.” Mama berdecih sebal. Semenjak hadir, Adara selalu menempati posisi prioritas bagi Ragha. Dan menggeser posisi itu dengan keberadaan Sana tidaklah mudah. Karena kunci keberadaan Adara, ada di hati Ragha. Sayangnya, Sana belum bisa mencurinya. Membuat posisi Adara tidak pernah bergeser sejak awal mula. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD