Bab 6

1116 Words
Bang Ferdi mengejarku. Kulirik dari spion eh maksudnya kaca lobi, bayangannya mendekat. Aku menoleh dan mengangkat satu alis ke atas. “Jadi belanja bulanan gak?” tanyanya setelah berada di sampingku. Eh, aku kira ngejar karena nyariin keripik. “Oh mau ajak belanja, toh? Aku kira nyariin ini?” kekehku seraya menunjukkan isi tasku padanya. Bungkusan keripiknya sudah nyaman tertidur Dia menjentikkan jemarinya ke dahiku. “Emang itu buat kamu, Ra. Eh belum dikasih sudah disamber, dasar agresif.” “Dih, toel-toel!” Aku menepis jemarinya. Kadang Bang Ferdi suka SKSD alias sok kenal sok dekat. “Masih available sih, gak apa. Eh beneran tungguin aku, ya! Aku juga mau belanja sekalian!” tukasnya dengan menatap serius. “Lah, aku aja bawa si merah, Bang. Berangkat juga masing-masing.” “Sepeda motor kamu tinggal saja, aku anterin. Yakin gak pengen cobain brio baru?” tanyanya seraya tersenyum bangga. Ya, dia baru saja beli mobil, walaupun sama-sama nyicil. Aku berpikir sejenak, kayaknya mayan juga kalau nebeng. Harusnya bensinku habis, jadi bisa kepakai buat besok lagi. Eh, tapi tunggu terus besok berangkat kerja gimana? Kalau naik ojek sama saja malah jadi lebih mahal jatohnya. “Sudah jangan berhitung mulu, kamu bisa hemat bensin untuk satu kali perjalanan pulang. Terus besok berangkatnya aku jemput.” Binar mataku seketika terang benderang. Bisa-bisa aku cepat kaya, kalau semua karyawan kantor sebaik Bang Ferdi. Akhirnya aku mengangguk cepat, kesempatan tidak datang dua kali. Saatnya berhemat. “Tunggu bentar ya, Ra. Aku matiin komputer dulu.” “Kerjaan Abang emang dah kelar?” tanyaku seraya menyipitkan mata. “Kalau dah kelar, besok gak kerja dong, Ra.” Dia terkekeh seraya berlalu meninggalkanku. Hmmm … iya juga, ya. Kalau kelar mau ngerjain apa? Pabriknya aja tutup. Bang Ferdi gegas kembali ke dalam. Aku memutuskan untuk menunggunya pada sofa berbentuk huruf u seharga dua puluh lima juta yang ada di lobi office. Duduk sambil tumpang kaki dan mengeluarkan satu bungkus keripik. Aku mengambil gambar, berfoto di sofa mahal. Nanti mau aku pamerkan pada Ibu kalau sekalinya berkunjung ke Karawang. Aku tengah duduk dan menikmati keripik ketika terdengar ketukan heel mendekat. Aku melirik dari sudut mata, rupanya dia. Duh Mak Macan mendekat. Menunduk adalah salah satu pilihanku saat ini. Tak mau melihatnya lagi, nanti salah. Baru kuangkat lagi wajah ketika dia sudah berlalu. Ehhh … kok? Tampak Mas Bos Duren berdiri jejer dengannya. Duh, Ayaaaang! Ngapain sih pake barengan sama Mak Macan segala. Aku kan jadi makin cemas kalau kamu diterkam. Aku mengerucutkan bibirku. Gak rela rasanya lihat dia bareng-bareng kayak gitu. Mana, duh …. serasi banget kelihatannya. Terus terang, bikin sebellll. “Ayo, Ra!” Suara Bang Ferdi dari arah dalam. Dia sudah keluar dan menyelempangkan tas kecil. “Hmmm!” Hanya gumaman. Orang hati lagi kebakaran. Aku berjalan di belakang Bang Ferdi. Dia yang menyapa rombongan Mak Macan, aku hanya menunduk saja. Sesekali sudut mata ini melirik dia. Ehhh … kok bisa kebetulan gini, dia melirik ke arahku. Gegas aku buang muka. Emang dia aja yang bisa barengan ama cewek, huh. Aku juga bisa bawa cowok. Padahal sudah buang muka, pas sudah beberapa langkah kok penasaran, ya. Akhirnya aku nengok lagi. Eh, sudah pada gak ada. Baiklah, ngapain peduli. Emang dia siapa, huh? Lihat saja besok kalau minta dibuatin kopi. Aku mau pasang earphone yang kenceng saja. Setelah melewati kemacetan. Kami tiba di sebuah mall di tepian kota karawang. Mall baru yang terhubung dengan sky bridge ini menjadi tujuan. Sebetulnya belanja di minimarket saja bisa, tetapi suka kurang lengkap. Jadilah di mall KCP ini tempatnya. Kami langsung memasuki area tepi sebelah kanan mall di mana ada supermarket yang menjual kebutuhan bulanan. Gegas mendorong keranjang, sengaja ngambil yang besar biar muat belanjaan aku sama Bang Ferdi. Hilda juga tadi sudah WA, mungkin lusa dia sudah pulang. Kangen bestienya katanya. Berbagai kebutuhan pokok sudah berpindah ke keranjang belanja. Bang Ferdi lebih cepat bergerak dari pada aku. Aku kebanyakan ngecheckin harga. Sementara itu, dia tampaknya maen ambil saja. Pengen sih kayak Bang Ferdi, tapi ya mau gimana, ya? Gaji juga cuma seupil kucing, sudah gitu kucingnya anaknya lagi. Jadi upilnya kecil. Aku tengah mematung memperhatikan label harga yang tertera di bawah kemasan minyak goreng. Lagi membandingkan, dari deretan minyak goreng ini mana paling murah. Toh fungsinya sama, sama-sama buat bikin gorengan. Ya kali kalau minyak gorengnya mahal bisa jadi bikin berlian. Enggak kan? Bruk! Eh, tampak anak kecil tengah terisak dengan menatap s**u kotak yang tergeletak. Dia baru saja nabrak troly yang kudorong. Aku berjongkok dan menatapnya. Wajahnya cantik dan tampak menggemaskan. Namun ujung hidungnya sudah merah sepertinya sudah nangis dari tadi. “Adek kenapa?” Dia hanya menggeleng sambil terisak. Dia tunjukkan s**u yang tadi di minumnya sudah tergeletak. “Oh mau s**u kayak gitu lagi? Sudah jangan nangis, ya! Yuk Tante, eh kok Tante, ya? AKu kan masih muda. Hmmm …. Yuk Kakak anterin kamu ambil lagi s**u kotaknya. Tadi ambil di mana?” Aku berjonkok dan berusaha bersikap ramah. Berharap gadis kecil ini tak takut denganku. Sebuah anggukan kecil menjadi jawaban. Aku gegas mengajaknya mencari s**u yang serupa untuknya. Setelah sedikit berputar-putar mencari, akhirnya dapet juga. Dia tersenyum lagi ketika menerima s**u kotak di tangannya. “Makasih, Nda!” Eh, apa tadi dia bilang? Mama? Duh, bisa hancur reputasiku kalau kayak gini. “Sayang, Kakak bukan Bunda kamu. Panggilnya Kakak, ya!” Aku membujuknya. Bisa-bisa nanti ditinggal Bang Ferdi di sini karena rupa-rupanya ada anak kecil yang ngaku-ngaku anakku. “Nda!” Duhhh, dia manggil Bunda lagi. Gaswat ini Bebeb. Gegas aku tersenyum dan meraih jemarinya. Aku akan mengajaknya ke pusat informasi untuk mengumumkan anak hilang. Bisa gawat kalau pengen ikut pulang. Bisa-bisa aku dihukum Ibu. Disangka beneran aku punya anak diluar nikah. Bang Ferdi entah ke mana. Aku langsung mengantar gadis kecil ini yang tengah sibuk dengan s**u cokelatnya. Aku belikan dua, biar dia diam. Benar saja, suapanku mempan. “Permisi, Kak! Mau laporin ini, ada anak hilang!” Aku berbicara sopan pada seorang perempuan yang membawa handy talky. “Namanya siapa, Mbak?” “Ameera, Kak.” “Hmmm … maksud saya dedek kecilnya namanya siapa?” Aku menoleh pada gadis kecil dengan rambut kuncir dua itu. Lalu berjongkok sedikit dan mengusap pucuk kepalanya agar bisa akrab. “Dek, namanya siapa?” Aku meraih jemarinya dan tersenyum seraya bertanya. “Namanya Safitri Hanida---umurnya empat tahun. Terima kasih sudah menemukan anak saya.” Ah, suara itu. Aku gegas menoleh ke arah suara datang. Senyumku sontak mengembang ketika melihat sosok yang membuatku kesemsem siang malam. Mas Bos Duda ada di sini rupanya. Eh, apa tadi dia bilang? Ini anaknya? Lah kok bisa? Kok bisa-bisanya gadis kecil ini manggil aku Bunda. Apakah kita ini memang ditaktdirkan untuk jadi keluarga? Eh, kok jadi ngarep gini, sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD