3 – HAMIL!

2124 Words
TIFFA membuka mata dan tersadar dari pingsannya. Ia melihat Jason duduk menunggu di samping tempatnya berbaring, Tiffa bangkit untuk duduk namun ditahan oleh tangan Jason. “Jangan bergerak, tidak apa-apa kamu tidur saja,” ujar Jason. Tiffa akhirnya menurut dan kembali berbaring sambil menatap Jason canggung. “Apa aku pingsan?” tanya Tiffa hati-hati. Jason mengangguk sembari menjawab singkat, “Ya.” “Maaf bos, aku pasti membuatmu kesusahan,” balas Tiffa merasa bersalah. Jason menghela napas kemudian menatap serius Tiffa. “Kenapa kamu tidak memberitahuku jika sedang hamil?” Jantung Tiffa hampir copot mendengar penegasan Jason. “A-apa? Aku hamil?” Bola mata Tiffa berlarian dengan gelisah. “Ya, dokter bilang usia kandunganmu baru seminggu. Siapa ayahnya? Yang kutahu, kamu belum menikah.” Tiffa teringat seseorang yang memerkosanya di kelab dua minggu yang lalu, tidak ada pilihan lain selain mengakuinya, “Aku diperkosa setelah mengantar minuman ke VIP room, dan aku tidak kenal siapa pria itu.” Mata Jason membeliak kaget. “Astaga, bagaimana bisa itu terjadi? Selama ini kamu selalu aman saat bekerja.” Embusan napas berat keluar dari mulut Tiffa, dia sendiri tidak menduga akan berakhir seperti ini. Melihat Tiffa bungkam tidak mampu menjawab membuat Jason kasihan padanya. Apalagi semua itu terjadi di kelab miliknya. “Mau kubantu cari siapa ayahnya?” Tiffa menggeleng. “Tidak perlu, aku tidak ingin membesarkan masalah ini. Lagi pula, orang itu tamu VIP sudah pasti bukan orang sembarangan. Orang-orang berkelas seperti mereka tidak akan peduli dengan masalah wanita rendahan sepertiku.” Tidak bisa dipungkiri, Jason setuju dengan perkataan Tiffa. Akan sulit meminta belas kasihan apalagi pertanggung-jawaban dari orang-orang kelas tinggi. Sebagian besar dari mereka mengandalkan uang sebagai jalan keluar permasalahan. “Kalau begitu, sebagai pemilik kelab, aku yang akan bertanggung-jawab!” tegas Jason, mencerminkan seorang bos yang adil dan bijaksana. Tiffa menggeleng seraya menatap Jason ngeri. “Bos sudah punya istri, aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Anda!” Jason menekuk wajah cemberut. “Apa maksudmu? Bertanggung-jawab bukan berarti aku akan menikahimu juga,” sangkalnya. Tiffa meringis karena salah persepsi, sedangkan Jason kembali menjelaskan, “Tugasmu akan kuringankan, jadwal bekerjamu akan aku kurangi dari 6 hari bekerja menjadi 4 hari bekerja. Dan soal biaya check up sampai melahirkan, aku yang akan menanggungnya. Jadi kamu tidak perlu cemas tentang kehamilanmu, dan jangan coba-coba menggugurkannya!” Seakan tahu jalan pikiran Tiffa, ancaman terakhir Jason memupuskan rencana Tiffa untuk menggugurkan janinnya. “Bagaimana jika aku melakukannya?” Tiffa bertanya hati-hati. Raut Jason berubah murka. “Maka aku akan memecatmu!” Bahu Tiffa melorot putus asa. Sulit mencari pekerjaan di jaman sekarang, apalagi untuk seseorang yang sudah putus sekolah sejak umur 13 tahun seperti dirinya. Tiffa tidak bisa kehilangan pekerjaannya begitu saja, ia masih butuh uang untuk bertahan hidup. “Tapi bos, aku tidak siap menjadi seorang ibu. Harus aku akui sebenarnya hamil dan melahirkan adalah dua hal yang paling aku hindari selama hidupku. Aku tidak yakin bisa merawat bayiku setelah lahir nanti.” Jason tertegun, lalu memikirkan saran yang tepat untuk Tiffa. “Bagaimana kalau kamu serahkan bayimu ke panti asuhan setelah lahir, atau ke keluarga yang belum memiliki keturunan. Cara itu akan berguna untuk orang lain.” Ini kedua kalinya Tiffa mendapat saran yang sama. Meski benci harus mengandung sembilan bulan sampai tiba waktu lahir, tapi mau tidak mau Tiffa harus melakukannya. Daripada nanti ia dipecat dari pekerjaan, belum lagi jika Tiffa ketahuan menggugurkan bayinya, bisa-bisa ia dipenjara karena melakukan hal itu. “Baiklah, aku akan mengikuti saran Bos. Kalau begitu permisi…, saya akan melanjutkan pekerjaan lagi.” Tiffa bangkit berdiri sementara Jason menahan pundaknya. “Tidak! Pekerjaanmu sudah selesai hari ini. Sekarang kamu pulang dan beristirahatlah di rumah. Oh ya, jangan lupa tebus obat resep yang diberikan dokter juga.” Jason menyodorkan lembaran resep ke Tiffa yang menunduk menerimanya. Jika bosnya sudah berkata demikian, maka sebagai seorang bawahan Tiffa hanya bisa menurut dan menjalankan perintahnya. “Iya bos, terima kasih.” “Sama-sama Tiffa. Untuk jadwal barumu, aku akan mengirimkannya via email.” Itu kalimat terakhir yang diucapkan Jason sebelum kemudian Tiffa mengiyakan dan pamit pulang. *** Sesampainya di rumah, tidak ada kegiatan lain yang dilakukan Tiffa selain berbaring telentang di kasur kamar tidurnya. Merenungkan nasib buruk yang menimpanya hingga mengubah prinsip hidup Tiffa yang tidak sudi memiliki anak. Alisnya merengut tanda sedang marah, sementara tangan kanan Tiffa memegang perut yang didalamnya terdapat benih hasil hubungan badan dengan seorang pria yang namanya saja tidak Tiffa ketahui. “Tidak ada yang menginginkanmu lahir, tidak akan ada cinta dan kasih sayang. Setelah kamu lahir nanti, ingat-ingatlah bahwa aku bukanlah ibumu. Aku hanya alat perantara yang berfungsi melahirkanmu.” Tiffa berucap kejam berharap bayinya yang masih berukuran kepingan kacang itu mendengar dan mengerti bahwa kehadirannya sama sekali tidak diinginkan. Selang kemudian, seakan mendapat karma atas ucapannya, Tiffa mendadak merasakan keram perut. “Aduh!” Tiffa mengerang kesakitan sambil meremas bawah perutnya. “Kau marah karena ucapanku tadi?” Tiffa bertanya lagi pada janin dalam kandungannya. “Seharusnya kamu berterima kasih karena aku bersedia dijadikan alat untuk melahirkanmu ke dunia! Jangan menyiksaku dengan rasa sakit seperti ini!” maki Tiffa dan secara ajaib membuat keram di perutnya menghilang. Tiffa terdiam sejenak setelah rasa sakit itu mendadak sirna. Bertanya-tanya apakah janin dalam kandungannya benar-benar dapat mendengar semua ucapannya. Larut dalam pemikiran itu membuat Tiffa diserang perasaan bersalah. “Aku saja tidak pernah berkata buruk pada orang yang kubenci. Aku sudah keterlaluan karena mengatakan itu pada darah dagingku sendiri.” Tiffa menyadari kesalahannya dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. Wajahnya menunduk, tangan kanannya mengelus perutnya lembut. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak membencimu. Meskipun kelahiranmu tidak diinginkan, tapi jauh di lubuk hatiku… aku berharap kamu hidup bahagia setelah lahir nanti.” Pandangan Tiffa meredup, tampak kosong dan tak bersemangat. “Hidup bahagia…” Tiffa mengulang dua kata tersebut seolah menginginkan hidup yang seperti itu juga. Akan tetapi hidup bahagia terasa mustahil dibenak Tiffa. Kebahagiaannya sudah berhenti sejak ayahnya meninggal belasan tahun yang lalu. Tidak ada kesempatan untuk Tiffa hidup bahagia lagi, baginya yang tersisa sekarang hanyalah kesengsaraan. *** “Daddy…” Panggilan dari gadis kecil yang berdiri di ujung kegelapan membuat Felip menajamkan pandangan. Tapi nihil, sosoknya masih terlihat buram di mata Felip. “Why daddy leave me and mommy?” Gadis kecil itu kembali berbicara, kali ini dengan nada sedih yang terdengar memilukan di telinga Felip. “Siapa kamu?” Felip bertanya dengan suara gemetar. Pasalnya Felip belum menikah, apalagi memiliki anak. Mana mungkin gadis itu memanggilnya daddy. “Did you forget me, Dad?” Mata Felip membeliak ketika ia teringat insiden di kelab Albany. Mungkinkah sebelum meninggal, Sophia sempat hamil anaknya? Isak tangis gadis kecil di depannya menghentikan lamunan Felip. “I’m sorry baby. Daddy tidak bermaksud meninggalkanmu dan mommy,” ujar Felip, menyesal. “LALU KENAPA DADDY TIDAK BERUSAHA MENCARI KAMI?!” Jerit pertanyaan itu menusuk relung kalbu terdalam Felip. Menyadarkannya dari sebuah kesalahan fatal. “Daddy tidak bisa mencari kalian di dunia ini. I am so sorry…” Felip nyaris menangis saat mengatakan penyesalannya. Andai Sophia dan bayinya masih hidup, Felip pasti akan mencari mereka sampai ketemu, tak peduli walau harus ke ujung dunia sekalipun. “We are still alive dad.” Deg. Felip membuka mata selang sekian detik gadis kecil dalam mimpinya mengucapkan kalimat terakhir yang memberinya sebuah petunjuk. Felip terduduk di atas ranjang besarnya. Menyeka keringat yang bersarang di pelipisnya kemudian meraba jantungnya yang masih berdegub kencang, efek dari mimpi yang dialaminya barusan. “Apa arti mimpi itu?” Felip bertanya setelah membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. “Mereka masih hidup? Sophia dan bayiku?” gumamnya lagi sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Felip mengeringkan wajahnya menggunakan handuk kemudian bergegas keluar kamar mandi untuk mengambil handphone di nakas. Felip mengetikkan nama seseorang dipencarian kontak dan menunggu hingga sambungan telepon itu terjawab. Butuh waktu lima menit sampai akhirnya suara parau Stave menjawab, “Halo.” “Stave, aku mimpi buruk,” ujar Felip. Stave mendengus di seberang telepon, kemudian menyahut kesal, “Kau meneleponku pagi-pagi buta hanya untuk memberitahu bahwa kau mimpi buruk?” Felip melirik jam weker dan membalas santai, “Sekarang sudah pukul enam Stave.” “Tapi sekarang hari minggu.” Stave menggeram menahan emosi, kemudian lanjut berkata, “Bagi orang-orang yang bekerja setiap waktu sepertiku, jam bangun di hari minggu adalah siang hari.” Felip memasang tampang malas, andai saja Stave bukan asisten istimewa, sudah pasti Felip akan langsung memecatnya karena berani membangkang padanya. “Ini tentang Sophia,” ujar Felip, tak memedulikan Stave yang sudah ingin mengumpat di seberang sana. “Bukankah masalah itu sudah selesai sejak beberapa minggu yang lalu? Sekarang apa lagi?” Stave bertanya frustasi. Rasa kantuknya sampai hilang saking geramnya dengan tingkah Felip yang semena-mena membangunkannya di hari minggu. “Kau yakin Sophia sudah meninggal?” tanya Felip. “What the f**k!” Terdengar umpatan samar dari seberang telepon, tampaknya kesabaran Stave hampir habis. “Kamu mau aku antarkan ke makamnya supaya percaya?” Felip mengangguk seraya menjawab, “Ide bagus! Jemput aku pukul delapan nanti.” “Shiit!” umpat Stave lagi, lalu meminta belas kasihan pada bosnya yang berengsek, “Tidak bisakah kau membiarkanku istirahat hari ini? Masih ada hari esok untuk mengunjungi makam.” “Besok pagi ada meeting penting dengan client Tiongkok, kita hanya punya waktu bebas hari ini,” jawab Felip, tidak berperikemanusiaan. Stave bisa saja melaporkan Felip ke dinas ketenagakerjaan di Canada karena telah membuatnya bekerja di luar jam normal. Tapi tentu saja Stave tidak akan melakukannya. “Aku akan mengirimkan alamatnya ke messeger. Pergi saja sendiri ke sana, aku bukan