5 – PENDARAHAN

2091 Words
PRIA berjas hitam yang Tiffa lihat bukanlah Felip, melainkan David Alejandro. Kebetulan ketika Tiffa menoleh ke sana Felip sedang berjongkok memungut guntingnya yang jatuh ke tanah, gunting yang akan ia gunakan untuk memotong pita peresmian sehingga keberadaannya tidak terlihat karena tertutup sekumpulan warga yang berdiri di sekitar. Alhasil, Felip yang Tiffa ketahui adalah pria berumur 32 tahun telah beristri yang sebenarnya adalah kakak dari Felip. “Oh jadi dia,” gumam Tiffa, setengah meringis karena sosok yang dilihatnya ternyata sedikit lebih tua daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Tubuh Tiffa membeku saat Felip yang sebenarnya muncul. Sorak tepuk tangan dari warga meramaikan suasana begitu pita peresmian berhasil dipotong sementara Tiffa masih larut dalam keterkejutan, tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi di sini. “Lalu siapa yang berdiri di dekat Tuan Felip itu?” Tiffa bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari Felip. Roger mengira yang dimaksud Tiffa adalah David. “Dia David Alejandro.” “Dia bagian dari Alejandro juga?” Tiffa menoleh dengan kerutan di dahi. “Ya, rumor yang beredar Tuan David menaruh dendam ke Tuan Felip karena jabatan perusahaan diambil alih oleh Tuan Felip seluruhnya,” sambung Roger, berbisik di telinga Tiffa seakan apa yang diucapkannya merupakan rahasia besar. Mungkinkah persaingan itu ada kaitannya dengan kamera kecil yang Tiffa temukan saat insiden pemerkosaan di kelab Albany? Bisa jadi dua saudara itu saling menjatuhkan untuk bisa menduduki jabatan. Lamunan Tiffa terhenti ketika puluhan warga mengarak kepergian Felip dan David menuju mobilnya. Puluhan dari mereka lari, para wartawan berebut tempat agar bisa memotret dan mewawancarai Felip sebelum pria itu pergi. Tiffa tidak dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya karena tiba-tiba didesak orang banyak, punggungnya tidak sengaja terdorong kameramen reporter hingga nyaris jatuh andai saja David tidak tanggap menarik tangannya. “Berhati-hatilah, dia sedang hamil,” tegur David ke seorang pria pembawa kamera yang langsung menunduk meminta-maaf. Tiffa tersenyum tidak mempermasalahkan, yang terpenting bayinya selamat. “Terima kasih Tuan Felip.” Tiffa mengucapkan terima kasih pada David yang mengernyitkan dahi. “Maaf, aku bukan Felip,” kata David sambil terkekeh karena baru pertama kali menjumpai seseorang menukar namanya dengan sang adik. Tiffa melongo tidak paham. “Apa maksud Anda?” Pertanyaan Tiffa teralihkan karena pertanyaan reporter lain kini merebut tempat Tiffa sehingga David tidak punya pilihan untuk melakukan wawancara terbuka. Sedangkan Tiffa yang terabaikan memilih mundur dan menjauhi kerumunan demi keamanan dirinya. *** “Kenapa kakak lama sekali?” protes Felip ketika David baru masuk ke dalam mobil selang 10 menit setelahnya. “Tadi ada seorang wanita hamil yang hampir terjatuh karena berdesakan, aku teringat istriku yang juga sedang hamil besar jadi aku menolongnya. Karena insiden itu aku dikepung wartawan dan terpaksa menjawab beberapa pertanyaan mereka yang tidak sempat ditanyakan padamu,” jelas David sembari melonggarkan dasi di kerah lehernya. Felip mengerjap heran. “Kenapa wanita hamil berada di sana juga? Terlalu ramai, itu bisa membahayakan bayinya.” David sependapat dengan Felip, lalu balas menanggapi, “Anehnya, dia juga memanggilku menggunakan namamu. Apa menurutmu kita ini kembar?” David tertawa diakhir pertanyaan. Cukup membuat Felip menekuk wajah cemberut. “Jelas-jelas aku lebih muda dan lebih tampan darimu kak,” bantahnya, tidak ingin disamakan dengan sang kakak yang berusia 5 tahun lebih tua darinya. “Well…, aku mengakui bahwa kau memang lebih muda tapi tak lebih tampan dariku. Dan wajah kita jelas-jelas berbeda, aku heran apakah wanita tadi salah lihat atau keliru mengenaliku.” Felip menyandarkan punggung tegapnya ke badan kursi sambil melihat jalanan dari balik kaca mobil limosin yang dinaikinya. Mendengar cerita David bertemu dengan wanita aneh, Felip sontak teringat dengan wanita aneh yang juga ditemuinya di pemakaman beberapa bulan lalu. “Sepertinya popularitas kita menurun, bukan cuma kakak yang salah dikenali orang, aku juga pernah bertemu dengan seorang wanita yang bahkan tidak mengenaliku sama sekali. Mungkin kita harus menggelar pesta terbuka untuk menunjukkan ekstensi kita,” ujar Felip tanpa memindahkan tatapannya dari jalanan. “Kamu terlalu sibuk untuk bisa melakukannya.” David benar, jadwal bekerja Felip sangat padat, waktu istirahatnya akan sia-sia bila digunakan untuk keperluan tidak penting. Lebih baik Felip menggunakan waktu luangnya untuk tidur. “Ngomong-ngomong, kakak ipar sebentar lagi akan melahirkan. Kakak sudah memilih rumah sakit untuk persalinannya?” tanya Felip, berpaling menatap David yang duduk di sebelahnya. “Sudah, aku memilih rumah sakit Mount Sinai di Ontario,” jawab David. “Mount Sinai? Kakak mengizinkan kakak ipar melahirkan di rumah sakit biasa? Kenapa tidak ke Toronto General saja? Keluarga Alejandro sudah mendapat hak istimewa di rumah sakit itu, kakak ipar akan melahirkan lebih nyaman di sana,” saran Felip. “Ini anak pertamaku, aku ingin persalinan yang tenang dan aman tanpa gangguan dari para wartawan. Lagi pula, Kendra sudah menyetujuinya,” balas David, berharap adiknya tidak ikut campur dengan pilihan yang sudah ia buat. Felip memasrahkan semuanya kepada sang kakak yang berhak atas persalinan istrinya. “Baiklah jika itu yang kakak pikir terbaik untuk Kendra,” sahut Felip, tidak ingin berdebat. *** Tiffa pulang jalan kaki ke rumah setelah limosin yang membawa David dan Felip meninggalkan taman kota. Pikiran Tiffa berkecamuk, tidak bisa melupakan fakta pria yang pernah menidurinya merupakan keturunan Alejandro, keluarga terkaya nomor satu di Canada. Pantas pria itu tidak pernah mencarinya setelah insiden di kelab, orang seperti mereka pasti sering meniduri sembarang wanita dan menganggap hal itu biasa. Langkah kaki Tiffa berhenti ketika langit mendadak mendung seolah ikut merasakan keterpurukannya. “Tiffa!” Seseorang memanggilnya. Tiffa menoleh ke belakang dan melihat Viola sedang melambaikan tangan dari dalam mobil pick up klasik yang dikemudikannya. “Ayo masuk ke mobil! Sebentar lagi hujan, biar aku antarkan kamu pulang!” teriak Viola saat Tiffa tak kunjung meresponnya. Sudut bibir Tiffa tertarik merangkai senyum kemudian bergegas masuk ke dalam mobil diiringi rintik air hujan yang mulai berjatuhan dari langit yang gelap. “Kamu baru pulang bekerja?” Tidak perlu ditanya pun sebenarnya seragam yang dikenakan Viola saat ini sudah membuktikan bahwa wanita itu baru saja selesai bekerja. “Ya, setelah bekerja aku langsung buru-buru pergi ke taman karena mendengar pria idamanku ada di sana. Tapi aku terlambat,” Viola memanyunkan bibir cemberut, “Tuan Felip sudah tidak ada.” Jadi Viola juga pergi ke taman, Tiffa mengatakannya dalam hati lalu terdiam, bingung harus memberitahu Viola atau tidak tentang identitas pria yang telah memerkosanya. “Kamu dari mana?” Viola balik bertanya. Tiffa sontak tergagap. “Ha? Aku…” Viola berpaling menatap Tiffa sekilas, kemudian bertanya karena ada sesuatu yang aneh di ekspresi sahabatnya. “Kamu ada masalah?” “Kamu mungkin akan pingsan setelah mendengarnya,” cicit Tiffa. Dia tidak bisa merahasikannya dari Viola. Kening Viola berkerut penasaran. “Kalau begitu ceritakan saat kita sudah sampai di rumahmu saja, aku sedang menyetir sekarang. Aku tidak mau membahayakanmu ataupun bayimu karena kau bilang aku mungkin saja akan pingsan,” selorohnya, memicu Tiffa tersenyum. “Baiklah.” “Aku harap mendengar berita baik,” sahut Viola. Tiffa meringis, “Bagaimana kalau tidak?” Viola melotot ke arahnya. “Haish! Kau membuatku khawatir saja,” gerutunya yang hanya dibalas dengusan lelah oleh Tiffa. *** “Cepatlah keluar dari dapur Tiffa! Aku tidak sabar ingin segera mendengar ceritamu!” teriak Viola dari ruang tamu tempatnya menunggu. Tidak lama berselang kemudian Tiffa datang membawakan minuman dan beberapa makanan ringan. “Kamu baru pulang bekerja, setidaknya minum dan makanlah cemilan dulu,” kata Tiffa, perhatian. Viola menarik tangan Tiffa agar duduk di sebelahnya, membiarkan minuman dan makanan yang dibawanya tergeletak di meja. “Aku akan minum dan makan setelah mendengar ceritamu,” ujar Viola, tampak tidak sabaran. Tiffa mendengus kesal lalu memalingkan pandangan ke jendela yang sedang menunjukkan hujan deras di luar. “Pria yang telah memerkosaku di kelab, sekarang aku tahu identitasnya.” Genggaman Viola di tangan Tiffa mengerat. “Kau serius?! Lalu siapa dia? Apa dia orang penting?” pekiknya, menyerentetkan pertanyaan. “Kamu mungkin mengenalnya.” Tiffa bermain tebak-tebakan sehingga membuat Viola mengerutkan dahi dalam-dalam. “Aku mengenalnya?” “David Alejandro.” Mata Viola terbelalak lebar, seperti yang Tiffa katakan sebelumnya—ia nyaris pingsan setelah Tiffa menyebut nama salah satu pewaris terkemuka dari keluarga Alejandro. “Kau bercanda?!” pekik Viola. “Aku juga tidak menyangka dia keturunan Alejandro. Aku baru tahu siapa dia setelah datang ke pembukaan taman kota hari ini. Sebelum kamu ke sana, sebenarnya aku sudah di taman itu terlebih dahulu. Aku melihatnya sendiri, dan benar… dialah pria itu,” jelas Tiffa. Viola mengguncang bahunya secara tiba-tiba, membuat Tiffa pusing. “Kamu tidak salah orang kan? Kamu yakin dia David?” sangkalnya. Tiffa mencengkeram lengan Viola agar berhenti mengguncangnya, kemudian menatap lekat bola mata wanita itu. “Aku yakin, aku sangat ingat wajahnya dan tidak mungkin salah,” jawab Tiffa, terlihat jujur dan meyakinkan. Tangan Viola jatuh terkulai lemas. “Asal kau tahu saja, David Alejandro sudah beristri. Istrinya juga sedang hamil sepertimu.” Kali ini giliran Tiffa yang terkejut. Ada perasaan kecewa begitu Viola mengatakan David sudah memiliki istri. “Dia… sudah beristri?” Tiffa bertanya hampir menyerupai bisikan. Viola mengangguk, lalu menggeram marah, “Dasar k*****t! Bisa-bisanya dia memerkosamu padahal dia sudah memiliki istri.” Sejak awal Tiffa tidak berharap pertanggung-jawaban dari pria yang sudah memerkosanya, Tiffa bisa bangkit setelah kejadian itu meski dirugikan secara fisik maupun mental. Namun setelah tahu pria itu sebenarnya telah beristri, Tiffa merasa patah hati. Patah hati yang menjalarkan rasa sakit di bagian perutnya. “Akh!” Tiffa mengerang sambil memegangi perut. Viola sontak panik dan bertanya, “Tiffa, ada apa?” “Pe-perutku… sakit sekali.” Tiffa menjawab terengah-engah, menahan sensasi keram yang melanda perutnya tiba-tiba. Bukan hanya itu, Tiffa merasa celana dalamnya basah oleh sesuatu sehingga ia meminta Viola memapahnya ke kamar mandi untuk mengecek. “Darah!” Tiffa menjerit histeris ketika melihat darah tercetak di celana dalamnya. Viola yang menunggu di depan pintu kamar mandi melotot kaget. “Darah? Kenapa kamu berdarah?” Bodohnya wanita itu malah balik bertanya. “Viola, cepat bawa aku ke dokter!” Tiffa keluar kamar mandi berderai air mata, ia mencemaskan kandungannya. “Ayo, aku akan membawamu ke dokter. Jangan khawatir Tiffa, semua pasti akan baik-baik saja.” Viola berucap menenangkan kemudian dengan hati-hati memapah Tiffa berjalan menuju mobilnya menuju rumah sakit terdekat. *** “Sahabatku tidak keguguran kan dokter?” Viola melayangkan pertanyaan ketika dokter yang memeriksa Tiffa akhirnya keluar ruangan. “Bisa saya berbicara dengan keluarganya?” tanya dokter bername-tag Michelle. “Keluarga pasien sudah tidak ada, tapi Anda bisa membahas kondisinya dengan saya. Saya sahabatnya, dan Tiffa sudah seperti keluarga saya sendiri dok! Tolong beritahu saya apakah dia dan bayinya baik-baik saja?” jawab Viola, tidak bisa menyembunyikan wajah kalutnya. “Baiklah, silahkan ikut saya ke ruangan.” Viola mengangguk kemudian mengekor di belakang dokter Michelle pergi ke ruangannya. Sesampainya di sana, dokter Michelle langsung menjelaskan kondisi Tiffa bersama Viola yang menyimaknya. “Teman Anda tidak keguguran.” “Tapi Tiffa bilang dia berdarah,” sela Viola, jari-jemarinya bertaut menahan gemetar. “Pendarahan kemungkinan karena terjadi plasenta previa. Masih perlu pemeriksaan USG lebih lanjut untuk mengetahui apakah itu benar-benar disebabkan plasenta previa atau bukan.” Jantung Viola serasa berhenti saat itu juga. “Plasenta Previa? Seperti apa itu dokter?” “Di awal masa kehamilan, normalnya plasenta memang berada di bagian bawah rahim namun bertambahnya usia kehamilan dan perkembangan rahim, plasenta itu akan bergerak ke atas. Pada kasus plasenta previa, posisi plasenta tidak bergerak dari bawah rahim dan gejala utamanya adalah pendarahan seperti layaknya wanita mengalami menstruasi diikuti keram perut.” Viola memejamkan mata sedih, prihatin dengan keadaan Tiffa yang kerap diuji dengan berbagai masalah. Viola mengusap wajah sebelum melontarkan pertanyaan, “Lalu apa yang harus dilakukan demi keselamatan sahabat saya dan bayinya?” “Apa sebelumnya Nyonya Tiffa sudah pernah mengalami pendarahan?” Dokter Michelle balik bertanya. Sejenak Viola terdiam memikirkan pertanyaan dokter. “Saya rasa… ini yang pertama kalinya.” Viola yakin dengan jawabannya karena selama bersama Tiffa, perempuan itu tidak pernah mengeluhkan tentang pendarahan. Selain itu, reaksi terkejut Tiffa saat di kamar mandi tadi membuktikan bahwa pendarahan itu merupakan yang pertama baginya. “Kalau begitu Anda tidak perlu khawatir, pendarahan yang dialami teman Anda masih tergolong ringan. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah pendarahannya, Anda harus memastikan Nyonya Tiffa istirahat total. Ia tidak boleh melakukan aktivitas berlebihan dan saya sarankan banyak berbaring,” jelas dokter Michelle. Viola mengangguk paham, kemudian bertanya saat tercetus sebuah ketakutan dibenaknya. “Apa itu memengaruhi kelahiran bayinya nanti?” “Ya, jika pendarahan hebat sering kali terjadi maka waktu kelahirannya bisa dipercepat dengan jalan operasi.” Sekarang Viola bingung bagaimana caranya memberitahu Tiffa tentang keadaannya agar tak membuatnya bersedih? Ya Tuhan, semoga tidak ada hal buruk yang menimpa Tiffa dan bayinya. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD