Alaska menatap nanar dari kejauhan ketika dia melihat Dior berciuman dengan Sandy.
“Baguslah kalau yang dia sukai adalah pria itu. Dengan begitu aku bisa memanfaatkannya tanpa ada rasa iba.”
Alaska bergegas menghampiri Callia begitu dia melihat wanita itu sedang berjalan ke arah tempat Sandy dan Dior berada saat ini. Sebelum Callia melihat ciuman calon suami dan kakaknya, Alaska ingin mencegahnya duluan.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa kamu menghalangi jalanku? Cepat bergeser.” Ucap Callia, saat Alaska menghalangi jalannya.
“Apa ada yang sedang Nona Callia cari? Mungkin saya bisa membantunya.”
“Di mana Sandy, calon suamiku?”
“Oh, Tuan muda Sandy. Tadi saya melihatnya sedang berjalan ke area golf.”
“Kamu yakin kalau itu benar Sandy?”
“Iya, Nona.”
“Sandy tidak menyukai golf, jadi mana mungkin dia pergi ke sana.”
“Entahlah.” Alaska mulai gugup, saat Callia menangkap kebohongan dari perkataannya.
Callia pun menatap curiga Alaska beberapa detik, lalu, “Baiklah, aku akan mencarinya ke sana.”
Alaska bisa bernafas lega kembali setelah Callia mau mempercayai ucapannya.
“Tunggu.” Callia menghentikan langkah kakinya dan berbalik arah untuk menghampiri Alaska kembali. “Apa benar kalau kamu dan Dior akan menikah? Maksudku, apa benar kalau— kalian sudah pacaran selama 3 tahun lamanya?” Callia tampak penasaran dan ingin sekali memastikan kabar tersebut.
“Iya, Nona. Kabar tersebut benar adanya.”
Senyuman sarkas langsung terlukis di wajah Callia. “Tak kusangka, ternyata paras cantik dan kecerdasan yang Dior miliki hanya mempunyai standar level calon suami seperti dirimu.”
Callia menertawai kebodohan Dior dalam memilih pria idamannya. Lalu, dia pun berlalu pergi setelah menghina Alaska secara terang-terangan.
**
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Aston. Lyra diam-diam pergi menemui Kian, seorang pengacara keluarga Van, di kediaman rumah Kian.
“Aku ingin kamu mengubah surat wasiat suamiku yang telah diam-diam mengubah pewaris utama atas nama Dior menjadi atas nama Callia.”
“Aku tidak bisa melakukannya tanpa seizin Aston.”
“Apa kamu tidak ingin membantuku? Kamu tidak mencintai aku lagi?”
“Bukan itu persoalannya, tapi masalahnya adalah hukum. Jika aku sampai melanggarnya, aku bisa kena hukum penjara. Apalagi Aston bukanlah orang sembarangan yang bisa dikelabui.”
“Kamu memang tidak bisa diandalkan.”
“Setidaknya, aku bisa memuaskan hasrat bercintamu daripada suamimu yang milyader itu!”
“Ciih. Bahkan kamu tidak bisa memberi uang tambahan untukku, padahal kamu tahu kalau Aston itu pelit.”
Kan pun enggan membalas lagi ucapan Lyra yang keluar dari topik utama obrolan mereka.
“Aku harus mencari cara bagaimana menyingkirkan Dior kembali. Semua ini gara-gara Aston yang menginginkan Dior kembali ke Indonesia dan memegang kendali Nobii Group lagi.”
“Itu karena saham Nobii Group sedang merosot setahun ini dan Callia tidak bisa melakukan apapun untuk menaikkan saham Nobii Group. Makanya Dior diminta untuk menormalkan kembali perekonomian Nobii Group sebelum Nobii Group jatuh bangkrut. Tapi, kamu malah mengacaukannya. Andai saja Aston mengetahui rencana busukmu.”
“Diam kamu! Jangan ikut campur urusanku. Karena urusan kita hanya sebatas urusan di atas ranjang saja.”
“Kalau begitu jangan memintaku untuk mengubah surat wasiat yang telah Aston buat padaku!”
“Aku tidak akan meminta bantuan lagi padamu, karena sudah ada orang lain yang bisa aku manfaatkan untuk melakukan seluruh rencanaku!”
“Siapa orang itu?”
“Kamu tidak perlu mengetahui siapa orangnya, karena itu bukanlah urusanmu.”
**
DUA MINGGU KEMUDIAN...
Dior menatap wajahnya dari pantulan cermin di depannya. Riasan wajahnya yang hampir tidak terlihat sama sekali menampilkan kecantikannya yang alami. Memang impiannya dari dulu ketika menikah dia tidak mau dirias sama sekali, hanya sentuhan bedak dan lipstik yang sangat tipis saja yang akan menghias wajahnya.
“Masih belum terlambat sebelum aku benar-benar menikahi pria itu.” Batin Dior terus berkata seperti itu sejak semalam.
Putaran jam telah terlewati. Yang tersisa kini hanya tinggal menit dan akan berubah menjadi detik. Pernikahannya dengan pria itu akan mengubah segala yang akan terjadi pada hidup Dior nanti. Maka dari itu, di tengah keraguannya yang akan menjadi seorang istri sebentar lagi, Dior berusaha menguatkan keputusannya kalau resiko yang dia ambil tidak akan sampai merugikannya.
“Demi almarhumah Ibu, aku harus melakukannya. Ya. Aku harus melakukannya. Semua hak yang akan mereka ambil harus menjadi milikku lebih dulu. Selain itu,” Dior mengepal kuat kedua tangannya. “Aku harus membalaskan dendamku agar mereka menerima karmanya langsung dari tanganku sendiri!”
“Dior!” Panggil salah seorang staf WO, Karen, sahabatnya sendiri.
Dior langsung menyeka air matanya buru-buru.
“Kamu menangis?” Tanya Karen, yang langsung berjalan menghampiri Dior.
“Sedikit.”
“Sedih lagi? Gara-gara apa? Mau nikah atau ada hal lain?”
“Jangan dibahas.”
“Dior?”
“Apa?” Balas Dior lemah, ketika Karen menatapnya sambil meraih kedua sisi bahunya.
“Jangan lakukan pernikahan ini kalau nantinya hanya akan membuat luka untukmu.”
“Aku sudah terbiasa terluka, dan keputusanku untuk menikahi pria itu sudah bulat.”
“Tapi, aku yang tidak yakin kamu akan bahagia bersamanya.”
“Aku tidak butuh bahagia, yang aku butuhkan adalah pembalasan untuk mengirim mereka semua ke neraka dunia.”
“Dior?” Karen sedih melihat sahabatnya terus hidup dalam kebencian yang hebat, tanpa bisa dikendalikan dengan baik.
“Sudahlah, jangan mencoba membujukku untuk menghentikan semua ini. Yang aku butuhkan darimu adalah dukungan moril. Hanya itu.”
“Ckk. Terserah kamu saja.”
“Tolong perbaiki make up aku lagi. Aku tidak ingin menjadi pengantin yang sedih di hari pernikahan pertamaku ini.”
“Pernikahan pertama.” Gumam Karen dengan tawa sinis. Dia pun tidak melanjutkan pembahasan itu dan lebih memilih untuk diam dan melakukan perintah Dior barusan.
Setelah selesai berdandan. Dior diantar oleh Karen berjalan memasuki Aula pernikahan, tempat ijab kabul dan resepsi akan digelar dengan sangat sederhana sesuai dengan permintaan Dior.
Begitu Dior berjalan menuju meja ijab kabul, semua pasang mata yang ada di sana langsung terpukau dan terpesona dengan kecantikan Dior yang mereka akui tanpa setengah-setengah. Semua orang berpikir kalau pengantin pria sangat beruntung karena bisa menikahi Dior, tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai pernikahan itu dilakukan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Dior Van binti Aston Van dengan mas kawin yang tersebut tunai.”
Sah!
Sandy merasa begitu sesak saat kata sah dari pernikahan Dior dan Alaska harus dia saksikan secara langsung. Hatinya yang semula biasa pada Dior dalam detik itu juga langsung berubah jadi perasaan yang tidak biasa.
“Aku pastikan kalau pernikahan mereka hanya akan bertahan kurang dari 6 bulan.” Ucap Callia, yang duduk di samping Sandy.
Sandy hanya diam mendengar tanpa mau berkomentar.
Batin Sandy pun mempertanyakan perihal respon Dior ketika dia menjawab ajakan menikah Dior padanya beberapa hari yang lalu. Sandy ingin marah tapi dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Malam harinya, setelah acara resepsi pernikahan selesai, Dior dan Alaska masuk ke dalam kamar yang sama. Rasanya sangat canggung sekali mengingat pernikahan mereka bukanlah pernikahan nyata.
“Aku akan tidur di sofa.” Ujar Alaska.
“Iya.” Dior membalas dengan setuju.
“Kamu saja yang mandi lebih dulu, aku ingin membuat minuman hangat lebih dulu. Apa kamu juga ingin aku buatkan minuman hangat? Teh manis?”
“Aku tidak terlalu suka teh.”
“Oh, begitu.”
“Bersikaplah biasa. Anggap aku sebagai istrimu bukan majikanmu lagi.”
“Ya, aku akan mencobanya.”
Dior menganggup kiku. Lalu, dia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Telapak tangannya langsung menyentuh dadanya lantaran jantungnya berdegup kencang ketika harus menghadapi Alaska yang kini sudah berstatus sebagai suaminya.
“Ada apa dengan aku? Kenapa menatapnya membuat jantungku sulit terkendali dengan baik? Akh, Dior. Ternyata kamu memang masih lugu untuk urusan yang seperti ini.”
Dddrr... dddrrr...
Tiba-tiba saja ponsel di tangannya berdering. Dior memang belum meletakkan ponselnya setelah dia menerima telpon dari kerabat Ibunya usai acara resepsi pernikahannya tadi.
“Nomer siapa ini?” Dior tidak mengenal orang yang menghubunginya. Dia pun segera mengangkatnya.
“Halo? Siapa ini?”
“[Sandy.]”
“Sa-Sandy???”
“[Jangan lakukan malam pertama dengannya, karena kamu bukanlah miliknya. Kamu hanya milikku dan hanya aku yang boleh menyentuhmu.]”
“Apa maksud perkataanmu? Kamu memang sudah gila.”
“[Aku memang gila karena aku baru sadar kalau ternyata aku jatuh cinta sama kamu sejak di malam pertama kita lima tahun yang lalu!!]”
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu langsung menghentikan obrolan itu. Dior langsung memutus panggilan telpon tersebut dan segera membuka pintu kamar mandi untuk Alaska.
“Ya? Ada apa?”
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”
“Tentang?”
“Apakah boleh ada malam pertama di dalam pernikahan ini?”
Dior langsung terkelu begitu mendengar pertanyaan tersebut.
***