supirmu!” Felip memutar bola mata, “Ayolah Stave! Jangan karena kita akrab kau bisa menolak perintahku.” Stave mendesis lalu menggerutu, “Kalau begitu jangan mencoba akrab denganku! Aku ini manusia Felip, bukan robot! Sampaikan salam dan rasa berduka cita-ku untuk Sophia, sampai jumpa besok di kantor!” Panggilan pun diakhir secara sepihak. Felip memejamkan mata menahan luapan emosi yang memanas di puncak kepalanya. Felip akan membalas perbuatan Stave dengan memberinya banyak pekerjaan. Lihat saja besok… Clung. Pesan dari Stave memalingkan Felip untuk segera membaca alamat pemakaman Sophia. Tanpa banyak berpikir, Felip segera pergi ke sana untuk memastikan bahwa Sophia benar-benar sudah meninggal. *** “Kamu harus bersyukur karena punya bos sebaik Mr.Jason!” ujar Viola sambil mengemudikan mobil pick up klasik miliknya. Sementara Tiffa yang duduk di sampingnya mendengus seraya menjawab, “Tentu saja aku bersyukur, hanya itu satu-satunya hal baik yang terjadi dalam hidupku. Sisanya ya… kau tahu sendiri, aku sering terkena nasib buruk.” Viola melirik miris sahabatnya. “Itu buruk jika kau menilainya begitu. Cobalah menilai dari sudut pandang yang lain!” tegur Viola. Tiffa mengerutkan kening tidak mengerti. “Maksudmu?” “Meskipun kamu berprinsip tidak akan pernah punya anak, tapi Tuhan pikir hidupmu akan berubah lebih baik dengan kehadirannya. Mungkin saja, lewat anak itu kamu akan merasakan kebahagiaan lagi,” tutur Viola, berharap dengan mengatakan itu bisa mengurangi beban stres Tiffa. “Tapi aku takut, justru anak inilah yang nantinya akan ikut menderita sepertiku.” Tiffa berucap sedih, membayangkan masa depan yang tak pasti bila bayi yang dikandungnya ia rawat sendiri. Semua ibu selalu berharap yang terbaik untuk anaknya, begitu juga dengan Tiffa. Selain itu, tidak mudah membesarkan seorang anak sendirian, apalagi untuk Tiffa yang kekurangan. Kebaikan yang bisa Tiffa lakukan untuk anaknya hanya ada dua, yakni melahirkannya ke dunia, dan juga menyerahkannya ke panti asuhan untuk mendapat orang tua yang lebih layak. “Ngomong-ngomong, untuk apa juga sih kamu mengunjungi makam Sophia?” protes Viola sambil menatap sekilas ke arah Tiffa. “Apa salahnya mengunjungi makam rekan kerja? Kamu keberatan karena kusuruh mengantar ke sana?” tanya Tiffa. “Bukan begitu, hanya aneh saja mau mengunjungi makam seseorang yang paling kamu benci semasa hidupnya,” sahut Viola sambil memutar kemudinya ke simpang kanan hingga mobil mereka terhubung ke area pemakaman yang luas di pinggir kota. “Untuk itulah aku kemari, aku belum sempat minta-maaf karena telah membencinya.” Tiffa menjawab setelah mobil Viola berhenti diparkiran pemakaman. “Sophia-lah yang harusnya meminta-maaf padamu dahulu! Dia suka membully dan memanfaatkanmu,” bantah Viola. “Jangan malu minta-maaf lebih dulu walaupun kita tidak salah. Minta-maaf dapat disimbolkan sebagai bentuk perdamaian, dan aku ingin damai dengan Sophia.” Viola tidak bisa beradu arguman lagi ketika Tiffa mengucapkan hal benar. Viola sampai tidak habis pikir kenapa orang sebaik Tiffa selalu tertimpa nasib buruk yang menyengsarakannya. “Yaudah yuk! Kamu mau ikut ke makam atau nunggu di mobil aja?” tanya Tiffa sebelum membuka pintu mobil. “Aku tunggu di mobil aja deh yah. Lagian aku dan Sophia juga gak saling kenal,” jawab Viola. Tiffa tersenyum, tidak memaksa Viola. “Oke, aku gak akan lama kok,” katanya kemudian keluar dan melangkah menuju makam Sophia yang Tiffa ketahui letaknya berada di sisi barat pemakaman. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD