Bab 7

1200 Words
“Selamat siang, Pak!” Aku bangkit dan menyapa Pak David. Sementara itu, gadis kecil itu bukannya berlari ke arah ayahnya, eh dia malah berpegangan pada ujung kemejaku. “Sore, Ra! Ahmm … Sayang mari!” Ah iya sudah sore, apa tadi dia manggil apa? Gak salah denger ini tuh aku dipanggil Sayang? “Aku mau sama, Ndak!” Setitik rasa geer yang sudah membuncah tiba-tiba lenyap. Rupanya yang dia panggil sayang itu gadis kecil ini, bukan aku. Eh lagi-lagi nih bocah manggil aku Nda, emang dia kira aku ibunya? “Hani kok gak mau sama Ayah?” “S--saya m--mau, Pak.” Upsss! Ini bibir kenapa seperti kilat, sih? Maen nyamber saja. Tapi kan hati udah telanjur melambung mendengar kata Hani dan sayang. Artinya kan sama, sama-sama sayang. “Hmmm?” Duh alisnya pakai diangkat segala, makin bikin hati nyut-nyutan. “M—maksud saya, saya mau bujuk dia, Pak.” Ah, otak kadang keren. Bisa mendapatkan jawaban di saat emergency seperti ini. “Ya sudah … tolong bujuk dia, ya! Soalnya sebentar lagi kami mau pulang.” Dia menjelaskan. “Oke siap, Mas Bos!” “Hmmm, apa?” “Siap, Pak Bos!” Aku mengulang ucapan. Huh, selalu ini bibir tak sejalan dengan otak. Maunya sejalan dengan hati. Dengan senyuman termanis yang kumiliki, aku berjongkok lalu membujuknya dengan lembut. “Sayang … kata ayah sudah mau pulang. Hani pulang duluan, ya!” “Aku mau pulang sama Nda. Nda kenapa gak pulang-pulang?” Dia mulai menangis seraya menarik-narik lenganku. Duh jiwa keibuanku meronta. Kali ini bukan untuk meluk dia, tapi untuk menariknya ke dalam rengkuhanku. Entah kenapa netra bening itu seolah memanggilku dengan cinta. “Hani, Ndak masih harus beli barang-barang belanjaan, nanti Ndak nyusul, ya!” Aku mengusap punggungnya. “Aku mau pudding, Ndak. Ndak belu pudding cokelat, ya!” tukasnya menatap penuh harap. Huh, gimana ceritanya. Kenapa ini anak tiba-tiba manggil aku dengan sebutan seperti itu. Namun aku tetap memasang muka termanis, lalu mengangguk dan mangiyakan. “Iya, Sayang. Nanti Nda beli pudding cokelat, kalau Hani pulang sekarang nanti Nda beli juga pudding cokelat, stroberi, vanilla dan buaaanyaaak lagi.” Aku berkata dengan penuh semangat dan dengan mata penuh binar. “Waaah buanyaaak? Besok aku mau semuaaa, Ndak.” Netra itu berbinar. “Iya, Sayang … sekarang pulang ikut ayah, ya!” Aku membujuknya agar lunak. Dia berjingkrak senang. “Oke, pulang sama Ndak juga.” Dia menarik tanganku. “Hani, kamu pegang-pegang tangan siapa, Sayang? Sini sama Mami!” Eh suara siapa itu? Aku menoleh ke arah datangnya suara. Huh, rupanya Mak Macan ada di sini. Sejenak kami salang tatap, maskaranya tampak berat, bulu mata palsunya sedikit terangkat sebelah. Alisnya warna hitam pekat tergurat nyata. “Aku pegang Nda, Tante. Aku kangen Nda. Nda lagi belanja pudding buat aku, Tante.” Hani merapat ke arahku. Kulihat tatapan tak suka Mak Macan melotot ke arahku. “Dia itu bukan Bunda kamu, Sayang. Bunda Fitri sudah meninggal.” Mak Macan menatap geram ke arahku yang tengah memeluknya. Entah kenapa hatiku mendadak hello kitty. Kok iba ya lihat wajah polos itu lihatin aku segitunya. Entah kenapa juga tuh anak mengira aku ini ibunya. “Liiin!” Pak Bos Durenku menoleh ke arah Mak Macan. Dia seolah tak ingin ada hal lain yang dia ungkapkan. “Mas! Cukup, Mas. Aku ini calon ibunya Hani. Dia harus tahu kalau ibu kandungnya memang sudah meninggal. Dia harus mulai belajar nerima aku sebagai calon ibu barunya.” “Tante bohong … Ini Ndak, Ini Ndak, Aku mau sama Ndak!” Duh Mak Macan ini garangnya gak berkurang. Cantih, sih, tapi ngomong sama anak kecil aja gak bisa perlahan. Alhasil kini kami di sini jadi pusat perhatian. Duh sekalinya jadi pusat perhatian harus buat ribut dulu. “Sudah sayang, sudah!” Hati pink ku meleleh melihat tangis mengalir dari wajah anak sekecil ini. Dia meluk aku sudah kayak sama ibunya sendiri. “Ndak ayo pulang! Mau makan pudding sama, Ndak!” Dia menarik-narik tanganku. Eh, pulang? Pulang ke mana? Aku menggaruk kepala, bingung dan malu juga ketika semua orang tengah melirik-lirik ke arah kami. Dikiranya kita tengah latihan main drama kali. “Ra, bisa tolong bawain Hani ke mobil dulu gak?” Suara baritonnya terdengar, tetapi dengan ekspresi yang tak terbaca. “Oh ok, Pak. Tapi ini belanjaan saya gimana?” Aku bingung menatap troly yang sudah berisi barang-barang yang kuambil. “Nanti saya bayarin, tunggu di mobil, ya!” tukasnya seraya mengambil alih troly belanjaanku. “Oke, Pak.” Tak ada alasan untukku menolak perintahnya. Aku pun menggendong gadis kecil yang katanya Hani---namanya. “Ayah, pudding cokelat, stroberi sama Vanila!” Hani masih sempat mengabsen makanan yang diinginkannya. “Oke, Sayang! Sama Ndak dulu ke mobil, ya! Ayah bayar belanjaan Ndak dulu,” ucapnya dengan begitu manis dan tersenyum lembut. Duh yang lumer bukan hanya es krim kalau kayak gini, hati aku juga. Kudengar Hani berteriak girang, aku pun terus menggendongnya menuju ke area parkiran. Namun tiba-tiba tangan seseorang menepuk bahuku. “Ra, kamu bawa anak siapa?” Aku menoleh ke arah asal suara. Lalu menempelkan telunjuk ke bibir agar seseorang yang ternyata Bang Ferdi ini tak banyak bertanya dulu. Aku kedipkan mata juga biar dia paham. Namun entah, kadang dia gak peka, eh malah nanya lagi. “Kalau ditanya tuh jawab, Ra. Bukan kedap-kedip kayak lampu diskotik. Itu anak siapa? Kamu gak nyulik anak orang kan?” Hush! Aku mendelik dan menginjak kakinya. Bang Ferdi mengaduh dan mengelus ujung kakinya. Namun hal itu kini menarik perhatian gadis kecilku yang dalam gendonga, dia pun bertanya dan menatap ke arahnya. “Ndak dia siapa?” “Oh dia itu Om Ferdi, Sayang. Sudah yuk, kita tunggu ayah di mobil dulu!” Aku menjawab lembut, lalu berjalan meninggalkan Bang Ferdi gitu saja. Kudengar dia masih memanggil-manggil aku. “Ra, kamu kesambet di mana, sih?” Ah rupanya bukan hanya manggil, dia pun mengejar dan kini menjejeri langkahku. “Bang, nanti aku jelasin! Sudah jangan berisik!” Lagi-lagi aku mendelik. Ingin rasanya kututup mulut Bang Ferdi pake cimol biar diem. Dia gak tahu apa, kalau beberapa menit lalu baru saja Hani menjadikan kami tontonan. “Dia bukan anak kamu kan Ra?” Duh itu mulut, bawel banget kadang-kadang. Hani yang dalam pangkuanku menatap tak suka pada Bang Ferdi. “Om kenapa sih gangguin Nda aku? Om orang jahat, ya? Aku teriak nih?!” ancamnya. “Eh anak kecil? Berani, ya? Teriak aja ayo! Om gak takut!” Astagaaa, Bang Ferdi … anak kecil saja diladenin. Belum sempat aku mendebatnya. Hani sudah berteriak-teriak minta tolong. “Tolong! Tolong! Tolong!” teriaknya dengan suara cemprengnya. Sontak kami yang tengah menuju parkiran menjadi bahan perhatian beberapa orang. Dari arah post keamanan, dua orang petugas security tampak berlari menuju kea rah kami, sedangkan Hani masih teriak-teriak minta tolong. “Ayo lari, Ra!” Astagaaa … Bang Ferdi yang panik malah menarik lenganku, dia genggam erat sekali, mau tak mau aku pun jadi berlari karena mengimbanginya seraya memintanya berhenti. Kenapa juga harus ajak aku lari, yang dibilang jahat oleh Hani kan dia saja, bukan aku. “Duh berhenti, Bang!” Sentakku, tanpa kusangka Bang Ferdi yang berlari di depanku berhenti mendadak. Akhirnya kami terjatuh bertubrukan dan Hani menangis kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD