Pukul sepuluh malam. Ragha baru menutup pintu kamar Sana di lantai dua rumah keluarga. Setelah acara makan malam tadi, Sana mengeluh pusing. Satu alasan yang membuat Ragha tertahan di rumah keluarga sampai selarut ini. Baru setelah Sana tidur lelap, Ragha bisa beranjak.
Berjalan menuruni tangga sembari melemaskan otot lehernya yang kaku. Ia sempat mengecek ponselnya. Hanya sekadar memastikan, apa Adara mengirim pesan atau tidak. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Adara.
Satu hal biasa sebenarnya. Namun saat ini Ragha tidak bisa menepis rasa bersalah yang bergerumul dalam d**a. Acara makan malamnya bersama Adara harus gagal lantaran kehadiran Sana. Membawa satu undangan dari Mama yang wajib hukumnya untuk ia hadiri. Membuat Ragha tidak bisa menolak dan memilih meninggalkan Adara di meja makan bersama Dhia dan Bibi.
“Pa,” sapanya saat mendapati Papa yang baru beranjak dari duduknya di sofa ruang tengah. Meraih kunci mobilnya dan menatap Ragha yang baru hadir.
“Sana sudah tidur?” tanya Papa dengan suara pelan. Sekadar berbasa-basi.
Ragha mengangguk seraya berjalan lebih dekat ke arah Papa. “Papa pulang atau tidur di sini?”
Papa termenung untuk beberapa saat. Menatap wajah putranya yang sudah beranjak dewasa. Bahkan kini sudah berkeluarga dan memiliki seorang istri. “Papa pulang.”
Ragha tidak banyak merespon. Sudah mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini. Yang dulunya Papa hanya akan pulang ke rumah ini, sekarang sudah memiliki rumah lain yang juga harus didatangi. Berperan sebagai laki-laki yang adil. Walaupun pada kenyataannya hal itu hanya omong kosong. Sekeras apapun berusaha, hasilnya akan tetap sama. Mama tidak akan pernah bisa merasakan keadilan dalam hubungan ini.
“Kamu bagaimana? Akan menginap?”
Ragha menggeleng. “Agha juga pulang, Pa.”
“Ya, segera pulang. Adara pasti menunggu kamu.”
Ada senyuman kecut yang nampak jelas. Tapi Ragha enggan merespon hal itu lebih lanjut. Karena tanpa penjelasan panjang lebar pun, Papa tentu tahu jika hubungan rumah tangganya dan Adara tidak berjalan baik. Kondisinya justru kian tidak jelas setiap harinya.
Papa menghela napas beberapa kali. Sudah begitu lama hanya menatap wajah Ragha yang nampak kelam tanpa semangat. Beban yang ditanggungnya semakin berat untuk setiap pertambahan waktu.
Paham betul, mungkin saja Ragha hampir menyerah dengan semua yang terjadi. Menginginkan kehidupan yang normal, seperti selayaknya. Namun kondisi memaksanya untuk lebih kuat, lebih tangguh. Karena ceritanya tidak akan selesai dengan semudah itu. Masih ada banyak tantangan di masa depan yang menunggu kehadirannya dengan sabar.
“Papa tahu, Papa tidak memiliki hak untuk memberi nasihat untuk kamu, untuk Dhia, untuk kalian berdua. Semenjak Papa melakukan satu kesalahan di masa lalu, Papa merasa tidak lagi layak untuk menjadi Papa untuk kalian berdua.”
Ragha tidak mengubah ekspresi wajahnya. Masih sama datar dan tegas. Karena nampaknya luka hati yang dulu sempat hadir, kini sudah perlahan samar. Ragha sudah bisa menerima apa yang terjadi dalam kehidupan. Karena memang sudah terlanjur, apa yang akan diharapkan lagi?
Lagi pula, Papa juga memiliki haknya sendiri untuk mencari kebahagiaan. Yang mungkin saja tidak didapatkan dari Mama. Hanya saja ketika keegoisan sedang memimpin di barisan paling depan, otak tidak mampu berpikir untuk mencegah perilaku buruk. Membuat kondisi yang seharusnya berjalan lancar tanpa hambatan, justru mengalami masalah parah yang tidak mudah menemui titik akhir.
“Tapi satu hal, Ga. Papa tahu kamu jauh lebih bisa menghadapi semua ini dibandingkan Papa. Lakukan apa yang menurut kamu benar, jangan terkecoh oleh apapun yang mengganggu,” ucap Papa seraya menepuk bahu Ragha beberapa kali. Seolah memberi satu semangat yang memang sedang Ragha butuhkan di tengah kondisi tidak menyenangkan ini.
“Kamu memiliki hak untuk memilih bagaimana hidupmu. Tetap pertahankan Adara di sisi kamu kalau memang dia sumber kebahagiaan kamu. Tapi kalau kamu merasa hanya bisa menyakiti Adara, lekas berhenti dan biarkan Adara mencari kebahagiaannya sendiri.”
Ragha mengangguk paham. Memasang senyuman mengiyakan atas nasihat Papa.
“Pa,” panggil Ragha begitu Papa baru saja berbalik. Hendak meninggalkan rumah keluarga yang dulunya menyimpan hal-hal indah. Mengubahnya menjadi kenangan yang hanya bisa diingat-ingat tanpa pernah bisa kembali terulang.
"Agha memang nggak bisa membenarkan perilaku Papa di masa lalu. Dengan alasan apapun, perselingkuhan yang Papa lakukan adalah sebuah kesalahan. Tapi dengan atau tanpa perselingkuhan itu, Papa tetap sosok Papa yang baik untuk Agha dan Dhia.”
Semua nampak lain, tidak lagi seindah dulu. Nampak kaku dan sulit untuk kembali pada kondisi semula. Termasuk orang-orang yang berperan di dalamnya. Namun apapun itu, ikatan di antara mereka tidak akan pernah berubah. Meskipun perpisahan yang akan dipilih pada akhirnya, Papa tetap sosok Papa untuk dua anaknya.
Papa tidak mampu mengucapkan banyak kata. Sibuk termangu pada kalimat putranya. Ragha sudah benar-benar dewasa dan layak menghadapi semua yang menghadang.
Tuhan memang tidak pernah salah dalam memberi ujian. Setiap yang diberi pasti bisa menerima dan menjalaninya dengan lapang. Walau tidak menutup kemungkinan jika rasa lelah akan senantiasa turut serta. Menyerang rasa percaya diri dan membuat masalah itu terasa lebih berat dari porsi sebenarnya.
Resepnya hanya satu. Percaya. Jika Tuhan memang sudah memilihnya untuk memikul beban maka ia memang mampu dan siap untuk menjalaninya sampai akhir. Dengan begitu, setidaknya beban yang ditanggungnya akan jauh lebih ringan.
***
Adara belum bisa memejamkan matanya sejak tadi. Pikirannya kosong, perasaannya mati, dan tubuhnya tidak bertenaga. Pikiran-pikiran buruk yang biasanya menguasainya setiap malam, kini tidak hadir. Atau sebenarnya hadir, namun enggan Adara tanggapi.
Sisi ranjangnya yang beberapa saat lalu dihadiri seseorang kini kembali kosong, dingin, dan terasa hampa. Adara hanya bisa menepuknya pelan untuk memastikan jika untuk kesekian kali, ia kembali ditinggalkan.
Matanya enggan terpejam, bukan karena ia menunggu kepulangan Ragha. Karena begitu melihat Ragha pergi bersama Sana, menaiki mobil yang sama, Adara sudah merelakan segala hal yang akan terjadi setelahnya. Termasuk Ragha yang kembali menghilang dan melupakan jalan pulang.
Nampaknya persakitan yang terus-menerus hadir dan menyapanya membuatnya kian kebal. Tidak lagi menimbulkan rasa sakit yang keterlaluan. Tidak juga menimbulkan air mata yang berlebihan. Adara lelah, Adara sudah enggan menangisi semuanya.
Ia hanya ingin meresapi rasa sesak yang membuat dadanya kian terhimpit. Menimbulkan perasaan lain yang nampaknya lebih menyakitkan dari sekadar kesakitan yang biasa menyapa. Lebih menyiksa, lebih terkenang dengan jelas walau tidak pernah nampak di permukaan.
Jika saja bisa, Adara ingin menyerah saat ini juga. Adara ingin segera beranjak dan mencari kehidupan lainnya, menelusuri sisi kehidupan lain dengan orang-orang yang mau menerimanya dengan lapang. Juga menyambut dengan senyuman.
Namun sayangnya, Adara menyadari jika di satu sisi lainnya, Ragha masih mengikatnya erat. Enggan melepaskan dengan mudah. Walaupun di sisi lainnya, Ragha bisa berlaku seenaknya. Datang dan pergi tanpa permisi. Membuat hidup Adara dibolak-balik dengan dua warna yang teramat kontras. Terkadang penuh keindahan yang membuat hati menghela lega. Namun terkadang juga dihinggapi abu-abu suram yang menyesakkan.
Adara tidak pernah tahu kapan ini akan berakhir. Karena sejak awal, Adara juga tidak pernah sadar kapan semuanya dimulai. Ia hanya seorang perempuan polos yang begitu mengagumi sosok Ragha, tanpa ada satu keinginan untuk meraihnya, untuk memilikinya.
Adara selalu sadar dengan posisinya yang terlampau jauh dari Ragha. Dari segala aspek yang menegaskan, jika Adara memang tidak pernah layak untuk mengisi sisi Ragha. Lelaki itu masih berhak untuk memiliki perempuan lain yang jauh lebih berada di atasnya.
Namun, di saat Adara sudah hampir pergi dan menutup semua kisah cinta yang dirasakannya sendiri, kondisi seolah mempermainkannya. Menghadirkan Ragha tepat di depan mata. Membawa tatapan sendu yang sarat akan satu rasa, yang sampai saat ini tidak bisa Adara akui sebagai sebuah kerinduan.
Keduanya tidak mengenal sejak awal. Hanya Adara yang selalu menatap Ragha. Tapi tidak dengan Ragha. Hanya Adara yang menyimpan perasaan berbunga-bunga itu dan terkadang disalurkan dengan diam-diam. Namun Ragha tidak pernah tahu, siapa di balik semua hadiah yang mengisi jok motornya setiap pulang sekolah.
Nampak begitu jauh, sampai Adara menganggap semuanya hanya angan-angan. Ragha hanya pemeran utama yang selalu hadir di mimpinya. Namun tidak pernah terlihat jelas ketika sepasang matanya terbuka.
Satu yang Adara sesali sampai detik ini. Pun mungkin sampai waktu-waktu yang akan datang. Seharusnya sejak Ragha hadir di depan matanya, mulai melihat keberadaannya dengan jelas, juga mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjalan bersisian, Adara tidak pernah menerima uluran tangan itu.
Seharusnya Adara tetap menyadari di mana posisinya, di mana ia seharusnya berada. Bukan malah sibuk tersipu dengan perasaan yang diterbangkan ke awan. Merasa begitu bahagia, karena ia kira, kisah cinta yang dulunya ia rasakan sendiri akan mulai berubah sejak uluran tangan itu.
Adara tidak pernah sadar, jika kehadiran Ragha justru membawa satu bencana menakutkan yang sayangnya selalu dianggap menjadi hal indah dalam angan Adara. Membuatnya bertingkah seperti perempuan yang dicintai dengan selayaknya.
Adara sadari betul, jika memang ia yang bersalah. Tuhan sedang mengajarkannya mengenai sebuah keadilan. Hadirnya yang tidak pernah diminta, sebagai penghancur untuk rencana indah yang tersusun dengan begitu rapi. Seharusnya Adara sadar, jika kehidupan menyesakkan semacam ini harus ia jalani dengan lapang. Karena semua ini terjadi lantaran kesalahannya.
Jika saja ia tidak pernah menerima uluran tangan Ragha dan menjalin hubungan dengan lelaki itu, ia tidak akan terseret masuk dalam kehidupan ini. Di tengah-tengah keluarga yang terpecah dengan kepingan yang tercecer jauh.
Sayangnya, Adara saat itu teramat polos dan sudah dilingkupi kebahagiaan. Tidak sempat memikirkan dampak terburuk jika ia membuka hatinya kembali untuk Ragha. Bersiap menerima luapan rasa cinta yang sebelumnya tidak pernah hadir dari mulut Ragha.
Adara mengusap wajahnya kasar. Mencoba menepis kilasan-kilasan buruk yang kembali hadir dan menyapa malamnya. Mendampingi kesendiriannya dalam angan yang tidak berujung dalam kebaikan.
Adara berjengit kaget begitu mendapati satu kehangatan yang menyapa sebelah pipinya. Dengan mata sayu yang kelelahan, ia bisa mendapati Ragha di sana. Hadir di sisi ranjangnya sembari memasang senyuman lembut yang menenangkan.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya halus. Mengusap rambut Adara yang berantakan. Meresapi tatapan Adara yang masih terpaku. Menelisik pahatan indah milik suaminya. Yang tergambar dengan begitu nyata di depan matanya.
“Mas kok di sini?” tanya Adara refleks. Ragha tersenyum sesaat. Mendapati Adara yang seperti ini dengan responnya yang polos, Ragha sudah bisa mengira jika di dalam kepala itu ada beragam hal buruk yang menyebar tanpa penolakan. Adara membiarkan dirinya dihinggapi pikiran-pikiran buruk yang kian menyiksanya untuk setiap pertambahan waktu.
“Apa ada yang salah dari kepulanganku? Ini rumahku, ‘kan?”
Adara berkedip beberapa kali. Setelahnya mengalihkan perhatian ke tempat lain. Kalimat Ragha seperti sebuah tamparan untuknya. Ya, ini rumah Ragha. Seharusnya Adara tidak perlu menanyakan hal bodoh semacamnya. Yang harus ditanyakan keberadaannya justru Adara. Mau sampai kapan Adara mengisi rumah ini dan menjadi parasit, seperti yang Mama ucapkan tempo hari?
Ragha menghela napas panjang. Meraih kepala Adara dan membawanya berbaring di d**a bidangnya. “Pikiran buruk jangan dipelihara. Sekarang tidur,” ucapnya tegas tanpa bantahan. Adara memilih menuruti. Hari sudah malam dan ia enggan membuka pembicaraan yang akan membuat keduanya berakhir dalam perdebatan.
Beberapa menit berjalan, Adara sudah larut dalam pejaman matanya. Menimbulkan satu senyuman manis di bibir Ragha. Sebelah tangannya masih sibuk mengusap lembut kepala Adara. “Tolong, bertahan sebentar lagi, Sayang,” bisiknya lembut.
Dalam pejamannya, Adara masih bisa mendengar bisikan itu. Juga beberapa kali Ragha yang menyematkan ciuman lembut di puncak kepalanya.
Ya, Adara akan bertahan sebentar lagi. Sembari terus mempersiapkan diri. Sampai nanti, saat tiba waktunya Ragha untuk melepaskannya, Adara akan siap menerima semuanya dengan lapang.
***