Bag 9 - Jangan Harap

1149 Words
Terjadi keributan di rumah para gadis malam naungan Madam Luna, mereka semua keluar dari kamar mereka dan melihat Irene di kamarnya, mereka berkerumun di depan pintu kamar Irene. Semua gadis itu terkejut ketika mendengar cerita Lely, jika ternyata penyebab Irene pingsan adalah ketika melihat Jihan melayani seorang tamu yang datang, semuanya berbisik dan menganggap apa yang terjadi pada Irene adalah hal yang sangat berlebihan di negara ini, hal itu adalah hal yang sangat wajar namun Irene menunjukkan kepada semuanya bahwa ia masih begitu polos. Meskipun sebagian dari mereka masih ada yang tak percaya dengan Irene. "Apakah benar dia masih perawan?" tanya Allen menoleh sesaat melihat Jihan dan Lely. "Aku tidak yakin, sepertinya ini hanya sandiwara, tidak mungkin seorang wanita dewasa tak pernah melakukan hubungan itu atau melihatnya," sambung Belyn. "Benar katamu. Tak mungkin saja. Dia hanya sok polos dan mau memperlihatkan kepada kita bahwa dia itu masih perawan." Lely melanjutkan dan bersedekap didepan teman-temannya. "Irene memang masih perawan dan belum pernah melakukan hubungan itu, karena itu tarifnya sangat mahal," jawab Jihan menoleh melihat teman-temannya yang sudah bertanya-tanya tentang Irene. Semuanya terkejut mendengar apa yang dikatakan Jihan. Mereka tak percaya jika seorang wanita dewasa belum pernah melakukan hubungan itu atau melihat hubungan itu, sementara situs porno selalu ada dan siap ditonton. "Kamu tahu dari mana kalau Irene itu masih perawan?" tanya Lely menautkan alisnya. "Aku pernah mendengar Madam Luna mengobrol dengan Yonce di ruangannya, katanya tarif Irene begitu mahal dan akan dijual pada pengusaha hebat, bahkan harganya sepuluh kali lipat dengan harga kita." Jihan menjawab. "Wah wajar saja jika tarifnya mahal karena dia masih perawan," sambung Belyn. "Karena itu Lely berada dalam masalah karena Irene adalah anak kesayangan Madam Luna saat ini. Jika Madam Luna tahu Irene pingsan karena Lely sudah pasti Madam Luna sangat marah karena anak kesayangannya diganggu," kata Jihan lalu memainkan rambut panjang yang diurai, ia sengaja menakuti Lely agar tak lagi berbuat seenaknya. "Memangnya kenapa kalau aku memberitahu Irene tentang pekerjaannya? Lagian tanpa aku beritahu pun dia akan tahu semuanya, jadi aku hanya mempercepat waktu agar ia tahu. Buat apa disimpan-simpan? Lebih baik pingsan sekarang daripada pingsan nanti," jawab Lely membela diri. "Tapi, tetap saja Madam Luna akan sangat marah padamu." Jihan terus mengejek Lely. Yonce keluar dari kamar Irene, lalu melihat perdebatan antara Jihan dan Lely juga beberapa wanita lainnya yang juga tinggal di rumah ini. Yonce bersedekap dan menatap semuanya bergantian, mereka semua menunduk dan berjejer di hadapan Yonce, karena jika Madam Luna tak ada semua yang terjadi di rumah ini adalah tanggung jawabnya, Yonce bos kedua dari madam Luna. Jadi, semua perintahnya adalah perintah Madam Luna. "Kenapa kamu membuatnya terkejut? Lely, sebenarnya apa tujuanmu? Harusnya Irene itu tahu pekerjaannya dari Madam Luna bukan dari kamu, kamu itu punya tugas hanya melayani tamu yang datang atau yang datang menjemput, bukan mengurus Irene," kata Yonce menatap tajam Lely yang kini menekuk wajahnya. "Anggap saja aku membantu Madam Luna untuk memberitahu Irene. Daripada nanti," jawab Lely masih berusaha membela diri. "Memangnya siapa kamu? Apa kamu punya tugas untuk memberitahu Irene apa pekerjaannya? Lakukan saja tugasmu, tak perlu mengusik pekerjaan di sini atau orang lain," kata Yonce masih menatap wajah Lely. "Kenapa kalian semua menyalahkanku? Apa karena Irene adalah anak kesayangan Madam Luna? Sampai aku disudutkan seperti ini? Kalian harusnya ingat kalau aku juga adalah anak kesayangan Madam Luna dulu. Jadi, aku pernah menjadi kesayangan di rumah ini." Lely tak mau kalah. "Siapa lagi yang akan kami salahkan kalau bukan kamu? Karena bukan tugasmu untuk memberitahu Irene. Apa kamu mau bertanggung jawab jika sudah terjadi seperti ini?" Yonce menatap kesal pada Lely yang ia anggap terlalu banyak urusan. "Apalagi kalau Irene bangun dia pasti syok," sambung Jihan cari muka. "Semua wanita yang datang dan tinggal di sini, semua mengalami keterkejutan yang sama seperti Irene bahkan ada yang sampai sakit, ada juga yang berkurung diri di kamar, bahkan hampir membunuh dirinya. Jadi, jika Irene terkejut, Bukankah itu hal yang biasa? Tak perlu dilebih-lebihkan," sambung Allen. "Tapi, Irene itu berbeda, dia itu wanita yang sangat polos dan sangat dijaga oleh Madam Luna, lalu ketika Irene tahu tentang pekerjaannya apakah kamu mau bertanggung jawab jika Irene pergi dari rumah ini dan mengadu nasib pada polisi. Apa kamu mau? Kamu akan kehilangan pekerjaan juga. Jadi lebih baik jaga sikapmu. Jangan ikut campur dengan urusan kami." Yonce terus berdebat dengan Lely. "Tapi—" "Sudah, Lely. Ayo pergi dari sini," tarik Allen—satu kamar dengan Lely. Mereka lalu masuk kamar, Allen sengaja menarik Lely agar tak berdebat terlalu jauh dengan Yonce. "Kalian kembali ke kamar kalian dan bersiap lah. Sudah hampir sore," titah Yonce membuat semuanya mengangguk. Jihan masih berdiri disamping Yonce yang masih berdiri didepan pintu kamar Irene. Jihan sengaja cari muka karena ia tak mau membuat Madam Luna atau Yonce marah kepadanya. Jihan adalah wanita yang selalu ikut titah Madam Luna dan Yonce, ia juga pintar cari muka. "Apakah aku ada jadwal hari ini?" tanya Jihan melihat buku kecil yang lembarannya terbuka untuk melihat namanya. "Tidak ada. Kamu di rumah saja temani Irene. Karena kamu baru melayani tamu siang ini, jadi malam ini, aku bebaskan kamu. Temani saja Irene dan bujuk dia. Aku akan menghubungi Madam Luna." Yonce menutup buku kecilnya. "Okay." Jihan mengangguk. "Kamu temani Irene." Jihan mengangguk lagi lalu masuk ke kamar, melihat Irene belum sadarkan diri. Atau, Irene tak mau bangun. "Kamu bisa bangun, Yonce sudah pergi," kata Jihan membuat Irene membuka pejaman matanya dan menoleh melihat Jihan yang kini duduk dibibir ranjangnya. "Apakah benar apa yang dikatakan Lely?" tanya Irene melihat Jihan. "Aku ingin pulang. Aku harus pulang." "Kamu sudah tak bisa pulang. Kalau kamu mau pulang izin dulu sama Madam Luna. Bukan memberitahuku," kata Jihan. "Memangnya kamu tak mau di sini lagi? Apa kamu sudah menyerah mendapatkan uang untuk keluargamu?" "Tapi bukan dengan cara ini," kata Irene. "Aku tak mau menambah dosa. Allah tak suka dengan cara ini. Masih banyak yang halal selain cara ini." "Silahkan cari sesukamu, aku tak pernah melarangmu, tapi jangan pernah berharap untuk lepas dari genggaman Madam. Karena yang berhak atas kita adalah Madam." Jihan melihat Irene. Irene tahu bahwa ia sudah mengambil langkah yang salah, ia setuju dengan keinginan ibunya mengirimnya kemari tanpa tahu kerjaan seperti apa yang akan ia lakukan. Irene harus berusaha menenangkan diri. Irene tak punya pilihan lain selain tetap di sini karena ia tak memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatnya pergi dari sini. "Jangan pikirkan usaha apa yang bisa kamu lakukan untuk terbebas dari Madam, karena kamu tak akan pernah mendapatkan kebebasan jika bukan Madam sendiri yang melepaskanmu. Hanya akan percuma jika kamu melakukannya." Jihan seperti tahu apa yang dipikirkan Irene. Irene memang berniat melakukan itu. "Kenapa kamu yakin sekali?" tanya Irene menautkan alisnya. "Karena sudah ada yang pernah mau kabur namun tak pernah berhasil, apalagi jika Madam sudah melakukan perjanjian dengan keluargamu. Kamu tak akan bisa bebas darinya." "Apa kamu menakutiku?" "Aku tak menakutimu, apa yang aku katakan ini adalah benar adanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD