2 – SALAH ORANG

2074 Words
TIFFA baru sampai di rumah pukul 4 sore. Setelah mandi dan berganti pakaian, Tiffa teringat belum meminum pil penunda hamilnya. Perempuan itu mengambil segelas air mineral kemudian kembali ke kamar untuk minum pil. Tangannya hendak menjangkau kantong plastik berisi pil yang ia beli di apotik tadi pagi, tetapi lagi-lagi ditunda begitu mendengar ponselnya berbunyi pertanda sebuah panggilan masuk. “Haish! Ada apaan lagi sih?” Tiffa merengut, sebenarnya ia ingin mengabaikan panggilan itu dan meminum pilnya terlebih dahulu namun melihat orang yang menelponnya saat ini adalah Jason—bos tempatnya bekerja, Tiffa seketika kaget dan segera menjawabnya. “Halo bos!” “Tiffa! Lama sekali kamu mengangkatnya!” tegur Jason di seberang sana. Tiffa meringis, “Maaf, aku baru pulang dari acara. Jadwal kerjaku masih nanti malam, tumben bos menelponku,” jawab Tiffa karena penasaran dengan tujuan Jason menghubunginya. Terdengar helaan napas Jason di telepon, pria itu lalu berkata, “Sophia meninggal karena dibunuh.” Mata Tiffa membulat, jantungnya seakan berhenti berdetak saking terkejutnya mendengar kabar tersebut. “Apa?!!!” Rasanya baru kemarin Tiffa berbicara di telepon bersama Sophia yang menyuruh menggantikannya bekerja sebab perempuan itu sedang ada urusan bersama pacarnya. Ntah urusan apa yang dimaksud Sophia, Tiffa tidak bertanya lebih jauh. Yang pasti ia sangat terkejut karena tiba-tiba sekali ia harus mendengar informasi bahwa Sophia telah meninggal hari ini. Siapa yang akan mengira jika percakapan Tiffa bersama Sophia kemarin merupakan percakapan terakhir mereka? “Aku menghubungimu karena polisi mengatakan kontakmu terdaftar dipanggilan terakhir orang yang Sophia hubungi,” ujar Jason, membuyarkan lamunan Tiffa. “Ya, Sophia memang sempat menghubungiku kemarin,” jawab Tiffa pelan, seketika merasa takut jika dirinya akan dilibatkan dalam insiden kematian Sophia. “Aku memberikan alamatmu ke para polisi, mereka mungkin akan mengunjungi rumahmu untuk bertanya tentang Sophia.” Sesuai yang Tiffa tebak sebelumnya. “Aku mengenalmu, kamu bukan orang jahat yang tega membunuh temanmu sendiri. Jadi jangan takut dan jawab saja pertanyaan polisi sesuai yang kamu tahu, oke?” imbuh Jason, yang dengan baik hatinya mencoba menenangkan Tiffa. Tiffa tersenyum, lalu menjawab, “Iya bos, terima kasih.” “Baiklah, aku tutup dulu telponnya. Sampai jumpa nanti malam di tempat kerja.” “Oke bos.” Tangan Tiffa yang memegang handphone terkulai lemas di samping tubuhnya setelah panggilan berakhir. Para polisi akan mendatangi rumahnya, terakhir kali Tiffa berurusan dengan aparat itu adalah saat kasus bunuh diri ayahnya. Jujur saja Tiffa benci bertemu dengan mereka lagi sebab membuatnya harus teringat kenangan kelam kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu. Insiden yang mengawali kehancuran dalam hidupnya. Tapi semua sudah berlalu. Tiffa juga masih mampu bertahan hidup meski sendirian. Walau semuanya masih terasa berat hingga detik ini. *** “Dengan Nona Tiffany Alberta?” Salah satu dari ketiga polisi yang berdiri di depan pintu Tiffa bertanya. “Iya Pak, saya sendiri.” “Kami tim polisi dari kantor pusat institusi keamanan Canada. Terkait penyelidikan tentang kasus kematian Nona Sophia, apa Anda berkenan menjawab pertanyaan kami? Karena Anda orang terakhir yang terdaftar di panggilan ponsel Nona Sophia sebelum meninggal.” Tiffa mengangguk, lalu menyilahkan ketiga polisi itu masuk ke ruang tamu rumahnya. “Kalau tidak salah, aku pernah masuk ke rumah ini,” celetuk salah satu polisi bername-tag Kevin. “Ya, beberapa tahun yang lalu aku juga pernah diinterogasi karena kasus bunuh diri ayahku,” balas Tiffa ketika mereka semua telah duduk di sofa. Kevin sontak terkejut dan menatap penampilan Tiffa dari atas sampai bawah. “Oh ya! Aku ingat sekarang. Kau gadis 13 tahun yang kuinterogasi dahulu soal kasus bunuh diri ayahmu. Wah… tidak kusangka kita akan bertemu dalam keadaan yang sama lagi. Kenapa posisimu selalu tidak diuntungkan disetiap perkara kematian seseorang,” ujar Kevin, yang terdengar hampir mirip sebuah ejekan. Sedangkan Tiffa juga berpikir demikian. Kenapa lagi-lagi dirinya harus menjadi narasumber dari kasus kematian seseorang? Mungkin ini kutukan, gezz.. entahlah. Yang terpenting Tiffa tidak melakukan tindak kejahatan apapun. Ia terseret kasus ini karena sedang sial saja. “Bisa langsung tanya saja karena lebih cepat lebih baik,” sahut Tiffa, tidak ingin lama-lama mendekam bersama para polisi di rumahnya karena tetangganya bisa curiga dan memikirkan hal yang tidak-tidak tentangnya. “Wohohoho… jangan terburu-buru Nona. Kita santai saja, bagaimana jika dengan segelas kopi atau s**u?” Kevin menaik-turunkan alisnya, secara terselubung meminta Tiffa menghidangkan sesuatu untuk mereka sebelum memulai investigasi. Dominic menyikut lengan Kevin mencoba memperingatkan seniornya karena sadar wajah Tiffa mulai berubah kesal sekarang. “Aku seorang anak yatim piatu, lagipula di sini aku berwenang sebagai narasumber kalian, tidakkah seharusnya kalian yang memberikanku sesuatu?” ucap Tiffa dengan nada sinis. Kevin tergelak mendengar perkataannya, sedangkan Dominic berdehem lalu berusaha mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya. “Baiklah Nona Tiffany. Saya akan bertanya langsung, apa yang Anda bicarakan dengan korban di telepon kemarin sore?” Tiffa beralih menatap Dominic seraya menjawab, “Sophia menyuruhku menggantikannya bekerja shift malam karena dia punya urusan dengan kekasihnya.” Dominic mengangkat salah satu alisnya, “Hanya itu?” “Ya. Kami tidak berteman sedekat itu hingga mengharuskanku bertanya urusan semacam apa yang akan Sophia lakukan bersama pacarnya. Dia hanya menyuruhku dan aku bersedia, itu saja,” jawab Tiffa dengan simpel, jujur dan apa adanya. “Jika kalian bukan teman dekat, kenapa Sophia memilihmu untuk menggantikannya bekerja sementara masih banyak pegawai lain yang bisa dia andalkan juga?” Kevin menyahut, menyudutkan posisi Tiffa dengan pertanyaannya. Tiffa melipat tangan bersedekap sambil menatap lurus wajah Kevin. Masih sama seperti kasus bunuh diri ayahnya beberapa tahun yang lalu, Kevin tetap saja selalu mencurigainya sebagai pelaku. “Karena memang seperti itu hubungan kami, Sophia selalu memanfaatkanku untuk kepentingannya sendiri,” jawab Tiffa dengan wajah sekuat baja namun hatinya lemah saat memikirkan betapa malang dirinya. Dominic dan rekannya yang lain tertegun. Sedangkan Kevin masih belum habis akal untuk memojokkan Tiffa. “Ahh, jadi kau membunuhnya karena frustasi dia selalu memanfaatkanmu?” Pertanyaan yang dilontarkan Kevin membuat Dominic menodongkan tatapan protes padanya, berpikir jika ucapan Kevin sudah kelewat batas karena mencurigai Tiffa tanpa bukti. Tiffa pun tampak sama dongkolnya dengan Kevin. Tangannya terkepal kuat hingga jari-jemarinya memutih, ingin sekali Tiffa memukul wajah polisi tengik itu sekarang juga namun Tiffa masih berusaha menahan diri. “Aku bekerja malam itu, mana mungkin aku punya kesempatan membunuh Sophia. Apa kau sedang membuang otakmu di suatu tempat? Kau berspekulasi tanpa bukti seakan-akan kau polisi amatiran.” Tiffa menyerang balik Kevin lewat sindirannya. Dominic berusaha untuk tidak tertawa ketika ucapan Tiffa berhasil mengubah ekspresi Kevin menjadi kikuk hingga pria itu tak bisa berkata-kata lagi. Dominic kemudian mendapat pesan dari kantornya yang berisi informasi terkait pelaku pembunuhan Sophia yang telah ditemukan dan menyuruh timnya untuk segera kembali ke markas. “Investigasi berakhir, pelaku sebenarnya telah ditemukan,” ujar Dominic sambil bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Kevin yang mendengar pengumuman Dominic lantas tercengang, “Pelakunya sudah ditemukan? Jadi maksudmu bukan Tiffa yang membunuhnya?” Tiffa tersenyum mengejek ke arah Kevin. Sementara Dominic mengangguk. “Iya Pak. Seperti yang Nona Tiffa katakan, Sophia tidak bisa bekerja karena ada urusan dengan pacarnya. Dan yang membunuh Sophia ternyata pacarnya sendiri.” Kevin mengusap wajahnya, antara frustasi dan malu sendiri karena lagi-lagi salah mengira Tiffa sebagai pelaku pembunuhan. Ketiga polisi itupun kemudian berterima kasih pada Tiffa dan meminta maaf telah mengganggu waktunya. Ketika para polisi meninggalkan rumahnya, Tiffa masih berdiri di ambang pintu menatap kepergian mereka. Segelintir kenangan tentang kasus ayahnya menyelinap dalam pikiran Tiffa. Saat itu Tiffa baru saja menata hidupnya lagi setelah kepergian sang ibunda tercinta. Tiffa belajar dengan giat supaya menjadi orang sukses yang dapat membanggakan ayahnya di masa depan kelak. Tapi siapa yang menyangka… di saat Tiffa mulai bangkit dari keterpurukannya, ia tiba-tiba didatangi kawanan polisi yang mengatakan jika ayahnya telah meninggal bunuh diri. *** Dibutuhkan waktu seminggu bagi Stave untuk menyelesaikan tugas yang diberikan Felip padanya. Stave merupakan asisten pribadi Felip yang akhir-akhir ini merangkap pekerjaan menjadi detektif karena mencari tahu sesuatu yang dibutuhkan Felip. “Semua informasi yang kamu inginkan sudah ada di dalam berkas ini.” Stave meletakkan map berisi seluruh data yang diinginkan Felip terkait dalang dibalik insiden di kelab sembilan hari yang lalu. Felip melirik map yang diletakkan Stave tidak jauh dari meja kerjanya. Tumpukan dokumen perusahaan yang sebelumnya dikerjakan Felip tersisihkan begitu saja, kedua tangannya kini berpindah fokus membaca isi dari map yang baru saja diberikan Stave kepadanya. “Orang yang memasang kamera CCTV dan meletakkan bir berisi afrodisiak di kelab berasal dari keluarga Alejandro?” Felip terkejut. Stave mengangguk lalu menjelaskan, “Satu-satunya bukti kuat yang kita miliki hanyalah kamera CCTV yang terpasang di depan kelab, terlihat sekilas logo Alejandro di dashboard bagian interior dalam mobil.” Dahi Felip mengernyit, kedua sikutnya bertumpu di atas meja sedangkan jari-jemarinya saling bertautan seolah sedang memikirkan sesuatu. “Kamu yakin itu bukan mobilku, Stave?” “Kamu tidak pernah menggantungkan logo identitas keluargamu di dashboard mobil Felip,” Stave membalas santai. Kedekatan mereka berdua sudah seperti teman akrab, bukan lagi sebagai atasan dan bawahan. Stave dan Felip lebih nyaman saling berbicara santai seperti ini ketimbang harus menggunakan bahasa formal. “Benar juga. Tapi… siapa dari keluargaku yang ingin menjatuhkan reputasiku?” Felip menelengkan kepala ketika otaknya sibuk mencari tahu. Stave menceletuk, “Mungkin David.” Felip langsung membantah, “Tidak mungkin kakakku. Sejak kecil dia selalu baik padaku.” Sebenarnya Stave juga tidak yakin David pelakunya, tapi fakta tentang Felip yang memiliki kekuasaan penuh di perusahaan Alejandro mungkin saja membuat David berencana melengserkan kedudukan sang adik. Daripada memusingkan hal itu, Felip lebih tertarik dengan informasi yang Stave temukan selanjutnya. “Bagaimana soal wanita itu? Kamu tahu siapa yang membunuhnya?” Felip bertanya mengalihkan topik. “Kasus Sophia sudah ditutup dari seminggu yang lalu karena pelakunya sudah ditemukan. Orang yang membunuhnya adalah pacarnya sendiri,” jawab Stave. Felip tidak menanggapi, tapi Stave bisa melihat ekspresi Felip yang sedang berpikir saat ini. “Apa pacarnya membunuh Sophia karena tahu wanita itu telah berhubungan denganku malam itu?” gumam Felip, yang masih dapat didengar oleh Stave. “Katamu tidak ingat wajahnya. Kamu yakin Sophia adalah wanita yang tidur bersamamu malam itu?” tanya Stave. Felip menggangguk saat sudah yakin tidak salah orang. “Sama sekali tidak terpasang CCTV di kelab selain hanya di luar. Aku percaya karena Jason bilang Sophia lah yang malam itu bertugas mengantarkan minuman yang kupesan. Hanya dia satu-satunya wanita yang punya akses masuk ke ruanganku.” Stave hanya manggut-manggut membalas perkataan Felip. “Kalau begitu kamu beruntung. Wanita itu sudah meninggal dan tidak akan menjadi beban untukmu.” Perasaan Felip masih mengganjal dan menyesal. “Tapi jika dia dibunuh karena aku, maka tentu saja aku tetap merasa terbebani karena perasaan bersalah,” katanya. “Oh ayolah, dude! Kenapa repot-repot memikirkan wanita yang hanya sekali kau tiduri?” Stave tergelak, sedangkan Felip balas menatap sinis ke arahnya. “Dia masih perawan Stave.” Stave seketika terbelalak kaget. “Are you seriously?!!” “Tapi dia memiliki seorang pacar, mana mungkin dia masih perawan saat tidur bersamamu?” imbuh Stave, tidak menyangka Felip akan memberitahukan hal ini. Felip mendengus lelah sambil memijit keningnya yang berdenyut. “Sebab itu aku berpikir alasan pacarnya membunuh Sophia karena tahu keperawanannya telah kurenggut.” Stave geleng-geleng kepala, kemudian menakut-nakuti Felip. “Kau dalam bahaya, dude. Hati-hati saja kalau sampai hantu Sophia datang menggentayangimu setiap malam.” Ucapan Stave sama sekali tidak memengaruhi Felip. Hal yang ia takutkan bukan digentayangi Sophia melainkan rasa penyesalan yang mungkin akan terus hidup dalam dirinya kepada wanita itu. Kalaupun nanti malam hantu Sophia benar-benar mendatanginya, itu justru bisa menjadi momen yang pas bagi Felip meminta-maaf walaupun terlambat. *** Sudah dua hari ini Tiffa merasa sering pusing. Tubuhnya juga mudah lelah hingga membuat Tiffa perlu ekstra istirahat. Dirinya pikir setelah istirahat cukup, tubuhnya akan kembali pulih lagi. Tapi yang ada ia malah merasakan mual berlebihan. “Tiffa, kamu baik-baik saja?” tanya Jason ketika tidak sengaja berpapasan dengan Tiffa yang baru saja kembali setelah mengantar minuman ke pengunjung kelab. “Wajahmu terlihat pucat, apa kau sakit?” Jason bertanya lagi. “Aku baik-baik saja bos, hanya sedikit lelah,” jawab Tiffa dengan napas yang terasa panas. Ia berpikir mungkin dirinya diserang demam, tapi Tiffa yakin ia akan baik-baik saja sampai waktu bekerjanya selesai. “Kamu yakin?” Perempuan itu menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Jason. “Iya bos. Masih ada pesanan yang belum kuantar, aku pergi dulu, permisi…” Tiffa berjalan melewati Jason. Lalu di beberapa langkah mendadak pandangan Tiffa berputar dan membuat keseimbangannya goyah. “Tiffa!” Terakhir kali yang ia dengar adalah suara teriakan Jason yang berlari ke arahnya sebelum kegelapan menelan habis kesadaran Tiffa. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD