Bag 10 - Hari Pertama

1011 Words
Beberapa hari telah berlalu, Irene tak pernah keluar kamar semenjak kejadian Irene pingsan. Jihan yang beberapa hari ini mengurusnya dan membawa makanan ke kamar untuk Irene, Jihan diberi tugas oleh Yonce untuk mengurus Irene. Jihan sebenarnya sudah bosan, namun ia diberikan bayaran yang cukup mahal, jadi ia akan menjaga Irene sampai Madam Luna kembali. "Ayo makan," kata Jihan menaruh piring diatas nakas dekat ranjang Irene. "Aku tak mau makan. Aku mau pulang," lirih Irene. "Minta saja pada Madam Luna kalau kamu mau pulang, itupun kalau kamu diberi izin karena semua wanita yang sudah terlanjur masuk ke rumah ini tidak akan pernah keluar dengan mudah," jawab Jihan duduk di bibir ranjangnya. "Terima saja nasibmu, karena aku juga menerima nasibku sendiri. Kita tak bisa berbuat apa-apa, ibarat kata kita itu sudah menjadi bagian daripada Madam Luna, jadi kita tidak bisa seenaknya pergi dari," tambahnya. "Apa kamu tidak terkejut ketika tiba di sini? Dan Mengetahui pekerjaan apa yang akan kamu kerjakan? Semua ini tidak benar harusnya kamu bisa melawannya. Menjual diri seperti ini itu dosa, Allah tak suka. Allah membenci hal itu. Masih banyak pekerjaan yang halal, bukan hanya menjual diri," kata Irene masih menangis setiap kali berbincang dengan Jihan. Ia tak bisa menahan air matanya, ia tak bisa menerima semua ini dengan pasrah. andaikan ia bisa mengulang waktu ia tak akan pernah meninggalkan Indonesia dan kemari, bukan ini yang ia inginkan meskipun menjadi seorang asisten rumah tangga Irene akan menerimanya daripada harus menjual diri. "Aku juga terkejut ketika aku tiba di sini, tak ada seorang wanita yang tiba di sini akan baik-baik saja, setelah tahu apa pekerjaan yang harus ia lakukan, hanya saja kami masih bisa menerimanya daripada, berurusan dengan Madam Luna karena Madam Luna bukan orang yang bisa kita lawan, dia itu orang yang kejam, jadi jangan pernah berurusan dengannya. Kalau kamu mau aman, ya ikuti keinginannya dan perintahnya." Jihan menggelengkan kepala. "Aku ingin pulang," lirih Irene menangis sesenggukan dihadapan Jihan. "Semua tanda pengenalmu mana?" tanya Jihan yang tak tega. Setidaknya meskipun ia sudah hancur, ia bisa membantu orang lain untuk tak hancur sepertinya. Karena masa depannya sudah hancur dan semuanya tak bisa dikembalikan. Nasi sudah menjadi bubur. "Semua diambil Madam," jawab Irene menitikkan airmata dan menatap wajah Jihan. "Jika sudah diambil Madam Luna, kamu tak bisa apa-apa lagi karena kamu tak bisa pergi dari sini." Jihan menggeleng. "Ya Allah, selamatkan Hamba," lirih Irene. "Apa tak ada yang bisa aku lakukan?" "Tak ada. Karena semua kartu pengenalmu diambil Madam Luna, kamu tak bisa pergi dari sini tanpa pengenal itu." Irene terus menangis didepan Jihan, Jihan sudah mulai muak dengan airmata buaya yang ditunjukkan Irene didepannya. Sesaat kemudian, Yonce masuk ke kamar Irene dan Jihan, ia membawa totebag ditangan kanannya dan menaruhnya diatas meja Irene. Irene mendongak dan menatap Yonce. "Pakai ini dan berdandan yang cantik, jangan sampai kamu merusak hari pertamamu bekerja," kata Yonce bersedekap didepan Irene dan Jihan. Irene menoleh melihat Jihan, namun Jihan tak bisa membantunya, karena semua sudah terlanjur, tak ada yang bisa pergi dari sini. "Saya tidak mau," jawab Irene menggeleng dan menutup telinganya dengan kedua tangannya. "Saya tidak mau melakukan itu, saya tidak mau. Selamatkan saya, Jihan." "Aku tak bisa menyelamatkanmu. Selamatkanlah dirimu sendiri," jawab Jihan. "Kamu dandai Irene, tak perlu terlalu tebal polesannya karena dia sudah cantik," titah Yonce pada Jihan. "Saya tidak mau. Selamatkan saya," lirih Irene berusaha meraih lengan Jihan, namun Jihan melepaskan genggaman tangannya. Irene tak tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri. "Pelanggan pertamamu adalah ... Javendra Alden Greene. Beliau butuh yang masih perawan, jadi jangan membuat kesalahan jika kamu tak mau aku hukum, kamu harus mendengarkanku jika tak mau menerima siksaan di sini," ancam Yonce. "Kenapa Mr. Greene mau menyewa Irene?" tanya Jihan. "Biasanya saya dan Lely." "Ini keinginan Mr. Greene sendiri. Jadi, lakukan saja tugasmu dengan baik," jawab Yonce. Javendra Alden Greene adalah langganan Madam Luna yang biasanya membayar wanita-wanita malam itu dengan harga yang sangat mahal, bahkan ia tak pernah memikirkan jumlah uangnya keluar. Karena, yang penting diberikan kesenangan semua itu tak masalah, lagian dia tak akan pernah miskin meskipun harus menghambur-hamburkan uang. Javendra sudah memiliki istri namun ia tak pernah puas dengan istrinya, jadi ia selalu menyewa ONS demi memuaskan nafsunya. Ia memang terkenal m***m dan mudah bergidik ketika seorang wanita membuka diri didepannya. Yonce hendak melangkah meninggalkan kamar, namun Irene berlutut dan menahan kaki Yonce agar tak pergi dari sini. "Apa yang kau lakukan, Bodoh?" tanya Yonce berusaha melepaskan kakinya. "Tolong saya, Yon. Berikan saya kebebasan dan biarkan saya pulang. Saya akan membayarmu setibanya di Indonesia, saya akan membayarmu mahal, jadi biarkan saya pulang. Saya sudah memiliki kekasih dan saya tak pernah memberikan keperawanan saya pada orang lain, dan saya sudah menjaga itu sejak dulu. Saya mohon." Yonce menarik kakinya kuat dan mendesah napas kesal. "Apa kamu yakin aku akan melepaskanmu? Kamu itu wanita malam. Jadi, kamu harus bertugas seperti julukan itu. Kamu tak perlu berusaha membujukku, karena aku lebih baik memenggal kepalaku daripada harus mengkhinati Madam Luna." "Saya mohon padamu, Yon. Saya mohon. Saya akan membayarmu mahal. Saya janji." "Apa yang bisa kamu berikan? Kamu itu hidupnya sudah miskin, kamu tak akan pernah bisa membayar saya." Yonce menggelengkan kepala dan melangkah meninggalkan Irene yang masih berlutut dilantai dan Jihan yang berdiri disamping nakasnya. "Berdiri lah," kata Jihan. "Saya tak mau melakukan ini, Jihan. Saya sangat menjaga diri saya selama ini," lirih Irene menitikkan airmata dan tetap duduk dilantai dan bersandar disamping ranjang. Irene menangis sesenggukan dan histeris hingga suaranya keluar dari kamar, suara tangis yang meminta pertolongan, semoga saja pertolongan itu datang. Irene terus menangis dan suaranya makin nyaring. Dan, datanglah malam dimana Irene harus bersiap dijemput. Irene benar-benar tak mau didandan dan lebih memilih wajahnya tanpa polesan. Ia berencana akan mengacaukan pria yang akan menikmati tubuhnya dan akan pergi setelah tiba di hotel. Itu lah keinginannya. Irene mengenakan dress berwarna lilac, memperlihatkan lelukan tubuhnya yang benar-benar indah, kakinya yang putih dan juga wajahnya yang menarik tanpa polesan apa pun. Irene mendengarkan kata Jihan. Ia tak bisa pergi kemana-mana, semua kartu pengenalnya sudah disita Madam Luna, jadi ia hanya bisa melindungi dirinya sendiri dengan cara yang dia bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD