6 – MELAHIRKAN

2195 Words
JASON datang menemui Tiffa di rumahnya lima hari setelah insiden pendarahan. “Aku sudah mereservasikan kamar inap dan penanganan terbaik di rumah sakit Mount Sinai untuk proses persalinanmu. Aku sudah dengar beritanya dari Viola, dan kamu tidak perlu khawatir. Dokter James yang terbaik di Ontario, dia pasti menemukan jalan keluar atas permasalahanmu.” Tiffa menunduk, lagi-lagi ia merepotkan bosnya dan Tiffa merasa tidak berguna karena selalu menyusahkan orang lain. “Maafkan aku Bos,” gumamnya, masih dengan kepala menatap ke bawah. Jason memandangnya prihatin, ntah kenapa pegawainya yang satu ini selalu tertimpa musibah. “Seharusnya kamu mengatakan terima-kasih, bukannya minta-maaf,” seloroh Jason. “Ya, terima kasih juga. Aku berjanji akan membayar semua biayanya setelah kembali bekerja di kelab nanti, atau jika perlu bos tidak perlu menggajiku selama sembilan bulan ke depan.” Tiffa bersikeras ingin balas budi karena tidak banyak orang yang peduli dengan perempuan miskin sepertinya, maka Tiffa tidak bisa membiarkan begitu saja kebaikan seseorang padanya. Jason mendengus bosan. “Sudahlah Tiffa, jangan memikirkan itu dulu. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan kamu dan bayimu. Ayo! Aku antar kamu ke rumah sakit menemui dokter James untuk periksa sekaligus konsultasi tentang operasi melahirkanmu nanti.” Tiffa menggeleng. “Aku sudah banyak merepotkan Bos jadi aku akan pergi menemui dokter James sendiri,” tolaknya. Jason bersedekap tangan marah. “Jangan membantah, aku yang akan mengantarmu ke sana!” Viola mencebik dan pasrah tidak bisa menolak lagi atau Jason akan semakin marah. *** “Ekhm… seharusnya aku bisa pergi sendiri, bos tidak perlu repot-repot mengantarku,” ujar Tiffa ketika mereka sudah ada di dalam mobil sedang menuju rumah sakit. Jason yang mengemudi menatap Tiffa sekilas sebelum kembali ke jalanan. “Aku sudah berjanji akan bertanggung-jawab, bukan? Jadi jangan sungkan, aku melakukannya dengan sepenuh hati,” jawab Jason. Tiffa menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menatap lurus ke depan sambil bertanya, “Kenapa bos sangat baik padaku? Aku jadi tidak enak pada bos, juga pada bibi Gina istri bos karena takut bibi akan berpikiran macam-macam karena bos terlalu memerhatikanku.” Sorot mata Tiffa berpaling menatap Jason curiga, “Atau jangan-jangan, bos tertarik padaku yah?” tebaknya. Tawa Jason menderai memenuhi seisi mobil. “Kamu pede sekali! Jangan salah paham Tiffa, istriku pun menyetujuinya. Dia bahkan mendukungku dan saat kamu melahirkan nanti, istriku lah yang akan menemanimu, jadi kamu tidak akan sendirian,” sahut Jason disertai senyuman. “Benarkah?” Tiffa bertanya syok, tidak menyangka istri bosnya ikut campur membantu persalinannya. Jason mengangguk tanpa menyahut, sedangkan Tiffa kembali bertanya-tanya, “Kenapa kalian berdua baik sekali padaku?” Jason terkekeh melihat wajah penasaran Tiffa, mungkin sudah saatnya Jason bercerita. “Sebenarnya aku mengenal ayahmu, Antony. Kami kenal di klub bartender, dia mengajari bertender pemula dan aku sangat menghormatinya.” Rahang bawah Tiffa jatuh ke bawah—menganga lebar tatkala Jason baru menceritakannya sekarang. “Darimana bos tahu identitas ayahku?” Jason menjitak kepala Tiffa hingga membuat wanita itu meringis. “Kamu lupa aku ini siapa?” Pertanyaan Jason membuat Tiffa cemberut. Pria itu kemudian meneruskan ceritanya, “Sewaktu kamu mendaftar pekerjaan di kelabku, aku sudah tidak asing dengan wajahmu kemudian memeriksa kartu keluargamu dan benar saja, kamu adalah Tiffa putri tunggal Tony,” jelasnya. “Jika bos mengenal ayahku, lalu kenapa bos tidak melayat ke rumah saat ayahku meninggal?” tanya Tiffa. Raut wajah Jason berubah sedih. “Itulah penyesalanku sampai sekarang. Aku terlambat mengetahui kematiannya, dan aku tidak tahu alamat tempat tinggal kalian. Karena itulah aku berusaha membayar penyesalanku ke Antony dengan membantumu.” Tiffa menatap Jason dan mengambil kesimpulan, “Jadi itu alasan kenapa Bos sangat perhatian padaku.” “Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudnya sebelum aku mendaftar ke kelab milik bos.” Tiffa kembali melontarkan sebuah pertanyaan. Jason menjawab, “Ya, Tony pernah membawamu ke klub dan memperkenalkanmu ke anggotanya, termasuk diriku. Tapi kamu mungkin tidak ingat karena saat itu masih berusia 3 tahun.” Jason membantu Tiffa dan memerhatikannya selayaknya adiknya sendiri karena Tiffa adalah putrinya Tony—bartender legendaris yang dahulu pernah mengajarinya cara berbisnis dan meracik minuman hingga Jason bisa membuka kelab Albany yang sekarang sukses besar. “Terima kasih karena sudah baik padaku.” “Terima kasih juga Tiffa, berkat keberadaanmu setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk balas budi ke Tony. Dengan membantumu, sedikit demi sedikit aku juga mulai bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak hadir di pemakaman Tony.” Jujur, Tiffa tidak mempermasalahkan ketidak-hadiran Jason ke pemakaman ayahnya. Apa yang Jason lakukannya untuknya sekarang sudah lebih dari cukup untuk menebus semua itu. Kebaikan Jason dan Gina membuat Tiffa seolah menemukan keluarga baru. Belum pernah ada yang memerhatikannya sampai sejauh ini semenjak kedua orang tuanya meninggal dan sekarang Tiffa merasakan kasih sayang itu lagi berkat kebaikan Jason serta istrinya. Syukurlah masih ada orang baik yang memperlakukannya dengan tulus. *** Bulan ke-9, bertepatan hari kelahiran Tiffa, pagi-pagi sekali Gina mendorong kursi roda yang dinaiki Tiffa menuju ruang operasi persalinan caesar. Tiffa sangat tegang karena ini adalah pengalaman pertamanya melahirkan. Seakan tahu apa yang Tiffa cemaskan, Gina berhenti lalu berjongkok di depan kursi roda. Menggenggam telapak tangan Tiffa dan menguatkannya. “Jangan khawatir, aku bersamamu di sini. Anggap saja aku ibumu.” Tiffa tersenyum, kekalutannya mereda berkat ucapan Gina, sosok perempuan paruh baya yang sama baiknya seperti Jason. “Terima kasih, Bibi.” Sesampainya di depan pintu masuk operasi, Gina mengelus pundak Tiffa sebagai bentuk dukungan sebelum kemudian memanggil salah satu perawat bernama Marley. “Operasinya akan dilakukan 15 menit lagi kan?” tanya Gina. “Iya Nyonya, dokter James akan datang saat waktu operasi tiba,” sahut Marley. Sambil menahan perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, Gina terpaksa pamit ke kamar mandi, “Maaf Tiffa, aku harus buang air besar sekarang. Kamu masuklah terlebih dahulu bersama perawat, nanti aku akan menyusulmu.” “Baiklah Bibi.” Sepeninggalan Gina dari depan ruang operasi, Marley mendorong kursi roda Tiffa masuk ke dalam ruang operasi lalu memindahkannya ke atas ranjang operasi bersama rekan perawat yang lain. Beberapa detik usai berpindah ke atas ranjang operasi, Tiffa mendadak merasakan kontraksi di perutnya yang menandakan ia harus segera lahiran. “Aduh! Perutku!” Erang kesakitan Tiffa membuat dua perawat yang berjaga panik. “Tolong jaga pasien di sini, aku akan memanggil dokter James dan perawat lainnya untuk melakukan operasi sekarang!” Marley berucap ke rekannya bernama Evanny. Evanny menahan bahu Marley yang hendak pergi. “Lalu di mana wali pasien? Apa tidak ada keluarga yang menemaninya?” “Ada, dia akan segera ke sini,” jawab Marley cepat kemudian berlari keluar ruangan. Perhatian Evanny sepenuhnya beralih ke Tiffa. “Nyonya, Anda jangan panik, dokter akan segera tiba. Narik napas dalam-dalam, lalu embuskan…” Tiffa mengikuti intruksi Evanny ditengah rasa sakit menyerang. Tiffa mengambil napas dalam, kemudian mengembuskan napasnya, seperti itu berulang-ulang sampai lima menit ke depan akhirnya dokter James beserta tim medis datang siap mengoperasi Tiffa. “Di mana keluarganya?” Dokter James bertanya setelah memberikan anestesi spinal ke area bawah pinggang Tiffa. “Mungkin masih di kamar mandi.” Marley mengangkat bahu kebingungan. Dokter James berdecak lidah, “Apa maksudmu? Evanny, cepat periksa di luar!” Evanny dengan tanggap pergi meninggalkan ruangan untuk mencari sementara Tiffa tidak sempat mendengarkan obrolan mereka karena sudah terkena efek bius yang membuatnya setengah sadar. *** Felip memakai kaca mata hitam untuk menyamarkan identitasnya sebelum melangkah masuk ke rumah sakit Mount Sinai untuk menjenguk kakak iparnya yang baru saja selesai melahirkan. Satu tangan Felip memegang handphone di samping telinga, berusaha menghubungi David untuk menanyakan nomor kamar inap Kendra namun sialnya David tak kunjung menjawab telepon. Saat Felip melewati koridor ruang persalinan, tiba-tiba Felip memikirkan hal lain. “Apa kak Kendra masih di ruang operasi ya?” Sontak kedua kakinya melangkah menuju ruang operasi nomor dua dan di waktu yang sama ketika Felip sampai di depan ruangan tersebut—pintu terbuka, muncul Evanny dengan seragam perawatnya lalu buru-buru menarik lengan Felip agar ikut masuk ke ruangan operasi. Felip belum sempat bertanya dan ia sudah dibawa masuk ke ruang operasi di mana seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang operasi. “Tolong tetap di sisi pasien, istri Anda pasti butuh ditemani sekarang,” bisik Evanny lalu mendorong paksa punggung Felip agar berdiri di dekat Tiffa. Operasi caesar pun berlangsung begitu dramatis, pada awalnya Felip ingin protes agar bisa meninggalkan ruang operasi. Akan tetapi setelah melihat wajah Tiffa, Felip mengurungkan niatnya dan memilih untuk tetap berada di sisi wanita itu. Kerutan sakit di dahi Tiffa membuat Felip secara naluriah menggenggam telapak tangannya erat, mengejutkan Tiffa hingga kedua matanya terbuka. Tiffa kira kehangatan itu berasal dari Gina yang sudah kembali dari kamar mandi, akan tetapi kedatangan seorang pria berkacamata hitam di sisinya justru membuatnya menegang. Siapa dia? Tiffa hanya bisa bertanya dalam hati, pikiran-pikiran buruk tentang orang jahat, orang m***m, orang asing menakuti dirinya dan benar saja hal itu memengaruhi tekanan darahnya yang menunjukkan angka lebih tinggi. “Tekanan darah pasien naik dratis dok,” ucap salah satu perawat di sana. “Pasang oksigen untuk berjaga-jaga, dan pastikan keluarga pasien membuatnya tenang,” sahut dokter James tanpa mengubah fokus sedikitpun. “Tolong buat istri Anda tetap tenang, jika tekanan darahnya terus naik itu bisa membahayakan keselamatannya,” bisik Evanny pada Felip. “Apa yang harus aku lakukan?” Felip bertanya balik dengan tampang polos. Evanny menahan senyuman geli. “Katakan saja semua akan baik-baik saja, dan Anda akan terus bersamanya.” “Oh ya, selain itu—” Evanny menjeda sambil menatapnya risih, “bisa lepaskan kacamata Anda? Tidak sopan memakai kaca mata hitam di dalam ruangan,” lanjutnya sebelum kembali ke posisinya untuk membantu dokter. Felip mendengus sembari melepas kaca-mata hitam yang dikenakannya. Mata hijau keemasan milik Felip berbinar memandang Tiffa yang terkejut setelah mengetahui siapa pria yang berdiri di sampingnya. Pria itu… bagaimana bisa ada di sini menemani kelahirannya? “Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Aku di sini bersamamu.” Felip berucap sama persis seperti yang Evanny suruh, dan ucapan itu benar-benar berpengaruh ke kondisi Tiffa yang merasa nyaman setelah mendengarnya. Tiffa tersenyum, ia mulai percaya bahwa apa yang dilihat dan didengarnya saat ini adalah efek halusinasi dari bius yang diberikan dokter James sebelumnya. “Terima kasih sudah menemaniku di sini.” Tiffa membalas dengan suara lirih. Air mata meluruh turun dari sudut matanya. Felip mendekat, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya. Dalam jarak sedekat itu, Felip berkeinginan mengecup kening Tiffa. Tiffa yang kehilangan banyak darah karena kondisi Plasenta Previa membuatnya terpejam dan pingsan tanpa sadar. *** Perlahan, kelopak matanya terbuka. Tiffa memfokuskan pandangannya yang buram, lalu turun menatap ke arah Gina yang sedang menggendong bayinya. Tiffa bangun dengan gusar saat sadar dirinya sudah berpindah ke ruang inap. “Bayiku?” “Dia lahir dengan sehat Tiffa, jangan khawatir. Kamu mau menggendongnya?” tanya Gina sambil menyodorkan bayinya ke Tiffa. Tiffa mengangguk ragu, awalnya ia tidak bisa namun Gina memberitahu caranya menggendong bayi. “Dia cantik.” Tiffa tersenyum memuji paras bayinya yang cantik. Tentu saja berkat mata hijau yang diturunkan oleh pria itu, Tiffa masih tidak bisa melupakan betapa indahnya mata hijau Felip yang kini menurun ke putrinya. Ngomong-ngomong soal Felip, Tiffa lantas teringat saat Felip menemaninya di ruang operasi. “Bagaimana dengan pria itu?” Tiffa berpaling menatap Gina. Gina mengerutkan dahi tidak paham. “Siapa pria yang kamu maksud Tiffa?” “Pria yang menemaniku di ruang operasi,” jawab Tiffa. “Tidak ada yang menemanimu di ruang operasi. Seharusnya bibi ada di sana, tapi masalah perutku mengacaukan semuanya.” Gina menyesal. Tiffa menggeleng. “Tidak Bi, tadi benar-benar ada seorang pria yang bersamaku di ruang operasi!” bantahnya. Sebenarnya Tiffa tahu apa yang ia lihat di ruang operasi itu mustahil dan kemungkinan besar hanya sebuah halusinasi, tetapi Tiffa masih berharap semua itu nyata dan ia ingin memastikannya. “Dokter James sendiri yang mengatakannya, tidak ada orang lain yang menemanimu saat operasi. Maafkan bibi, karena aku tidak ada di sana, kau sampai berhalusinasi ditemani orang lain.” Gina mengusap puncak kepala Tiffa, hatinya diliputi perasaan bersalah karena sudah membiarkan Tiffa melahirkan sendirian. Tiffa tidak bicara lagi melainkan kecewa yang Ia dapat. Perhatian kedua wanita itu kemudian teralihkan karena tangisan sang bayi yang haus meminta asi. Belajar dari Gina, Tiffa pun berhasil menyusui bayinya yang sekarang sudah berhenti menangis. “Kamu akan beri nama dia siapa?” tanya Gina. Sejenak Tiffa termenung, ia sudah mempersiapkan sebuah nama jauh-jauh hari sebelum melahirkan namun Tiffa belum memutuskan akan menggunakan nama itu atau tidak karena nantinya setelah bertemu orang tua baru, bayinya juga akan menggunakan nama yang berbeda. “Untuk saat ini, aku akan memberinya nama Moulyn Tiffanya,” jawab Tiffa seraya menatap bayi perempuannya yang mulai terlelap karena kekenyangan. “Wah, nama yang bagus!” “Moulyn berarti berani, cerdas dan pekerja keras. Aku ingin dia hidup seperti itu, dan nama belakangnya diambil dari namaku agar saat kami dipisahkan sampai lamanya nanti… dia tidak akan melupakan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.” Gina tertegun mendengar penjelaskan Tiffa tentang arti nama bayinya. Mereka sama-sama tahu bayi itu tidak selamanya bersama Tiffa, nama yang barusan diberi Tiffa membuatnya terlihat benar-benar seperti seorang ibu yang berharap besar akan kebahagiaan putrinya. Meski nantinya Tiffa akan melepas Mou ke panti asuhan, tapi Gina paham pada dasarnya semua ibu itu sama, yakni menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD