4 – PERTEMUAN SINGKAT

2087 Words
FELIP meletakkan karangan bunga mawar di atas batu nisan bertuliskan tanggal kematian dan nama lengkap Sophia Milles. Wajahnya datar, namun siapa saja tahu ada penyesalan besar dibalik tatapan kosongnya mengamati kuburan di depannya. “Jika kamu benar-benar sudah meninggal, lalu kenapa di dalam mimpiku anak itu mengatakan kalian masih hidup?” gumam Felip. Keningnya berkerut, tanda sedang berpikir keras. Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan, Felip masih merasa gusar akan arti mimpi yang didapatkannya tadi pagi. “Atau mungkinkah aku salah orang?” Keraguan itu mendadak terbit, Felip akan menjadi pria paling bodoh apabila telah keliru menargetkan seseorang yang telah meninggal. Embusan napas berat menderu keluar dari hidung mancung pria itu. Felip mengusap keningnya yang berdenyut nyeri kemudian menggelengkan kepala sambil menggerutu, “Tidak! Aku sudah memastikannya, satu-satunya pegawai yang mengantar minuman ke ruanganku malam itu adalah Sophia. Tidak ada lagi.” Felip memejamkan mata mendoakan Sophia sekaligus meminta-maaf dalam hati. Setelah urusannya selesai, Felip segera meninggalkan makam. Meski sudah pergi dari sana, Felip masih diliputi perasaan tidak tenang. Pria itu sibuk melamun sedangkan di lawan arah Tiffa juga melakukan hal serupa. Felip dan Tiffa berpapasan di pintu perbatasan makam lalu tanpa sengaja bahu mereka bertabrakan sehingga membuat tubuh Tiffa oleng nyaris terjengkang andai saja tangan Felip tidak sigap menahan pinggulnya. Dalam momen itu keduanya kembali dipertemukan, bersitatap satu sama lain dengan ekspresi terkejut. Tiffa tidak pernah melupakan sepasang mata hijau milik pria itu—orang yang telah merenggut keperawanannya dan juga ayah dari bayi yang ia kandung sekarang. “Maaf, kamu baik-baik saja?” tanya Felip setelah membantu Tiffa berdiri. Tiffa tidak membalas, ia tidak bisa berhenti tercengang melihat Felip karena tidak menduga akan bertemu pria itu di tempat seperti ini. Tak mendapat respon dari sang empu, Felip lantas bertanya lagi untuk memastikan keadaannya. “Nona, kenapa Anda diam saja?” Melihat reaksi Felip yang tampak biasa-biasa saja memberitahu Tiffa bahwa pria itu tidak mengingat wajahnya. Tiffa kembali mengembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, ia lega karena Felip tidak mengenalinya. “A-aku baik-baik saja, maaf Tuan.” Tiffa membungkukkan badan sebagai bentuk permintamaafan atas insiden yang sebelumnya terjadi. Felip mengangguk tidak masalah sementara Tiffa buru-buru pergi meninggalkan Felip yang masih heran dengan ekspresinya beberapa saat yang lalu. “Aneh, kenapa dengan wanita itu?” tanya Felip. Sudah hal biasa bila seorang wanita memandangi wajah tampannya, akan tetapi mereka semua memandangnya dengan sarat kagum, bukannya ekspresi takut seperti yang ditunjukkan wanita yang menabraknya barusan. Selain itu, tumben wanita tadi tidak berteriak heboh karena telah menabrak seorang CEO Alejandro Group yang populer. “Mungkin dia tidak pernah membaca majalah atau menonton tv sehingga tidak mengenaliku, ya sudahlah…” Felip berkata acuh tak acuh, tidak mau repot-repot memikirkan kejadian langka yang baru saja terjadi. Di sisi lain, Tiffa berdiri di sisi makam Sophia yang sebelumnya ditempati Felip. “Apa ada yang mengunjungi makamnya sebelum ini?” Tiffa bertanya ketika melihat bunga mawar berwarna putih segar milik Felip tergeletak di atas batu nisan. Tiffa mengedarkan pandangan ke sekeliling makam yang hanya diisi empat sampai lima pelayat lain kemudian mengedikkan bahu tidak mau tahu. Daripada memikirkan darimana bunga itu berasal, Tiffa memilih meletakkan bunga lily yang ia bawa di samping bunga mawar milik Felip. “Hai Sophia.” Wanita itu juga mengelus permukaan nisan sambil mencoba berinteraksi dengan Sophia, mengutarakan semua yang perlu ia katakan, terutama permintamaafannya. *** Tiffa kembali ke mobil Viola setelah selesai melayat, akan tetapi wanita itu tidak menemukan sahabatnya di sana. “Kemana Viola?” Tiffa mengedarkan pandangan ke sekitar area parkiran. “Tiffa!” Viola berteriak memanggil. Tiffa spontan membalikkan badan dan mengernyit melihat Viola ngos-ngosan seakan baru saja ikut lomba lari. “Kamu dari mana saja? Aku kira ada hantu yang menculikmu,” seloroh Tiffa setelah Viola sampai di hadapannya. Viola membungkukkan badan, menumpukan tangan di lutut sembari menormalkan deru napasnya. “Aku tadi mengejar Tuan Felip, aku tidak percaya akan bertemu dengannya di pemakaman!” ujar Viola kemudian menegakkan tubuhnya melihat reaksi Tiffa. “Tuan Felip? Siapa dia?” Tiffa membalas datar. Viola menepuk dahi. “Astaga! Kamu tidak kenal Tuan Felip? Putra bungsu keturunan Alejandro, keluarga terkaya nomor satu di Canada,” tandasnya. “Kenapa aku harus mengenalnya? Dia bukan siapa-siapaku.” Tiffa menanggapi cuek. Viola sampai terbengong mendengar jawaban simpelnya. “Kurasa kamu memang tidak pernah tertarik dengan pria. Asal kamu tahu saja, Tuan Felip itu sangat tampan, selain itu dia adalah CEO perusahaan Alejandro Group yang berwibawa. Intinya dia adalah pria idaman semua wanita deh!” Viola berbicara sambil membayangkan dirinya menjadi kekasih pria kaya raya seperti Felip. Melihat sahabatnya melamun sambil tersenyum-senyum kasmaran, Tiffa sontak menjitak kepalanya hingga membangunkan Viola dari angan-angan indahnya. Ctak. “Aw!” Viola meringis sambil mengusap kepalanya, sedangkan Tiffa berdecak pinggang kemudian mengomel, “Jangan berharap terlalu tinggi! Kamu harus sadar diri, mana mungkin pria kaya seperti mereka mau dengan wanita kelas bawah seperti kita.” Viola menekuk wajahnya cemberut, tapi hanya sebentar sebelum ekspresinya berubah terheran. “Anehnya juga, untuk apa pria kelas atas seperti Felipe Alejandro pergi ke pemakaman umum di sini?” Tiffa mendengus, mulai bosan karena Viola tidak berhenti membicarakan Felip. “Mungkin saja dia mengunjungi makam temannya. Sudahlah! Jangan terus mengungkit tentang Felip, sebaiknya kita segera pulang! Aku sudah lelah,” gerutu Tiffa. Viola mencebik namun tak mengelak dan mereka berdua pun masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah. *** Selama berada di dalam mobil perjalanan pulang, Tiffa sama sekali tidak bicara, wanita itu dominan diam padahal saat berangkat ke pemakaman tadi dirinya banyak bicara. Viola yang menyadari perubahan sikap Tiffa lantas bertanya. “Ada apa dengan dirimu?” Tiffa menoleh melihat Viola dengan satu alis terangkat, lalu balik bertanya, “Kenapa?” Viola melirik Tiffa sekilas sebelum kembali menatap jalanan. “Tidak apa-apa. Hanya saja kamu lebih diam sekarang. Adakah sesuatu yang terjadi saat kamu mengunjungi makam Sophia? Atau kamu sedang memikirkan bayi di dalam kandunganmu?” Tiffa menunduk, jari-jemarinya bertautan risau. “Aku bertemu pria itu,” cicitnya. “Maksudnya pria yang telah memerkosamu?” Viola memperjelas maksud Tiffa, dan wanita itu mengangguk membenarkan perkataannya. “Astaga! Seharusnya kamu mengatakannya sejak tadi?!” maki Viola, ekspresinya terlihat kesal. Tiffa sampai bingung karena seharusnya dirinya lah yang marah, bukan Viola. “Memangnya kenapa kalau aku baru mengatakannya sekarang?” “Jika tadi aku tahu pria berengsek itu ada di pemakaman, aku ingin sekali membalaskan dendammu padanya. Aku ingin memukul wajahnya dan memaksanya bertanggung-jawab!” Viola menekan setiap ucapannya seolah benar-benar sedang marah. Tiffa sedikit terharu mendengar pembelaan sahabatnya, tapi Tiffa bersyukur Viola tidak melakukannya sebab masalahnya malah akan bertambah panjang jika Viola ikut campur. “Jangan terlalu membencinya, aku sendiri sudah memaafkan pria itu,” kata Tiffa, menyita perhatian Viola terarah kepadanya. “What! Semudah itukah kamu memaafkan laki-laki yang telah merusak masa depanmu?! Ya Tuhan… aku kira kamu sangat membencinya karena akibat perbuatan laki-laki itu, sekarang kamu hamil dan mengingkari prinsip hidupmu yang tidak menginginkan kehadiran seorang anak.” Viola menyindir panjang-lebar. “Jika dipikir-pikir, semua ini terjadi juga bukan kemauan pria itu. Mungkin dia tidak sengaja melakukannya karena saat itu tubuhnya dikuasai efek afrodisiak,” jelas Tiffa. Dahi Viola mengerut. “Dari mana kamu tahu kalau dia tidak sengaja? Bukankah kalian berdua tidak saling kenal?” Tiffa tergiang rintihan kesakitan bercampur b*******h saat Felip memintanya untuk tetap tinggal, itu bukan jenis rintihan seksual atas kemauan diri sendiri melainkan rintihan mirip permintaan tolong yang jelas membuktikan bahwa saat itu Felip dalam kuasa obat peningkat gairah seksual. Selain itu, kamera kecil yang Tiffa temukan di pigora seakan memperjelas semuanya bahwa ada seseorang yang sengaja ingin menjebak Felip dengan sebuah skandal. Tiffa tidak terlalu mengerti masalah apa yang sedang menimpa Felip, akan tetapi Tiffa tahu bahwa apa yang sudah terjadi di antara mereka beberapa bulan lalu bukan sebuah kesengajaan. “Tiffa! Jawab pertanyaanku, jangan malah melamun!” bentakan Viola menyadarkan Tiffa dari sisa lamunannya. “Argh… sudahlah Vio! Jangan banyak bicara, kepalaku jadi pusing!” Tiffa balas memarahi Viola sambil memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Sepertinya ia terlalu banyak pikiran, Tiffa tidak boleh stres atau hal itu akan memengaruhi kesehatan bayinya. Tiffa memang tidak menginginkan seorang anak, tapi ia sudah berjanji pada bayinya dan ancaman yang diutarakan Jason kemarin pun membuat Tiffa harus melahirkannya ke dunia karena jika tidak maka Tiffa bisa dipecat dari pekerjaan. *** Delapan bulan berlalu, tidak sesingkat perkiraan orang lain, selama itu Tiffa mengurus kebutuhan hamilnya seorang diri. Walau sesekali Viola juga datang membantunya untuk mengantar check up ke rumah sakit. Tiffa telah melalui banyak hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sekarang ia tahu betapa susahnya mengandung, kini Tiffa dapat merasakan jerih payah ibunya sewaktu mengandungnya dahulu. Tiba-tiba saja Tiffa merindukan sosok ibunya. Saat masih hidup, ibunya adalah sosok penyayang. Dia memperlakukan Tiffa dengan baik, sangat perhatian sampai mengabaikan kesehatannya sendiri dan Tiffa benci mengakui bahwa karena dialah ibunya sekarat. “Ibu… kau pasti kecewa karena aku tidak bisa menjadi sosok penyayang seperti ibu. Aku tidak bisa menyayangi anakku seperti dahulu ibu menyayangiku.” Tiffa berucap sendu sambil menatap nanar pantulan dirinya di depan cermin lemari. “Aku tidak ingin anakku merasakan penyesalan seperti yang kurasakan sekarang, karena bagiku… dia hanya akan jadi beban. Tapi aku tidak ingin dia sedih setelah mengetahui bahwa kehadirannya adalah beban dalam hidupku, maka karena itu menempatkannya di panti asuhan adalah pilihan terbaik untuknya kelak.” Tiffa meneteskan air mata sementara tangan kanannya mengusap perutnya yang telah membesar. “Maafkan aku,” lirih Tiffa yang ditujukan untuk buah hatinya. Alarm handphone berbunyi, menyita perhatian Tiffa berpaling ke benda pipih berbentuk persegi tersebut. Tiffa segera menyeka air matanya kemudian berjalan mendekati nakas dan mematikan alarm pertanda waktu ia pergi bekerja. Tiffa memeriksa satu pesan yang belum ia baca, pesan itu berasal dari Jason. Di situ tertulis bahwa Tiffa dilarang bekerja dan diberi cuti sampai tiba waktunya melahirkan. Tiffa mengempaskan ponselnya ke kasur dengan kesal. “Haish! Padahal aku masih ingin bekerja untuk membunuh rasa bosan. Diberi jadwal tiga hari bekerja selama seminggu saja sudah membuatku mati kebosanan, apalagi sekarang aku harus cuti sampai melahirkan. Kenapa bos tidak menyuruhku bekerja saja sih!” gerutunya. Tiffa sudah mandi dan berpakaian rapi, sia-sia saja ia berdandan jika tetap berada di rumah. “Lebih baik aku jalan-jalan ke taman,” ujarnya dengan senyum merekah di bibir. Wanita itu mengambil ponsel dan dompet kemudian memasukkannya ke dalam tas selempang yang ia sampirkan ke bahu sebelum keluar rumah menuju taman kota untuk menyegarkan pikiran. *** Keadaan taman begitu ramai pagi ini. Orang-orang berkumpul memenuhi halaman taman kota yang telah diperluas dan direnovasi hingga terlihat lebih indah dan nyaman untuk sekadar dijadikan pelarian penduduk lokal dikala suntuk. Yang mulanya tidak ada air mancur dan taman bermain anak-anak, sekarang sudah ada—Tiffa dapat melihatnya dari jauh. Andai saja keadaan taman tidak sedang berdesak-desakan, Tiffa ingin sekali melangkah mendekati air mancur. Tetapi dalam kondisi hamil besar, Tiffa mustahil dapat menembus puluhan warga yang tengah bersorak mengagungkan sebuah nama yang terdengar familiar di telinga Tiffa. “Felipe Alejandro yang terhebat!” “Felipe Alejandro, aku mencintaimu!” Beberapa dari mereka bahkan ada yang membawa papan nama, seolah sedang mengadakan jumpa fans. Tiffa sontak teringat nama yang sedang diteriakan orang-orang sama persis dengan nama pria yang pernah Viola ungkit saat di pemakaman Sophia. “Permisi, bisakah Anda jelaskan apa yang sedang terjadi di sini?” tanya Tiffa ke salah satu pria bernama Roger yang tidak sengaja ia temui di sana. “Beberapa bulan yang lalu pemerintah pusat ingin mengubah taman ini menjadi balai pertemuan para dewan, warga menentang keputusannya karena taman ini sudah ada sejak nenek moyang kita dan terlalu berharga untuk dihancurkan.” “Tapi berkat Tuan Felip yang mau membeli taman ini, rencana pemerintah akhirnya dibatalkan, lalu pengusaha baik hati itu melakukan renovasi total. Kamu bisa melihatnya sendiri kan? Taman ini jauh lebih baik berkat Tuan Felip dan hari ini adalah peresmian dibukanya taman kota kembali.” Tiffa mengangguk paham, ternyata masih ada orang baik di jajaran kelas atas yang memikirkan nasib kelas bawah seperti mereka. Ketika masyarakat biasa tidak mampu melawan pemerintah, orang seperti Felipe Alejandro berani untuk membantu. “Tuan Felip itu orang yang baik yah. Aku dengar dari temanku dia juga tampan dan berwibawa, sayangnya aku belum pernah tahu ataupun melihatnya secara langsung,” ujar Tiffa. “Kalau begitu kamu beruntung, hari ini Tuan Felip ikut hadir meresmikan taman sebagai bagian dari Alejandro Group,” Roger menunjuk ke belakang Tiffa, “Dia ada di sana!” Tiffa berpaling mengikuti jari telunjuk Roger yang mengarah ke belakang punggungnya dan sepasang matanya melihat seorang pria mengenakan jas berwarna hitam sedang berdiri didekat pita peresmian. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD