25. Sayatan yang Sama

1359 Words
“Gha, Mama perlu bicara,” ucap Mama setelah selesai sarapan. Mama langsung beranjak dari duduknya untuk kembali ke lantai dua. Tempat di mana ruang kerja Mama berada. Adara dibuat termenung untuk beberapa saat. Menerka-nerka pembicaraan semacam apa yang akan Mama bawa di waktu sepagi ini. Adara hanya takut, Ragha kembali meluapkan emosi dan tanpa sengaja melukai hati Mama hanya untuk pembelaannya atas diri Adara. Usapan lembut di kepala membuatnya menoleh. Mendapati Ragha yang tersenyum lembut. Seolah mengerti dengan kekhawatiran Adara. “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Dara. Semua akan baik-baik aja.” Adara tersenyum seraya mengangguk. Mencoba mempercayai apa yang Ragha katakan. Walaupun pada kenyataannya, hatinya masih belum bisa merasa tenang. Adara masih mengingat jelas pertengkaran di pagi kemarin, tepat setelah sarapan. Mungkin Ragha nampak tenang di awal, tapi lama-kelamaan, saat Mama terus memojokkan Adara, Ragha melepaskan emosinya juga. Beruntungnya karena kemarin masih ada Adara dan Dhia. Tapi sekarang, Mama justru mengajak Ragha menuju ruangan kerja beliau. “Janji untuk nggak marah-marah sama Mama.” Adara menahan tangan Ragha yang baru saja akan beranjak. Lelaki itu menatapnya dalam untuk beberapa waktu berjalan. Menyelami manik hitam Adara yang menyorotnya penuh harap. Membuat Ragha tidak mampu mengelak, tidak mampu menolak. Ia menyanggupinya dengan sebuah anggukan. Siratan sebuah janji yang tidak akan ia ingkari. Ragha menakuti satu hal dalam permasalahan berlarut-larut ini. Karena yang menjadi lawan adalah mamanya sendiri. Ia tidak bisa meluapkan emosi semaunya karena ia mengerti bagaimana seorang anak harus bersikap pada sang mama. Setiap fase kehidupan yang ia lalui, Mama selalu ada dan menyertainya. Bahkan saat Mama terpuruk lantaran perselingkuhan yang Papa lakukan, Mama masih bisa menjadi sosok mama yang baik untuknya dan Dhia. Menyembunyikan pertengkaran dengan Papa yang akan mengganggu anak-anaknya. Ragha menyadari, Mama adalah sosok ibu yang baik jika saja tidak dilingkupi ambisi yang meletup-letup. Juga kondisinya kian memburuk begitu Papa meminta izin untuk menikahi selingkuhannya. Mama hanya sedang membuktikan jika keberadaannya jauh lebih berharga, jauh lebih mampu, jauh lebih layak daripada perempuan yang menjadi istri kedua Papa. Namun, dalam hal ini, Ragha tidak bisa menyalahkan siapa pun. Ragha memang sempat marah dengan perilaku Papa yang tidak bermoral. Namun ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya atas diri Papa. Ragha paham, Papa mulai lelah dengan Mama yang berambisi dan mencoba mencari pelarian. Namun sayangnya, Papa salah dalam pelariannya. Membuat kondisi keluarga mereka kian tidak jelas. Belum lagi Ragha yang juga turut lelah dalam fasenya sendiri. Memilih melampiaskan rasa cintanya dengan cara yang salah dan malah membuat semuanya kian runyam. Sampai Adara harus terseret masuk dalam lubang hitam yang penuh sesak. Menyelami kehidupan menyebalkan yang entah kapan akan berakhir. Bersyukur karena setidaknya Dhia, si bungsu, memilih tidak mau tahu mengenai apa yang terjadi di lingkaran keluarga mereka. Daripada menyakiti hati dan menimbulkan banyak pikiran negatif, Dhia memilih mengalihkan beban itu pada kesenangannya yang suka mengagumi idol-idol dari negeri ginseng itu. Dibandingkan Ragha, Dhia jauh lebih santai dalam menghadapi masalah. Membuatnya tetap tumbuh dalam keadaan baik-baik saja. Selain itu, Dhia yang ceria dan banyak omong sangat cocok untuk menjadi teman Adara bercerita. Supaya Adara yang rendah diri dan suka overthinking bisa menghela napas sejenak jika Dhia berada di sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri memang, Dhia yang nampak menyebalkan membawa aura positif untuk Adara yang banyak beban. “Mau sampai kapan kamu mempertahankan pernikahan kalian?” tanya Mama sesaat setelah Ragha menduduki kursi di ruang kerja Mama. Mama yang sebelumnya sibuk memeriksa berkas pekerjaannya, kini menjatuhkan fokus sepenuhnya pada si putra sulung. Menyorotnya dengan raut tajam yang serius. “Ma, Agha menikahi Dara karena cinta. Dan nggak akan pernah ada perceraian selama Dara masih mau bertahan.” Mama menghela napas. “Kamu memang keras kepala ya. Sejak awal Mama nggak pernah setuju dengan perempuan itu.” “Tapi kami sudah menikah sekarang. Dan Mama nggak bisa mengatur hidup Agha seenaknya.” Mama membanting bolpoin yang sejak tadi dipegangnya. Tidak terima dengan kalimat Ragha yang seolah membatasi keberadaan Mama dalam hidupnya. “Kamu anak laki-laki Mama, Gha. Sampai kapan pun kamu tetap menjadi anak laki-laki Mama.” Ragha mengangguk. Ya, tentu ia tahu, sampai kapan pun seorang anak laki-laki akan terus menjadi anak laki-laki untuk orang tuanya. Berbeda dengan anak perempuan yang akan menjadi milik suaminya begitu sudah menikah. “Ma, tolong, nggak untuk menceraikan Adara.” “Apa yang kamu pertahankan dari perempuan itu? Cinta yang kamu sebut-sebut tadi nggak ada artinya sama sekali untuk Mama.” “Ya, Agha tahu. Sangat tahu malah. Membicarakan perihal perasaan, apalagi cinta dengan Mama adalah satu hal percuma. Karena sejak dulu Mama nggak menjadikan perasaan sebagai satu hal yang penting. Mama hanya mementingkan ambisi Mama untuk selalu terlihat sempurna. Mama hanya terus terperangkap dalam targetan-targetan hidup yang tertata. Mungkin karena itu pula Papa memilih menyerah dan mencari wanita lain. Papa nggak mampu menuruti keinginan Mama yang melambung itu.” Ragha tidak pernah mau membahas apa yang sudah terjadi di masa lalu. Terutama mengenai perselingkuhan Papa yang menjadi titik terpuruk bagi Mama. Namun untuk saat ini, Ragha tidak memiliki cara lain untuk membuat Mama berhenti dari ambisinya. Mama selalu berpegang teguh pada, apa yang Mama katakan wajib hukumnya untuk dituruti. Apa yang Mama inginkan harus menjadi kenyataan. Dan Ragha lelah dengan ambisi itu. Mama sesekali harus menelan kenyataan pahit yang membuatnya tidak lagi berfokus pada ambisi semata. Mama juga seharusnya memperhatikan banyak hati yang terluka, banyak mata yang menangis lantaran ambisinya. “Kamu sudah berani bicara begini? Apa sekarang kamu membenarkan perlakuan papamu itu?” Mama melotot tajam. Tentu tidak terima dengan apa yang Ragha katakan. Apalagi kalimatnya seolah memberi pembelaan pada Papa yang jelas bersalah. “Nggak sama sekali. Mau dilakukan untuk alasan apapun, perselingkuhan Papa tetaplah hal yang nggak bisa dibenarkan. Tapi apa Mama nggak pernah mau tahu, apa alasan Papa memilih untuk berpaling dari Mama? Ma, perselingkuhan bukan soal kekhilafan, bukan kesalahan nggak disengaja. Ini soal pilihan. Sampai Papa memilih jalan sejauh itu, bukannya ada kaitannya dengan Mama? Mama nggak mau introspeksi diri untuk ini?” “Jelas karena papamu bodoh. Laki-laki tukang selingkuh itu nggak pernah bersyukur dengan apa yang dia dapat. Mama nggak bersalah sama sekali untuk apa yang papamu lakukan. Kesalahan tetap ada di papamu. Jangan mengaitkan apa yang dia perbuat dengan Mama. Karena Mama memang nggak ada hubungannya.” Ragha menghela napas panjang. Ini sulit. Sangat sulit malah menghadapi Mama yang keras kepala dengan ambisinya, juga luapan emosi yang tidak lagi bisa dipendam. Mama yang berambisi, membuat Papa lelah. Mengambil jalan yang salah dan berakhir membuat Mama sakit hati. Efeknya sampai pada Ragha dan Dhia. “Mama kasih waktu sampai ayahnya menyerah. Di saat itu juga kamu harus melepaskan perempuan itu.” Mama berucap final. Kalimatnya tajam dan enggan menerima bantahan. “Ma!” “Kenapa? Mau sampai kapan kamu terus direcoki oleh keluarga perempuan itu? Kamu pikir Mama nggak tahu? Mama tahu kalau kamu masih sering kirim uang untuk keluarganya. Kamu nggak sadar kalau cuma dimanfaatkan?” “Agha melakukan itu karena Agha mau, Ma. Adara nggak pernah minta. Dia bahkan melarang Agha untuk mengirim uang sama ayahnya. Agha cuma mau berbuat baik pada ayah mertua. Agha pernah gagal menjadi anak untuk Mama dan Papa semenjak perselingkuhan itu. Karena semenjak hari itu, kebencian di hati Agha nggak bisa semudah itu dihilangkan. Dan Agha nggak mau gagal menjadi anak menantu. Cukup hubungan Agha dan kalian yang nggak baik. Nggak untuk Ayah.” Mama berdecih pelan. Ragha bisa melihat jelas jika mata Mama berkaca-kaca. Namun Mama masih enggan menyerah dengan apa yang sudah diperjuangkan sejak awal. “Mama nggak menerima alasan apapun. Begitu laki-laki itu menyerah, tinggalkan anaknya dan menikah dengan Sana.” Urat-urat halus di tangan nampak jelas begitu Ragha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan emosinya yang hendak meluap keluar. Ragha paham, di saat ia marah, otaknya tidak akan mempu berpikir benar. Selain itu, Adara memintanya untuk tidak marah jika berbicara dengan Mama. Maka sebisa mungkin, Ragha akan menjaga emosinya agar tetap stabil. “Apa Mama nggak pernah peduli sekali aja sama perasaan Adara?” tanya Ragha lirih. Hasil dari amarahnya yang tertahan. Mama menatapnya sesaat. Tatapan tajam yang kejam. Seolah seorang musuh yang tidak akan memberi ampun untuk lawannya. Bahkan saat si lawan sudah sampai di ambang kematian. “Memang kamu pernah peduli dengan perasaan Mama?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD