“Iya, Yah. Agha transfer sekarang. Maaf karena terlambat.”
Adara yang baru saja keluar dari kamar mandi di kamar Ragha hanya bisa memperhatikan punggung tegap suaminya. Sebelah tangannya memegang ponsel, nampak sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana. Yang Adara yakini adalah ayahnya.
“Adara baik-baik aja. Ayah nggak perlu khawatir,” lanjut Ragha. Adara hanya bisa menghela napas panjang setelah benar-benar mengetahui jika ayahnya yang menghubungi Ragha. Melangkah mendekati ranjang dan duduk tenang di sana. Membiarkan Ragha selesai dengan obrolannya. Enggan mengganggu juga enggan turut bicara.
Setelah menikah dengan Ragha, Adara memang sudah tidak pernah lagi bicara dengan ayahnya. Hanya Ragha yang sering kali menghubungi. Pun untuk mengirimkan sejumlah uang yang ayahnya minta dengan cuma-cuma. Adara juga tidak pernah mengerti, mengapa ayahnya teramat keterlaluan. Tidak punya malu barang sedikit saja.
Daripada merasa malu, ayahnya justru merasa tenang dengan keberadaan Ragha. Apalagi Ragha tidak pernah menolak berapapun nominal yang Ayah minta. Malah Adara yang memikul beban berat setiap kali sang ayah meminta uang pada Ragha.
Sejak dulu, Adara memang tidak memiliki figur ayah dalam hidupnya. Saat usianya masih anak-anak, Adara hanya bisa melihat ibunya yang menangis lantaran dipukuli ayahnya. Alasannya jelas karena uang yang ibunya dapat tidak cukup untuk memenuhi keinginan Ayah.
Adara juga sering kali melihat ibunya menangis di malam hari. Satu hal yang selalu membuat tidurnya tidak nyenyak. Tapi begitu pagi tiba, Adara melihat perubahan yang teramat pesat. Ibunya tersenyum begitu manis seolah apa yang Adara lihat semalam hanya angan-angannya saja.
Hari-harinya hanya dilingkupi keributan yang entah kapan akan berakhir. Karena hal itu pula, Adara menjadi anak yang cukup pintar di kelas. Satu motivasinya untuk belajar adalah agar ia bisa tumbuh menjadi perempuan yang bisa berdiri di kakinya sendiri. Dengan begitu ia bisa membawa ibunya pergi dari rumah, sejauh-jauhnya dari jangkauan Ayah. Adara selalu ingin memberi kebahagiaan pada Ibu. Jika ibunya tidak memiliki alasan lain untuk tersenyum, maka Ibu memilikinya untuk menjadi satu-satunya alasan senyuman itu.
Namun sayangnya Tuhan memiliki kehendak lain yang jauh lebih indah. Tuhan mengambil Ibu untuk segera pulang dan mengakhiri semua kepedihan itu. Menyisakan Adara dengan sosok ayah yang tidak pernah menjadi teladan untuk hidupnya.
Adara merasakan dua hal berbeda semenjak ibunya pergi. Ia merasa bahagia karena pada akhirnya Tuhan menghentikan rasa sakit di hati Ibu. Ibunya sudah tidak akan terluka lantaran sikap Ayah yang buruk. Ibunya tidak akan lagi menghabiskan malam dengan menangis.
Tapi di satu sisi lainnya, Adara juga kehilangan sandaran hidupnya. Seseorang yang selalu ada dan menjadi penyemangatnya telah pergi. Membuatnya merasakan kehilangan yang teramat sangat.
Adara merasa tidak mampu menghadapi dunia yang teramat besar tanpa kehadiran Ibu di sisinya. Hampir menyerah dengan mengakhiri hidupnya. Beruntungnya ia masih mampu diselamatkan sebelum berjalan lebih jauh dan menyalahi takdir Yang Kuasa.
Baru setelah bertemu Ragha, Adara bisa kembali tersenyum. Ia memang tidak pernah menaruh harapan besar untuk kehadiran Ragha di hidupnya. Karena bagi Adara, cukup melihat Ragha dari jauh saja sudah membawakan semangat tersendiri untuknya melanjutkan kehidupan.
Tanpa pernah tahu Ragha akan hadir bertahun-tahun setelahnya. Mengulurkan tangan sembari memasang wajah sayu yang lelah. Seolah kehadirannya juga turut membawa beban berat yang tidak lagi bisa Ragha tanggung sendiri.
Adara sempat menolak kehadiran Ragha saat itu, namun Ragha enggan menyerah. Kembali hadir untuk hari-hari setelahnya. Membuat hati Adara yang lemah dan memang sudah menaruh perasaan mendalam pada Ragha menjadi tidak tega. Pada akhirnya Adara menyerah dan membiarkan Ragha hadir di hidupnya. Yang tanpa sadar adalah awal dari rasa sakit lainnya.
Yang sebelumnya memiliki Ragha adalah satu hal mustahil menjadi hal yang mungkin. Namun sayangnya, badai besar itu terus hadir dan menghempaskan Adara berkali-kali. Di tengah perjalanan berat yang dilalui, Adara kembali mengajukan rasa lelahnya. Mendorong Ragha menjauh untuk melepaskan ikatan yang Ragha buat kuat-kuat. Sayangnya, berkali-kali ia menolak, Ragha selalu berhasil membawanya kembali.
Dan saat itu pula, Ayah seolah memanfaatkan keadaan. Ragha terlampau mencintai Adara. Bahkan enggan pergi saat Adara jelas-jelas menolak kehadirannya. Membuat keserakahan itu bersorak senang karena bisa memanfaatkan situasi sulit yang melingkupi Ragha dan Adara.
“Mas bisa ‘kan berhenti mengganggu? Aku udah bilang sebelumnya, aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini,” ucap Adara tanpa melihat Ragha yang lagi-lagi hadir ke rumahnya. Ini sudah kesekian kali Adara mengusir Ragha dengan kejam, bahkan beberapa kali tidak keluar rumah dan membiarkan lelaki itu menunggu sampai kedinginan.
Adara tidak ingin bersikap demikian jika saja tidak ada hal lebih buruk yang akan terjadi. Adara hanya sedang melindungi Ragha dari jeratan ayahnya. Namun lelaki itu tetap saja teguh pada pendiriannya.
“Aku nggak bisa melepaskan kamu setelah apa yang terjadi, Dara. Ada calon anak kita di rahim kamu.”
Adara menyorotnya tajam. Sangat tajam sarat akan kebencian. Sampai Ragha dibuat tersentak kaget lantaran tatapan Adara yang jauh berbeda.
“Aku udah bilang berkali-kali untuk ini, tapi Mas selalu memaksa. Dan aku bodoh malah terus membiarkan perlakuan Mas yang nggak beretika itu. Aku benar-benar menyesal untuk semuanya.”
Kalimatnya tajam, suaranya pun sama. Namun air matanya tumpah, membuat pipinya basah. Satu alasan yang membuat Ragha terus teguh untuk meraih Adara kembali. Ia sadar, apa yang Adara luapkan hanya sekadar emosi sesaat. Adara tidak benar-benar membenci keberadaannya. Adara hanya membenci keadaan yang begitu rumit. Memeras air matanya untuk terus mengalir deras.
“Maaf, Dara. Tapi aku benar-benar nggak bisa melepas kamu.”
“Kenapa? Aku nggak akan pernah diterima di keluarga Mas. Kita berbeda, Mas. Mau sampai kapan pun, aku nggak akan pernah bisa masuk dalam kehidupan Mas. Hubungan kita kemarin hanya karena kekhilafan. Nggak pernah ada perasaan mendalam yang membuat Mas harus bertanggung jawab. Bayi ini akan jadi tanggung jawabku sendiri. Mas bisa melupakan semuanya dan menganggap nggak pernah ada yang terjadi di antara kita. Setelah ini kita bisa melanjutkan perjalanan masing-masing. Kalau suatu saat kita bertemu, anggap aku adalah orang lain yang nggak Mas kenal. Aku juga akan bersikap begitu.”
Tatapan Ragha menajam. Tidak terima dengan apa yang Adara katakan. “Kamu pikir apa hak kamu berbicara begitu? Bayi yang ada dalam kandungan kamu juga bayiku, Dara. Bukan cuma milik kamu.”
Adara berdecih. Matanya yang sembap kembali menyorotnya tajam. “Nggak akan ada orang lain yang akan menerima bayi ini selain aku, Mas.”
“Apa kamu menganggap aku sebrengsek itu?” Suara Ragha meninggi. Luapan kemarahan itu nampak jelas. Hampir membuat Adara mundur karena ketakutan. Namun Adara enggan menyerah dengan mudah. Walaupun tubuhnya sudah bergetar hebat, ia tidak akan semudah itu membukakan jalan untuk Ragha.
“Kamu memang b******k, ‘kan? Laki-laki baik mana yang seenaknya menghamili perempuan tanpa ikatan pernikahan ha?”
Ragha menghela napas kasar. Menengadahkan kepalanya guna menahan air mata yang hampir saja menetes. Ia tidak boleh menangis di hadapan Adara. Apalagi keduanya sedang dilingkupi emosi yang meluap-luap. Ragha hanya tidak mau memperburuk suasana.
“Ya, aku memang b******k. Dan laki-laki b******k ini meminta kesediaan kamu untuk aku nikahi. Untuk bertanggung jawab atas kesalahanku, Dara. Karena hanya dengan itu aku bisa menebus apa yang udah aku perbuat.”
“Aku udah kasih pilihan lain, ‘kan? Tanpa perlu kita terikat dalam pernikahan. Mas bisa kembali ke kehidupan Mas. Melanjutkan hubungan Mas dengan Mbak Sana. Jangan pernah berbalik, karena aku juga akan melakukan hal yang sama. Kita akan kembali ke kehidupan masing-masing tanpa perlu saling mengenal.”
“Kamu pikir aku bisa melanjutkan kehidupanku sendiri, dalam keadaan baik-baik aja, padahal jelas-jelas aku meninggalkan calon anakku di sini?”
Adara tertawa pelan. Satu tawa mengejek. Tatapan Adara yang selalu lembut saat menatapnya kini seolah hilang. Hanya menyisakan sorotan kebencian yang penuh luka. Yang Ragha sadari ialah penyebabnya.
“Kamu benar-benar jahat karena membuat aku terjebak.”
Setelahnya Adara memasuki rumahnya dan meninggalkan Ragha sendiri dalam rasa sakitnya. Sudah cukup untuk pembicaraan malam hari yang menyiksa satu sama lain. Adara tidak sanggup lagi melihat Ragha. Dan ia tidak mampu lagi untuk terus menorehkan luka. Dan menghindar adalah jalan terbaik yang terpikirkan.
Sejak awal cerita ini dimulai, Adara menyadari jika ceritanya dan Ragha memang menyakitkan. Bahkan saat Ragha belum menyadari keberadaannya, Adara sudah menderita sendirian. Tidak pernah menyangka jika rasa sakit itu akan terus menyiksa keduanya. Bahkan sampai bertahun-tahun berjalan. Sampai batas waktu yang tidak diketahui.
Adara menghela napas. Mencoba mengusir sesak yang memenuhi dadanya. Mengingat kejadian di masa lalu ternyata membuat kondisinya lebih parah.
Ragha hadir tidak lama setelahnya. Mengambil duduk di sebelah Adara. Memperhatikan raut wajah yang lebih sering nampak sayu daripada bahagia. “Ada apa lagi?” tanya Ragha sembari menyelipkan helaian rambut Adara ke belakang telinga.
“Mama bicara macem-macem lagi?”
Adara menggeleng. “Mama udah tidur waktu aku turun tadi. Cuma ditemenin sama Bibi,” jawab Adara jujur. Karena memang Adara kembali ke rumah saat sudah lewat jam makan malam. Mama sudah kembali ke kamar untuk istirahat. Sedangkan Dhia masih mengisi ruang tengah untuk menonton acara idol kesukaannya. Adara makan malam ditemani Bibi yang kebetulan sedang membereskan dapur. Sedangkan Ragha baru pulang beberapa menit lalu.
“Jadi kali ini apa yang kamu pikirin sampai mukanya begini?”
“Tadi Ayah yang hubungi Mas, ‘kan? Minta uang lagi?” Tanpa bertanya pun sebenarnya Adara tahu. Ia mendengar dengan jelas Ragha menyebut ayah tadi. Hanya saja, Adara menginginkan kejujuran Ragha di sini.
“Ayah nanyain kabar kamu.”
Adara mendesis sebal. Ragha lagi-lagi menolak untuk mengatakan yang sejujurnya. “Selalu begini. Mau sampai kapan Mas terus memasok uang buat Ayah? Mas tahu ‘kan uang itu nggak pernah Ayah pakai dengan benar? Mas sama aja mendukung Ayah untuk terus berjudi.”
“Adara ini udah malam. Lebih baik kamu tidur.”
“Mas!”
“Ayah akan jadi urusanku. Kamu nggak perlu memikirkan apapun. Kamu cukup memikirkan diri kamu dan perasaan kamu agar selalu baik-baik aja. Sisanya biar aku yang urus.”
Adara menghela napas panjang. Selalu begini memang. Dan bodohnya, Adara tidak bisa menolak saat Ragha sudah teguh dengan kalimatnya. Membuatnya hanya bisa menuruti tanpa membantu banyak hal. Kembali membiarkan Ragha tenggelam dalam permasalahan yang seharunya keduanya selesaikan bersama.
***